Darmadi

102 14 1
                                    

Pak Kuranji sudah mempertimbangkan luas lorong tangga sebagai pertahannya. Pengalaman berkelahi selama hidup di kampung halaman dan dalam masa perantauan sepertinya menemukan puncaknya disini, saat ini juga.

Tiga orang pemuda berwajah polos tetapi memaksa untuk terlihat beringas sudah menderu maju. Sialnya, ruang di tangga yang tidak terlalu lebar tidak memungkinkan bagi kesemuanya untuk maju beriringan dan berdampingan. Pak Kuranji paham ini. Bahkan sebelum klewang ditebaskan, Pak Kuranji sudah lebih dahulu menjemput sasaran yang bergerak itu. Karambitnya disabetkan ke kaki lawan, sedangkan tangannya yang bebas menepis tebasan sekaligus mendorong lawan. Sekali lagi, gerakan cepat dan terukur ini membuat pemuda dengan klewang menggelinding jatuh kehilangan keseimbangan. Satu rekannya ikut tertubruk dan jatuh. Namun, belajar dari rekan-rekannya yang semua menggelundung konyol bagai bola ke bawah berkali-kali, satu rekan lainnya menghindar cepat dan menerobos maju.

 Namun, belajar dari rekan-rekannya yang semua menggelundung konyol bagai bola ke bawah berkali-kali, satu rekan lainnya menghindar cepat dan menerobos maju

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pak Kuranji tak punya pilihan lain. Bacokan musuh dibalas dengan sabetan karambit ke leher dan dada lawan. “Mampus, kau!” serunya, sebelum dengan sabetan bertenaga itu sang pemuda oleng ke samping dan jatuh berdebum ke lantai bawah. Tidak seperti teman-temannya yang menggelinding, sang pemuda jatuh tanpa halangan, tunduk pada gravitasi. Pak Kuranji merasa sedikit cemas karena kemungkinan anak muda itu tewas dengan luka sobek di leher dan dada, serta jatuh keras dari lantai dua seperti itu.

Sayangnya, bukan itu yang terjadi. Sang pemuda mengerang pendek, lebih karena kesal dibanding sakit, kemudian kembali berdiri. Pak Kuranji tidak melihat ada lelehan darah di tubuhnya, bahkan tak ada bukti rasa sakit tertinggal di raut wajah pemuda di lantai satu tersebut. Sama pula dengan para pemuda yang menumpuk di bawah. Keadaan mereka sama sekali prima, termasuk pemuda yang Pak Kuranji pikir telah ia lukai di kaki dengan karambitnya. Pak Kuranji melihat jelas sobekan di celana panjangnya, tetapi tidak ada darah yang keluar.

“Ilmu kebal!” batin Pak Kuranji. “Bangsat, bangsat!” sumpah serapah Pak Kuranji. Ia melihat ke arah karambitnya, kemudian berkata, “Datuk, dimana engkau? Berikan aku petunjuk bagaimana cara mengalahkan mereka.”

Tidak ada jawaban, tidak ada penglihatan. “Sudah kuduga. Kekuatan gaib selalu berbicara dengan cara yang aneh dan tidak biasa. Ketika kubutuhkan, ia malah tak ada,” kembali Pak Kuranji membatin kesal.

Ia bertambah kesal karena baru sadar bahwa ternyata ia sendiri yang terluka. Ada goresan panjang berdarah dari bahu hingga lengannya. Walau tidak terlalu dalam, luka itu mengirimkan rasa perih melalui syaraf ke otaknya.

“Baiklah kalau memang seperti ini caranya. Seratus bajingan kebal macam kalian pun akan aku hadapi sampai tetes darah penghabisan,” ujar Pak Kuranji kepada para pemuda yang sudah kembali siap berbondong-bondong menyerangnya, walau di dalam hati ia sudah hampir seratus persen yakin bahwa kematian sudah di depan mata.

Yang ia sesalkan adalah ketika memikirkan Nala Turasih. Bagaimana keamanan perempuan itu bila dirinya tewas di dalam perkelahian ini? Padahal, hubungannya dengan adik iparnya itu sedang begitu intim. Ia bahkan baru mulai sadar bahwa ia kerap menggunakan kata ganti ‘aku’ ketika berbicara dengan Nala Turasih, bukannya ‘abang’ lagi.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang