Rasa Karat Darah

318 46 1
                                    

Ini adalah ketiga kalinya Anggalarang dan Saridewi memadu kasih. Keduanya bercinta dengan hujan cahaya lampu terang kamar apartemen Anggalarang. Keduanya saling puji, saling puja dan menunjukkannya dengan gerakan dan respon fisik yang nyata. Kedua tubuh mereka saling berkomunikasi. Tidak ada penguasa dan yang ditundukkan, tidak ada tuan dan budak, tidak ada borjuis dan proletar. Setiap desahan adalah bahasa dan setiap lenguhan adalah tanda bahwa mereka saling mengerti dan memahami.

Saridewi tak mau apa-apa lagi di dunia ini. Bahkan sebenarnya ia merasa sebagai pemilik dunia itu sendiri. Dulu dengan membayangkan tubuh Anggalarang melesak ke dalam tubuhnya, yang terjadi adalah semacam ledakan besar hasrat. Seakan-akan Anggalarang adalah sebuah bom nuklir yang dijatuhkan tepat di pusat tubuhnya. Membayangkan hal itu, tubuh Saridewi akan bergetar hebat, mengejang nikmat.

Nyatanya, Anggalarang masuk ke dalam tubuhnya dalam bentuk energi murni yang penuh cinta, penuh kasih, menyala panas namun tak membakar, hangat. Anggalarang tak meledak-ledak. Namun setiap dentuman gerakannya membangunkan setiap sel dalam tubuh Saridewi. Bila bukan surga, Saridewi tak tahu apa ini namanya.

Keduanya masih berada di atas tempat tidur, tanpa busana, saling memperhatikan setiap warna, setiap lekuk, setiap bentuk tubuh masing-masing. Saridewi tak malu ketika Anggalarang memindai kulit pucat dengan bercak-bercak putih nya di berbagai tempat dengan kedua matanya yang teduh, walau kadang begitu nakal. Atau bintik-bintik hitam di pangkal hidung dan tulang pipinya. Saridewi membiarkan jari-jari Anggalarang meniti bahu, tulang selangka, menyentuh pucuk dada menegang merah merekah darah nya, gundukan bokong dan terus bermain di perut dan terus meluncur turun ke pusat semesta seorang wanita miliknya.

Sebagai gantinya Saridewi tak mau kalah dan merugi. Ia menggunakan punggung jarinya mengikuti lekukan pahatan otot yang terbentuk apik alamat serta menelusuri beragam bekas luka di tubuh dan wajah laki-laki yang begitu ia cintai itu. Keduanya tak saling mengucapkan kata, walau bukan berarti mereka diam. Gerakan dan sentuhanlah yang berbicara.

"Aa' suka denganku?" tiba-tiba Saridewi berujar.

Anggalarang tersenyum tak menatap ke arah Saridewi. Nampaknya ia membiarkan jawabannya mengggantung. Lagipula Anggalarang masih sibuk menelusuri permukaan kulit halus Saridewi dengan jari-jarinya.

Hal ini membuat Saridewi sedikit gusar dan mendesah pelan. Bagi Anggalarang, pertanyaan ini tak perlu diutarakan sama sekali. Saridewi sudah paham sebenarnya. Tapi, Anggalarang memutuskan untuk bermain-main sedikit. Ia memandang mata Saridewi kemudian menggeleng.

Sepasang mata Saridewi melebar, kemudian redup. Ia membalikkan tubuhnya, merajuk. "Aku sadar bahwa aku tak lebih bermakna dibanding gadis-gadis yang pernah tidur dengan Aa'. Begitu kan A'?" ujarnya pelan.

Anggalarang mendekatkan tubuhnya dan memeluk Saridewi dari belakang. Salah satu tangannya menyelip masuk diantara lengan atas Saridewi untuk menggenggam tonjolan yang menggantung jatuh milik sang gadis. Anggalarang berbisik lirih, "Aku tidak suka dengan kamu, Saridewi. Aku cinta."

Saridewi tak mampu menahan senyuman lebarnya. Tubuhnya semakin lepas pasrah dalam kepercayaan dan kedamaian ketika Anggalarang mengeratkan pelukannya.

Anggalarang dan Saridewi masih terus melanjutkan melakukan ritual pemujaan tubuh pasca bercinta ini sampai dering bel kamar terdengar.

***

Lorong apartemen kosong melompong ketika pintu lift terbuka dan Pak Guru Johan keluar dari dalamnya. Lampu lorong terang benderang menyoroti tubuhnya yang terlihat lelah, lemah, kaku namun penuh dengan semangat dendam kesumat yang berkobar.

Sosok Belibis yang berdaster selutut lusuh berjongkok di depan Pak Guru Johan di luar pintu lift. Rambutnya terurai kasar dengan percikan tanah dan kerikil kecil menghiasi dan menempel di helai-helai rambutnya. Mulutnya setengah terbuka, mengunyah pasir dan tanah. Sepasang mata dinginnya menghitam tak jelas, bahkan termasuk seluruh bagian wajahnya, bagai sebuah objek foto yang tak fokus: blurry, membayang.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang