Melati

197 21 0
                                    

Sepanjang jalan Awahita Pengayuh Ambarningsih banyak melepaskan beragam pertanyaan kepada Anarghya Widagda yang berusaha dijawab sebaik mungkin. Terhukti bahwasanya memang sang atasan tersebut sedang ingin mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya mengenai Anarghya Widagda. Ada pertanyaan tentang tempat tinggal, keluarga, sampai hobi dan kegiatannya sehari-hari.

Anarghya Widagda sendiri tidak keberatan, risih atau segan. Ini sendiri karena jawabannya sudah pasti. Tidak ada yang perlu dibuat-buat atau ditutupi. Ia memang memiliki kelemahan dan keterbatasan. Jadi, tanggung jawab yang diberikan kepadanya dalam pekerjaan pun tidak begitu bermasalah. Hanya itu yang ia bisa dan mampu.

Dalam perjalanan itu, angin malam harusnya membawa pergi bau Awahita Pengayuh Ambarningsih. Aneh, justru sebaliknya. Abab dan aroma tubuhnya terbaui oleh Anarghya Widagda dengan vulgar. Wangi dan manis, melebihi teh melati racikannya. Tapi di sisi yang sama juga gampang menempel di lubang hidung saking pekatnya laksana kopi atau coklat. Ketika berbicara, sang atasan harus memajukan tubuhnya sehingga ia berbicara begitu dekat di telinga Anarghya Widagda yang tertutup helm. Tapi membayangkan kedekatan ini membuat lengan kanan Anarghya Widagda bergetar pelan.

"Dek Widagda tidak apa-apa?" tanya Awahita Pengayuh Ambarningsih ketika menyadari motor yang dikendarai mendadak sedikit bergoyang tak imbang.

Cepat-cepat Anarghya mengatakan kepada sang atasan bahwa ia baik-baik saja, berusaha sebaik mungkin menutupi perasan aneh yang membuatnya malu itu. Ia juga langsung meminta maaf atas ketidaknyamanan berkendara dengannya.

Sang atasan tertawa pelan dan ringan, menunjukkan ia tak ada masalah dengan hal ini.

Bila dipikir-pikir, terus terang Anarghya Widagda merasa menjadi orang yang nekad karena dengan berani menawarkan tumpangan pada seorang Awahita Pengayuh Ambarningsih.

Ia adalah wanita yang menjadi perhatian seluruh karyawan laki-laki di pabrik tempat Anarghya Widagda bekerja. Ia yang begitu populer, diperhatikan, dan menjadi buah bibir di setiap pojok dan sudut, menjadi bahan pembicaraan dimana saja ketika para karyawan laki-laki berkumpul untuk rehat, merokok, mengopi dan bergosip.

Kulit yang membalut tubuhnya itu sewarna langit pukul tiga sore. Masih terang namun tak lagi terik menyilaukan dan sewarna dengan potongan timun muda yang segar. Bila ia berkeringat di siang hari, kulit putihnya seakan cermin yang memantulkan bayangan sinar lampu atau matahari bersama peluh yang mengalir lewat pori-pori wajah, meluncur turun melalui sela-sela rambut ke leher.

Wajah cantiknya tegas. Ujung kedua matanya tertarik ke atas sedangkan sudut-sudur bibirnya menekuk ke bawah, menciptakan raut wajah angkuh sekaligus menawan.

Dan, tentu siapa pula yang berani menyangkal pesona keindahan tubuhnya yang masak dengan aura kedewasaan yang pongah sekaligus lembut di saat yang sama, serta sepasang bongkahan dada yang menonjol membusung sombong?

Anarghya Widagda setengah mati mengatur jarak duduk agar punggungnya tak tertubruk dada mengkal sang atasan yang membusung, apalagi telah berkali-kali Awahita Pengayuh Ambarningsih memajukan tubuhnya untuk memaksakan arus informasi bolak-balik dua arah yang selalu saja dijambret angin.

Awahita Pengayuh Ambarningaih adalah gambaran nyata seorang perempuan cantik jelita yang telah matang. Matang disini sama sekali bukan berarti tua. Meskipun memang perempuan itu sudah berkepala tiga serta jelas lebih tua dari Anarghya Widagda. Sepasang bahu wanita matang itu tinggi, yang membuat tubuhnya terlihat tinggi, meski sebenarnya ia tak setinggi itu. Yang jelas, pundaknya itu begitu apik nya hingga dapat membantu punggung menahan beban sepasang dada nya yang membulat maju jemawa nan indah tersebut.

Sebenarnya, bukan hanya ciri fisiknya yang begitu menonjol, Awahita Pengayuh Ambarningsih sendiri juga memiliki senyum datar yang mengambang di udara penuh pesona. Senyum itu jarang ia uap kan, sehingga setiap rekahan di pipinya yang tertarik panjang ke belakang mahal kesannya. Tak heran, wajah cantik Awahita Pengayuh Ambarningsih memberi kesan judes dan angkuh padahal sama sekali tidak begitu kenyataannya. Lihat saja buktinya, aku sedang memboncengnya, pikir Anarghya Widagda.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang