Imbalan

179 24 0
                                    

Tubuh Anarghya Widagda memang tak lagi kaku, melainkan digantikan rasa dipasung oleh permintaan semacam perintah oleh sang tuan putri. Walau dengan perasaan ragu yang menggunung, tapi ia tak mampu menolak, sehingga rasa kaku di tubuhnya luntur dan bagai seekor kerbau di cucuk hidungnya.

Anarghya Widagda kembali duduk.

Sekuat tenaga ia tahan getaran di tangan kanannya yang muncul karena intensitas rasa kikuk, bingung, khawatir dan berahi yang semakin meningkat. Awahita Pengayuh Ambarningsih ternyata sudah memperhatikan gejala tersebut. Ia menatap langsung menerobos kedua biji mata bawahannya tersebut. "Begini, dek Widagda mungkin paham bahwa mbak memperhatikan cara adek bekerja di perusahaan kita. Terus terang, mbak puas dengan apa yang sudah dek Widagda lakukan," lanjut Awahita Pengayuh Ambarningsih terdengar serius.

Anarghya Widagda kembali bingung. Ah, sungguh kah apa yang dikatakan pimpinan ku ini? Pikirnya. Setahu Anarghya Widagda, pekerjaan yang ia lakukan sebenarnya biasa-biasa saja. Bahkan ia cenderung bekerja secara terbatas. Ini karena apalagi kalau bukan disebabkan kelemahan fisiknya yang satu itu. Lagipula, meski mendadak merasa tersanjung, tapi ia tak pernah menyangka bahwa sang atasan memperhatikan cara kerjanya secara khusus.

"Jadi, pada dasarnya mbak ingin sekali mempromosikan dek Widagda ke atasan untuk kenaikan pangkat dan posisi kerja yang lebih baik karena memang mbak tahu dek Widagda memang merupakan seorang pekerja ulet dan pantas untuk mendapatkan hal itu," lanjut Awahita Pengayuh Ambarningsih kemudian.

Anarghya Widagda semakin terkejut dan tidak percaya dengan perkataan sang pimpinan itu. Bagaimana mungkin pujian ini datang begitu saja, sedangkan dari awal semua pegawai tahu bahwa ia adalah seorang pekerja yang tidak memiliki keistimewaan apapun, malah justru sisanya kekurangan. Bukankah itu hal prisip yang membedakan dirinya dengan pekerja dan pegawai lain?

Tapi, bagaimanapun, Anarghya Widagda sementara ini mengikuti plot sang atasan. Ia pun langsung mengatakan kepada Awahita Pengayuh Ambarningsih sekalian saja bahwa ia masih tak paham maksud sang atasan.

"Iya, benar dek Widagda," ujarnya tetap memandang menusuk ke dalam mata Anarghya Widagda. Saat itupun Anarghya Widahgda baru sadar bahwa sang atasan memanggil namanya dengan nama belakang, Widagda, dimana hanya orang-orang yang mengenalnya dengan baik dan dekat lah yang menggunakannya - dan jumlahnya tak banyak. Salah satunya adalah Pambudi.

"Hanya saja, memang mengenai permasalahan dek Widagda yang satu itu ...," lanjutnya sembari memberikan tanda dengan kedua mata nya merujuk ke arah tangan kanan Anarghya Widagda yang dipeluk dengan tangan satunya. "..., sulit diajak kompromi," kata Awahita Pengayuh Ambarningsih kemudian menutupnya dengan sedikit tak enak.

Begitu rupanya. Mungkin Anarghya Widagda sudah paham alur cerita dan alasan si atasan. Jangan-jangan memang ia memiliki potensi sebagai seorang pegawai yang bagus, toh wanita ini adalah seorang pemimpin sehingga harusnya paham kualitas seorang bawahan. Tapi, mungkin saja memang karena masalah dengan tangan kanan Anarghya Widagda itulah yang menyebabkan nya menutup potensi dirinya sendiri. Pemikiran inilah yang mendadak mengambil alih semua kecurigaan dan keraguan Anarghya Widagda sebelumnya.

Tentu saja Anarghya Widagda kemudian menjelaskan bahwa ia paham dengan keadaan medisnya yang satu itu, dan ia benar-benar bisa menerimanya. Tidak ada rasa kecewa, atau niat untuk mengasah potensi yang disebutkan sang atasan tersebut. Ia cukup tahu diri dan puas dengan hasil yang telah ia capai. Sampai saat ini, ia sudah merasa berkecukupan.

Bukannya selesai di situ, Awahita Pengayuh Ambarningsih sepertinya masih belum mau menyerah menjelaskan maksudnya. "Tapi dek Widagda kan tetap harus menaikkan derajat kehidupan dek Widagda sendiri. Dengan penghasilan yang cukup tinggi dek Widagda akan hidup lebih makmur dan sejahtera. Apalagi bila kelak dek Widagda telah memiliki istri dan keluarga, maka kebutuhan pun akan semakin bertambah," protes sang atasan mendengar penjelasan Anarghya Widagda.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang