Koswara

179 20 0
                                    

Rambut Koswara yang disisir klimis ke belakang dengan rapih sudah berantakan. Jaket kulitnya pun tak terpasang nyaman di badannya lagi. Ia masih terduduk kaku beku, lemah bagai remah. Baru kali ini ia melihat sendiri dengan kedua biji mata yang menempel di kepalanya itu sebuah pemandangan yang tidak hanya tak masuk di akal, namun juga mengerikan.

Dua sosok yang terlihat sebagian saja oleh cipratan darah kental itu melayang di udara dan membayang di pelupuk matanya.

Amir Cahya yang walau tubuhnya adalah yang terlihat paling rentan dan rawan karena ceking, tidaklah lemah dalam hal paling cepat melarikan diri. Insting paling primitifnya menyala: rasa takut dan survival.

Ia berlari dengan begitu cepat layaknya pengecut sejati. Menyibak rerumputan, menyelip diantara tembok rumah, dan menyusur begitu cepat di atas permukaan tanah.

Surajalu menjambak rambut pirangnya sendiri, merasa frustasi dan bingung bukan kepalang dengan apa yang sedang terjadi dan apa yang akan ia lakukan. Namun, dengan minggatnya Amir Cahya si ceking, menyadarkannya bahwa nyawanya juga sedang terancam. Dengan segenap keberanian dari kepengecutannya, ia berbalik arah dan ikut melarikan diri menyusul debut Amir Cahya.

Harusnya Koswara juga melakukan hal yang sama. Hanya saja ia terlalu dekat dengan dua sosok yang separuh terlihat mengambang di udara dengan darah itu. Tak ada waktu lagi untuk menyempatkan mengumpulkan ketegaran menghadapi dua mahluk tak kasat mata di depannya.

Sosok perempuan yang darah menempel di sepasang payudaranya meraba dadanya, mengambil cairan merah kental itu dan menyekakannya ke wajah.

Kini Koswara dapat melihat bentuk wajah kedua sosok di depannya.

Untuk yang laki-laki, Koswara tak mengenalnya, walau ia merasa mungkin pernah melihatnya. Tapi untuk sosok perempuan satunya, Koswara tahu siapa dia.

"Bhanurasmi? Rasmi, kau kah itu?" ujar Koswara terbata-bata.

Sosok Bhanurasmi tertawa, menunjukkan deketan giginya yang merah oleh darah, sama seperti sosok laki-laki di sebelahnya.

"Kau begitu mengenalku ternyata, Koswara. Dari wajah, atau dari bentuk tubuhku ini?" tanya Bhanurasmi.

Koswara tak yakin harus menjawab atau bereaksi bagaimana.

"Aku tahu kau dan teman-teman mabuk Jati lainnya selalu memerhatikanku. Kalian tak hanya mencuri-curi lihat ke arah bokong atau dadaku, tetapi bahkan terang-terangan memelototiku meski Jati ada di rumah."

"Bukan ..., bukan seperti itu, Rasmi."

Sosok Bhanurasmi perlahan berubah memadat dan kasat mata. Sepasang dada kencang miliknya yang tertutup darah kini utuh bersama lengan, perut, pinggul, paha, kaki serta selangkangannya yang gelap.

"Sekarang kau sudah melihat tubuhku secara utuh. Apa pendapatmu masih sama, Koswara? Setelah melihatku seperti ini, apakah memang tubuhku seindah yang ada di dalam pikiranmu?"

Koswara memalingkan wajah dan membayangi wajahnya dengan salah satu telapak tangannya. "Tidak, Rasmi. Aku tak bermaksud kurang ajar sama sekali. Tolong, biarkan aku pergi. Kau tak akan melihatku lagi. Aku tak akan mengganggumu sama sekali, Rasmi. Aku mohon," pinta Koswara. Suaranya bergetar hebat sampai ke tubuhnya.

"Wah, jadi kau tak merasa aku menarik, Koswara?"

"Aku mohon ampun, aku minta maaf, Rasmi. Aku tak berniat melakukan hal-hal buruk padamu. Aku bersumpah tak akan mengganggumu lagi. Aku bahkan akan pergi dari hunian ini sejauh mungkin. Aku juga tak akan mengatakan apa-apa pada orang lain."

"Aku tak meminta kau untuk minta maaf apalagi pergi dari tempat ini. Aku bertanya, Koswara. Apakah aku menarik dan menggairahkan, Koswara?" suara Bhanurasmi terdengar pelan namun sangat mengancam.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang