Pukul enam petang. Matahari yang sejak pagi sudah terhalang awan kelabu dan serabut kabut, kini tenggelam dalam kelam. Pak Kuranji memanaskan mobil Kijang pinjaman dari Pak Musa, kemudian menjalankan serta memarkirkannya di samping rumah. Ia memosisikan moncong mobil ke arah depan.
Pak Kuranji keluar dari mobil, meraba udara dan mendapatkan telapak tangannya basah oleh butiran kabut yang pecah. Namun, mengapa cuaca begitu panas?
Seharian ini Pak Kuranji dan Nala Turasih sudah menghabiskan banyak waktu berbicara, bercerita, berkisah dan berbagi keluh kesah. Hanya dalam beberapa jam saja Nala Turasih berhasil membuka diri kepada Pak Kuranji, abang iparnya itu. Perasaan yang campur aduk serta dipengaruhi oleh hawa rumah ini memang membuat suasana hatinya berubah-ubah. Ada semacam dorongan tertentu yang membuatnya kerap melakukan hal-hal yang ia sendiri kadang ragu atau sungkan untuk melakukannya.
Misalnya saja, Nala Turasih kadang memerdekakan saja dirinya di depan Pak Kuranji. Mengangkat kedua lengannya tinggi-tinggi membenahi rambut, atau menunduk tanpa ragu. Seakan ada suara di dalam pikirannya yang berbisik pasti, "Tidak masalah, Nala. Bebaskan dirimu. Kau telah merasa nyaman ketika berada di hadapan laki-laki ini. Tak perlu sungkan dan malu untuk melepaskan dirimu."
Akibatnya, benar keduanya semakin tenggelam dalam keintiman pembicaraan dan pertukaran perasaan, tetapi Pak Kuranji yang menjadi tersiksa oleh tumbukan perasaan ekstasi atas pemandangan surgawi yang terpampang nyata di atas piring untuk dinikmati sekaligus menahan diri agar tidak menjadi lancang dan ceroboh, bukanlah sebuah hal yang mudah dan remeh.
Nala Turasih sudah selesai mandi di sore hari. Wajah dan tubuhnya menunjukkan kesegaran yang luar biasa. Ia kembali mengenakan pakaian terusan yang juga berwarna gelap. Kainnya mengalir jatuh sesuai garis lekuk pinggul, dada dan bokongnya dengan sempurna. "Cuaca kok aneh begini ya, bang? Sedari pagi berkabut dan seperti mendung, tapi gerahnya luar biasa," ujar Nala Turasih.
Pak Kuranji mengangguk. Ia merasakan hal yang sama. Ini juga mengingatkannya dengan mimpi buruk yang ia alami kemarin, dimana udara juga terasa panas dan kering.
"Jadi, kita besok sudah bisa kembali pulang, bang," lanjut Nala Turasih. Ucapannya ini bukan sebuah pertanyaan, tapi mengapa nadanya menggantung? Pikir Pak Kuranji. "Aku senang bisa bersama abang beberapa hari ini," lanjutnya. Nala Turasih menunduk. Ada semburat jambon di pipinya yang gagal tersamarkan cahaya lampu ruang tamu. Pak Kuranji mampu mendeteksinya.
"Abang juga senang bisa membuat kamu nyaman. Terimakasih sudah mau terbuka dan cerita dengan abang. Semoga apapun itu bisa membantu kamu, dek Nala," balas Pak Kuranji berusaha terdengar wajar. Ia tak mau ketahuan bahwa ia sedikit merasa kecewa kebersamaan mereka berakhir besok dimana mereka harus meninggalkan rumah ini.
Nala Turasih melirik malu-malu ke arah Pak Kuranji. "Ehm ... Andai kita punya waktu lebih banyak, ya bang?" ujar Nala Turasih pelan. Hampir tak terdengar. Namun, suara rendah itu memberikan efek bagai ledakan sebuah bom nuklir bagi Pak Kuranji. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia menahan perasaannya setengah mati agar tak menduga ini adalah gayung bersambut. Ia tak mau gede rasa.
"Abang mau aku buatkan teh?" tawar Nala Turasih ketika melihat Pak Kuranji sepertinya bingung merespon pernyataannya tersebut.
Pak Kuranji refleks mengangguk. Apalagi pilihannya, bukan?
Nala Turasih berdiri dan beranjak ke dapur, meninggalkan aroma harus khas yang dikenal Pak Kuranji dengan baik.
Pak Kuranji tersenyum kemudian meletakkan kepalanya di sandaran kursi jati panjang dan menutup matanya sejenak.
Langkah kaki lembut menyadarkan Pak Kuranji. Teh panas sudah terhidang di meja sedangkan Nala Turasih sudah duduk di sampingnya. Pak Kuranji tak kuat memandang ke samping ketika perlahan Nala Turasih merengkuh lengannya, kemudian menyandarkan kepalanya di bahunya.
Pak Kuranji tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun halus kulit lengan Nala Turasih terasa nyata di lengannya. Begitu pula rambut lembut dengan aroma memabukkan itu terasa berat di bahunya.
Pak Kuranji menarik nafas perlahan tetapi menghembuskannya terlalu keras. Mungkin kenikmatan aneh ini benar telah membuatnya teler.
"Ah, abang sudah bangun. Kalau sudah lelah, tidur saja bang. Besok pagi kita pulang, 'kan? Abang yang menyetir lo," sosok Nala Turasih mendadak muncul di depan Pak Kuranji.
Pak Kuranji tersentak. Darahnya berhenti mengalir ke otaknya. Bulu kuduknya meremang liar dan gila-gilaan. Ia memandang tegang ke arah sosok Nala Turasih yang berdiri di depannya. Perlahan ia menoleh ke samping.
Sosok itu merangkulkan tungkai kurus panjangnya di lengan Pak Kuranji. Jari-jari bercakarnya sama hitam dengan seluruh tubuhnya, kecuali belasan mata serupa bentuk mata manusia yang menempel di seluruh bagian kepalanya yang seperti campuran kadal dan manusia. Bukan Nala Turasih. Bahkan bukan manusia.
Sosok itu membuka mulutnya lebar. Belasan mata bergerak-gerak di rongga mulut, lidah dan langit-langitnya kemudian secara seragam menatap melotot ke arah Pak Kuranji. "Wuk, wuk, wuk, wuk ...."
Refleks Pak Kuranji melonjak, mencelat dari tempat duduknya. Kakinya menubruk tepian meja jati, membuatnya tersungkur.
Pak Kuranji menoleh ke belakang, ke arah kursi dimana ia duduk dan mahluk itu berada.
Kosong. Tiada apapun.
Pak Kuranji berdiri, tidak mengacuhkan rasa nyeri di tulang keringnya.
Nala Turasih tidak terlihat di sekitarnya. Lalu, siapa yang tadi menyapanya dan memintanya untuk istirahat?
Dengan panik dan berkeringat dingin, sepasang mata Pak Kuranji memindai seluruh ruangan dan mendapatkan siluet Nala Turasih yang terlihat di ruangan lain, di ujung sebuah lorong.
Pak Kuranji merasakan tubuhnya memberat karena rasa takut. Seakan tubuhnya ingin terbenam ke dalam tanah. Lalu ia ingat dengan karambit yang kini bisa dikatakan selalu ia bawa. Maka, Pak Kuranji meloloskan bilah tajam senjata itu dari sarungnya dan menggenggamnya erat.
"Kau terus-terusan menantangku, setan jahanam!" gumam Pak Kuranji. Nyalinya yang tadi melorot kini dipompanya kembali, dipaksa berdiri tegak bagai kelelakiannya ketika membayangkan tubuh polos Nala Turasih.
Dengan bekal keberanian ini Pak Kuranji berjalan pelan menyongsong sosok siluet Nala Turasih di ujung lorong yang tersirami cahaya lampu temaram. Telapak tangannya terasa sakit karena menggenggam gagang karambit terlalu keras. Ia tak peduli. Siapa atau apapun itu harus berhadapan dengannya. Ia tak mau lari bagai seorang pengecut.
"Iblis atau siluman aku tak peduli. Kau sudah terlanjur masuk ke dalam kehidupanku. Jangan pikir aku adalah orang bodoh dan pengecut. Kau salah besar sudah berurusan denganku!" gumam Pak Kuranji. Entah ia memang benar berani dan menantang kekuatan yang tak ia pahami, atau sebenarnya semua ini adalah pembenaran bagi dirinya agar tak merasa takut.
Namun, apapun itu, Pak Kuranji tak berhenti berjalan mendekat ke arah siluet tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...