Garis-Garis Gaib

105 15 0
                                    

Cahaya bulan hampir seutuhnya tertutupi kabut dan awan gelap yang bergulung, bergelung dan bergelombang bagai kumpulan domba kotor di atas langit desa Obong. Dari balik pepohonan sosok-sosok manusia muncul. Ada kurang lebih sepuluh orang pemuda menggenggam beragam senjata tajam dengan pandangan tajam tanpa emosi. Kesemuanya bertelanjang dada. Ada coretan-coretan hitam oleh tinta berbentuk lambang melingkar dengan aksara Jawa di dada mereka.

Pramudi dan Darmadi yang nampaknya selalu bersama dan bahkan berjalan pun beriringan, mengambil posisi memimpin di depan barisan para pemuda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pramudi dan Darmadi yang nampaknya selalu bersama dan bahkan berjalan pun beriringan, mengambil posisi memimpin di depan barisan para pemuda. "Kita akan tunggu sebentar lagi. Kita lihat apa Kuranji sudah menjadi bangkai di dalam sana. Meskipun aku harus akui, selama ini aku sudah mengenal orang itu sebagai laki-laki yang cukup tangguh. Oleh sebab itu, tugas kalian adalah menyempurnakan tugas kita," perintah Pramudi kepada rombongan laki-laki muda yang mengangguk pelan hampir bersamaan.

Sang kakak kemudian memandang ke arah sang adik dan menyentuh bahunya. "Pimpinlah mereka. Aku akan kembali menunggu darah untuk membangkitkannya di makam. Setelah itu, keinginan kita akan tercapai. Kita tidak akan sekadar menjadi manusia-manusia yang diperintah harta semata. Kita lah akan menjadi pemimpin. Kita lah yang akan menguasai segalanya. Kala sang waktu akan berpihak pada kita," ujar Pramudi pelan tetapi penuh dengan semangat.

Darmadi memandang kerut-kerut di wajah sang kakak laki-lakinya itu lamat-lamat. Rasa bangga memenuhi rongga dadanya, impian masa depan yang tanpa jeda dan tanpa akhir terhampar di depannya akan segera tersibak. Ia tersenyum kemudian mengangguk mantap. "Akan kubawa darahnya, kang. Kita akan segera mendapatkan ganjaran atas pengabdian kita ini. Aku senang telah menjadi adikmu selama ini, aku bangga memiliki kakang seperti dirimu," balas Darmadi.

Pramudi terkekeh dan menepuk-nepuk bahu adiknya kemudian memeluk cepat. "Kau akan terus bertemu dan melihatku selamanya, Darmadi. Jangan bosan denganku. Kita akan menikmati apapun yang kita inginkan. Ingat itu."

Kedua kakak beradik itu kembali berpelukan. Lebih hangat kali ini. Pramudi kemudian memandang ke arah para pemuda dan kesiapan mereka kemudian menyeret tubuh tuanya kembali menanjak ke arah bukit dan kaki gunung, menyibak kabut dan hilang di dalam serabutnya.

Darmadi mengikuti sosok kakak laki-lakinya itu dengan matanya sampai tak terlihat lagi. Ia kemudian meloloskan pakaiannya. Tubuh paruh bayanya masih terlihat prima, terlatih olah cangkul dan celurit. Ada coretan tinta hitam dengan angksara Jawa di dadanya dalam bentuk melingkar. Ia ingat sekali kenikmatan menggunakan rajah Kalacakra untuk membuat tubuhnya tak dapat terluka oleh senjata tajam macam apapun. Ia sudah diberikan bukti nyata betapa kekuatan yang dianugerahkan dan dihadiahkan kepadanya itu adalah harapan untuk pengabdian yang lebih besar kepada sang Angkara Murka. Ia dan kakangnya akan menikmati buah yang jauh lebih manis setelah misi terakhir ini, perintah paling utama dan yang telah ia tunggu bertahun lamanya.

"Kepung rumah itu. Aku sendiri tidak terlalu sabar sebenarnya. Tapi kakang Pramudi mengatakan untuk melakukannya sesuai jalan yang sudah digariskan. Biarkan mahluk itu yang melakukannya dulu, setelah itu kita masuk dan mengambilnya. Laporkan kepadaku bila orang itu masih hidup, meskipun aku beranggapan kakang Pramudi terlalu berlebihan dalam menilai Kuranji," ujarnya.

Perintah langsung dilaksanakan. Kesepuluh pemuda bertelanjang dada dan berajah Kalacakra menggenggam senjata tajam mereka langsung berlari kecil menelisik ke dalam untaian kabut bagai berenang di dalamnya menuju ke rumah yang dalam pandangan mereka masih terus bergerak-gerak tersebut.

Di dalam, Pak Kuranji memang masih merasakan kenyataan bahwa rumah ini seperti sengaja membuatnya bingung dengan perubahannya. Suara Nala Turasih menjalar melalui lorong dan dinding yang bergeser dan berpindah. Ia seperti berlari di dalam sebuah labirin, berputar di ruang dan lorong yang sama secara berulang-ulang.

"Bangsat!" sumpahnya. Dada telanjangnya penuh peluh. Sekali lagi ia bersyukur cakar mahluk bermata banyak itu hanya merebut pakaiannya, bukan kulit atau dagingnya. Namun, ia tak yakin bersyukur adalah tepat di saat seperti ini. Ia masih tak tahu apa yang terjadi pada Nala Turasih yang sebenarnya.

"Tapi aku mau abang berjanji untuk melindungiku," suara dan wajah Nala Turasih yang penuh dengan kesenduan itu membayang di pelupuk matanya.

"Sialan! Dimana kamu, Nala?" gumam Pak Kuranji di dalam hati.

Pak Kuranji berlari cepat, tapi kali ini ia menuju ke bagian tengah rumah. Ia merasa harus memulai dari sana. Lukisan Sudarmi terpampang di tengah ruangan.

Sudah lama, bahkan sejak awal ia kerap menyambangi rumah ini, kemudian menikah dengan Tasmirah, lukisan tersebut menjadi salah satu pusat perhatiannya. Setiap kali ia kebingungan untuk pergi ke ruangan tertentu, seperti gudang atau kamar pribadi Sadali Pandega, sang juragan dan pemimpin pabrik dimana ia bekerja, Pak Kuranji selalu memulai dari ruangan dengan lukisan ibu rumah terpampang besar.

"Datuk Macan Kumbang. Apakah engkau masih bersedia membantuku menemukan Nala Turasih?" gumam Pak Kuranji.

Dengan sedikit tak sabar ia mencoba mendengar sang Datuk yang mungkin saja berkomunikasi dengan cara yang lain.

Raungan macan kumbang terdengar di telinganya. Sepasang matanya mendadak terbuka. Ia dapat melihat garis-garis gaib dari rumah ini. Benang-benang tak kasat mata yang saling bertautan mengatur semuanya. Pak Kuranji mulai memahami cara kerja kekuatan sihir yang menyelip di setiap ubin lantai dan batu bata dinding.

Ia mengeratkan genggamannya di gagang karambit, kemudian memusatkan pikiran pada lukisan mendiang nyonya rumah Sudarmi sekaligus ibu mertuanya.

"Terkutuk!" sumpah Pak Kuranji seraya menusukkan ujung karambitnya ke permukaan lukisan tersebut.

Jeritan hantu betina, iblis jantan, setan-setan tak berbentuk sahut-menyahut. Ruangan, dinding, lantai serta langit-langit tidak hanya bergerak-gerak liar dan semakin cepat, tetapi juga bergetar menggila.

Pak Kuranji menutup satu telinganya dengan tangan kiri, tapi dengan sekuat daya, ia menggeser bilah karambitnya yang melengkung tersebut, menyobek lukisan menjadi koyakan yang lebih besar. Sekali, dua kali, tiga kali, terus sampai tubuh Sudarmi menjadi pecahan kacau nan berantakan. Pak Kuranji bahkan meraih bingkai lukisan itu, menariknya keras dan menjatuhkannya ke lantai.

"Bangsat! Tunjukkan aku dimana Nala!" ujar Pak Kuranji penuh amarah dan kekesalan. Tidak sampai disitu. Ia bahkan menginjak bingkai kayu lukisan Sudarmi sampai lepas dari kanvas sehingga terburai.

Jeritan, geraman, tawa cekikikan dan tangisan gaib yang tadi saling terdengar saling tumpuk kini langsung berhenti. Yang paling penting, rumah itu juga mendadak diam seperti seharusnya sebuah rumah. Tidak ada dinding dan ubin yang bergeser-geser. Tidak ada langit-langit yang berbalik dan naik turun.

Pak Kuranji menghela nafas. Ia kembali mendengar teriakan minta tolong Nala Turasih. Dengan cepat dan cekatan, Pak Kuranji yang sudah hampir berumur lima puluh tahun ini berlari bagai seekor kucing menyusuri lorong, melewati kamar keramat dimana ia berada tadi, menaiki tangga dan meyakini bahwa suara Nala Turasih berasal dari sebuah kamar.

Tanpa menunggu waktu lagi Pak Kuranji menerjang pintu dalam sekali tendang. Daun pintu terlepas dari engselnya dan tersentak copot. Pak Kuranji masuk ke dalam kamar tersebut mendapatkan tubuh Nala Turasih melengkung kejang di atas tempat tidurnya dengan sosok hantu perempuan melayang tepat di atasnya.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang