Kerangka tubuh Sadali Pandega yang tidak menyisakan sedikitpun daging menempel di tulang-tulangnya itu menggeliat di dalam kubur. Begitu juga dengan tulang-belulang Sudarmi yang masih memiliki sejumput daging busuk melingkari beberapa bagian jerangkongnya. Sebenarnya malah tidak hanya sepasang suami istri ini yang bergerak-gerak liar di dalam tanah, tetapi semua jasad dan mayat orang-orang mati di dalam kompleks pekuburan ini juga menunjukkan gejolak yang sama. Tidak peduli mayat yang bahkan tulang-belulangnya sudah berkurang, lebur di dalam tanah, atau mayat yang masih segar mati beberapa hari yang lalu pun semua seperti digerakkan oleh kekuatan misterius yang tak terlihat.
“Kau boleh ambil darahnya, Blorong. Tapi Nala dan jiwanya adalah hakku seutuhnya,” ujar suara gaib yang menggema dalam relung-relung kegelepan semesta.
Sesungguhnya, suara ini hanya dapat didengar oleh Sadali Pandega yang jiwanya melayang-layang di dalam kehampaan selama ini. Nyi Blorong yang sudah cukup lama menunggu untuk memamen jiwanya nyatanya tertipu mentah-mentah. Siapa lagi yang bisa melakukan bila bukan kekuatan yang lebih purba, lebih kuna, dan lebih durhaka daripada dunia itu sendiri? Kekuatan besar ini adalah pengejawantahan dari sisi dunia yang penuh hasrat akan kuasa dan berahi atas tubuh, menyeluruh dan tak luruh, tak buntu oleh waktu dan tak lekang oleh ruang. Kekuatan sang Durga selalu mendapatkan tempat di hati manusia selama nafsu masih merajalela dan menu utama dalam setiap perjamuan. Sang Calonarang di masa lalu telah membuktikan bahwa kekuatan kegelapan ini berasal dari rasa yang terkoyak oleh sembilu, memuncak oleh malu, tersibak oleh pilu.
Dunia memang tak dipotong di tengah secara adil atas baik dan jahat, tetapi sang Durga hanya menyediakan wadah bagi jiwa-jiwa penuh amarah agar dapat setiap manusia dapat muntah, menyumpah serta menyampah. Apalah artinya kehidupan tanpa pelepasan? Durga tak salah. Ada Sadali Pandega yang bermain-main kelamin dengan penguasa Laut Selatan. Kekuatan sang Durga ada karena diminta.
Sadali Pandega berenang-renang dalam kelam. Ia tak bisa merasakan tubuhnya, tak bisa merasakan suaranya, tak bisa melihat apapun, bahkan ia yakin ia sedang bernafas. Ia tak memahami siapa dan apa dirinya. Ini berlangsung entah untuk berapa lama sampai sosok itu muncul, membelah retakan gelap. Ia tak berbentuk, tak bertubuh. Suaranya pun bekerja dalam keadaan yang Sadali Pandega tak begitu tahu.
“Sudah saatnya untuk kau bangkit, Sadali. Kau akan membawa aku dan kekuatanku menyeruak ke kehidupan dari lapisan bumi paling bawah. Kau, Sudarmi dan Nala Turasih ada di dalam genggamanku. Kau memohon kepadaku untuk melawan Nyi Blorong, bukan? Aku mengiyakannya, dan sungguh itu yang aku lakukan. Aku memegang erat kata-kataku, wahai Sadali, sang mahluk fana,” ujar sang Durga, perwujudan dari api hawa nafsu yang membara.
Sadali Pandega mulai merasakan inderanya berfungsi, meski sekali tidak dalam keadaan dan cara yang sama sekali sama seperti sewaktu ia masih hidup. Kegelapan tersibak, sosok representasi dan manifestasi sang Durga seakan menjadi sebuah lentera bersinar kuning emas – warna kuasa, harta dan Hawa – menyinari Sadali Pandega yang melihat tubuh kering kerontangnya sendiri ditempeli sejumput daging dan otot di dalam cabikan kain kafan.
“Apakah aku kembali hidup?” tanya Sadali Pandega.
Lentera merespon dengan mengerjap-ngerjapkan sinarnya. Berani sumpah, Sadali Pandega yakin sosok sang penguasa sedang tertawa dengan caranya. Sadali Pandega paham bahwasanya ‘hidup’ bukanlah kata yang tepat untuk situasinya saat ini. Itu sebabnya kepandirannya sebagai seorang manusia untuk memahami bagaimana cara kerja semesta sedang dipersendakan, dicebikkan, dikecimuskan, dan secara semena-mena dinistakan.
“Bersiaplah, Sadali!” suara sang kuasa dalam bentuk rangkaian bahana betina yang saling tumpuk: halus dan lembut, kasar dan besar, keras dan waras, gila dan jemawa, akan tetapi ada dan nyata.
Di atas tanah dimana manusia bernafas, Pramudi nanap dan tergegau ketika sosok sang ratu, Nyi Blorong, sirna dari pandangan begitu cepat bagai mimpi belaka. Ia lebih terperanjat pada saat bumi yang ia duduki bergerak bagai ada lindu.
“Apakah sudah saatnya?” ujar Pramudi bertanya kepada diri sendiri.
Namun, para pemuda yang ada di sampingnya langsung memberikan respon. “Benar, Pakde. Sudah saatnya!”
Raut wajah Pramudi bersinar bagai lampu sorot kapal. Akhirnya yang ia tunggu selama ini sampai pada puncaknya. Segala mimpinya akan menjadi kenyataan. Ia berdiri dan bersorak-sorai bagai seorang anak remaja. Hal ini tentu saja disambut dengan sukacita oleh para pemuda yang jauh lebih muda. Sebuah pemandangan konyol terjadi di atas kompleks pekuburan, sekelompok lelaki dewasa berlonjak-lonjak seperti anak-anak.
Tanah bergetar semakin kencang. Tangan-tangan kurus tinggal tulang-belulang dengan daging dan kulit busuk, benyek dan bonyok menyeruak keluar dari kuburan. Nisan-nisan kayu dan batu bergeser dan tumbang ketika tubuh-tubuh beraroma tak sedap terangkat keluar.
Bangunan makam Sadali Pandega dan Sudarmi retak di berbagai tempat. Kuburannya sendiri sudah pecah dan porah poranda karena gempa kecil dan kekuatan dorongan dari bawah tanah.
Pramudi dan para pemuda yang bergelak-gelak bahagia menyingkir ke sisi makam, bagai para penonton yang sedang menyaksikan sebuah penampilan panggung yang luar biasa menarik.
Bangunan serupa candi yang dibangun oleh Pramudi dan Darmadi di masa dahulu sebagai bentuk dari sinkronisasi candi yang dibangun oleh Sadali Pandega di pantai Laut Selatan serta kamar keramat di rumah gaibnya itu mendadak rekah, rengkah dan bercelah.
Pramudi mengernyitkan keningnya. “Tunggu, sepertinya ada yang tidak benar,” gumamnya.
Candi itu adalah perantara kekuatan yang dikirimkan Nyi Blorong dari Laut Selatan serta dibahanbakari oleh mesin gaib kamar magis di rumah Sadali Pandega. Begitu pemahaman sang tua. Bila candi itu sampai retak dan hancur seperti ini, bagaimana cara kerja kekuatan Nyi Blorong? Pikirnya kemudian.
Namun, perhatian dan kecurigaan Pramudi menjadi pupus tatkala mayat Darmadi bergetar hebat, mengejang dan kayang untuk kemudian tegak berdiri dan berdiam disitu. Matanya yang tinggal satu itu memandang ke arah sang kakang. Darmadi yang semula mati tetap kaku berdiri selagi mayat-mayat hidup mengorek tanah keluar dari rongga pengap di bawah sana. Tangan-tangan muncul dari permukaan kuburan, menggapai-gapai sesuatu yang bisa dijadikan pegangan.
Pramudi tertawa lebar melihat ke arah Darmadi dan mayat-mayat hidup yang berlomba-lomba keluar dari kuburan.
Tubuh tuanya yang bergelak-gelak sekonyong-konyong menciut. Kulit kendurnya merapat, termasuk kerutan di wajahnya yang terhapus tertarik bagai lembaran karet. Rambut putih dan tipisnya menebal dan menghitam sempurna. Tulang punggungnya yang telah lama bengkok dan bungkuk bergemeretak lurus, tegak. Nafasnya menjadi panjang dan kuat, jauh lebih hidup. Pandangannya menajam dan kepalannya menguat.
Para pemuda di samping Pramudi membulatkan mata tak percaya. Mereka memang telah ditunjukkan banyak kekuatan gaib dan sihir. Mereka menjadi saksi ilmu kekebalan yang mereka sendiri miliki. Namun, melihat keajaiban di depan mereka tersebut, adalah sesuatu yang melampaui harapan dan perkiraan.
“Pakde, Pramudi? Apakah itu kau, Pakde?” ujar seorang pemuda tak percaya pada sosok pemuda seumuran mereka yang terlihat begitu hidup, bersemangat, prima dan penuh percaya diri. Satu hal yang membuat mereka yakin itu memang Pramudi adalah tawa lebarnya yang penuh kuasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...