Jingga

104 13 0
                                    

Sudarmi hendak merasuk ke dalam tubuh Nala Turasih ketika Pak Kuranji datang memergokinya. Tujuan sang hantu adalah untuk bertempur dengan sosok mahluk manusia kadal bermata banyak yang lama berdiam di dalam jiwa sang anak perempuan.

Pak Kuranji mendapatkan penglihatan yang berupa pecahan-pecahan memori dan gambar-gambar tak beraturan dari sosok gaib Datuk Macan Kumbang. Dalam beberapa detik, jiwanya seperti tersedot ke dalam sebuah misteri sejarah besar, meluncur begitu cepat diantara lapisan citra kehidupan Nala Turasih. Dengan kemampuan nalarnya, Pak Kuranji mampu menyatukan beberapa kepingan itu menjadi sebuah runutan cerita yang jelas dan terang-benderang.

Sudarmi, berkebalikan dengan Pak Kuranji, malah mempertanyakan apa itu arti cinta. Ia tulus memberikan hidupnya bagi sang suami. Awalnya mungkin kekayaan Sadali Pandega muda berhasil membuatnya terpana, tapi jujur itu hanya sebentar. Sadali Pandega menunjukkan bahwa ia adalah seorang suami dan bapak yang baik. Cinta yang diberikan Sadali Pandega begitu polos dan murni, seperti tak sempat melewati patah hati dan kekecewaan seperti dirinya dahulu. Sudarmi hampir tak percaya bahwa ia adalah cinta pertama sang laki-laki, meski memang itu sebenar-benarnya.

Namun, begitu Sudarmi tahu bahwa sang suami telah mengabdikan diri pada kuasa kegelapan, kepercayaannya terhadap cinta luruh dan hancur berantakan. Sudarmi khawatir bila ia menunjukkan cinta terlalu besar kepada Nala Turasih, maka suaminya akan mengorbankan anak itu demi tumbal kepada Nyi Blorong. Perubahan perhatiannya kepada Nala Turasih diharapkan akan mengubah pendirian sang suami. Ironisnya, ia kemudian tahu bahwa Sadali Pandega lebih memilih Nala Turasih dan mengumpankannya kepada Nyi Blorong.

Kekacauan dan kekalutan pikiran dan perasaannya terus berputar dalam sebuah kutukan besar.

Nala Turasih menangis. Selama ini, selama hidupnya, ia merasa menjadi orang yang tanpa dicinta. Selama ini ia merasa tersesat tanpa manfaat. Ia bahkan merasakan kerinduan yang sangat pada sosok ibu yang kini telah wafat.

"Tidak perlu khawatir lagi, Ibu. Mahluk itu telah aku hancurkan. Aku membunuhnya di ruangan ini," ujar Pak Kuranji kepada hantu Sudarmi. "Biarkan kami pergi dari sini," lanjut Pak Kuranji pendek. Ia tak tahu benar apa yang bisa ia lakukan kepada sosok tersebut.

Sosok arwah Sudarmi muda memandang ke arah Nala Turasih maupun Pak Kuranji. Ia menunjukkan raut wajah tak terbaca. Ada kekecewaan, kesedihan dan rasa khawatir di sana. Perlahan, sosoknya menghilang tanpa meninggalkan bentuk atau jawaban apapun.

Nala Turasih makin kebingungan. Sepasang matanya masih mengalirkan air mata.

Pak Kuranji melepaskan perlahan rengkuhan lengan Nala Turasih, tetapi masih menggandengnya, kemudian berjalan pelan ke arah altar. "Benda serupa tugu itu adalah tiruan tugu di Laut Selatan dimana Bapak Sadali pertama menuntut ilmu pesugihan. Bapak Sadali ingin melawan kekuatan yang menuntut tumbal anak dan istrinya," ujar Pak Kuranji.

Nala Turasih menghapus air matanya. Ia tak sempat memikirkan nasibnya lagi selama ini. Perenungan atas hal tersebut harus menunggu dulu. Ada yang lebih penting sekarang. "Lalu, bagaimana dengan candi di kuburan Bapak, bang Kuranji?"

Pak Kuranji menggaruk-garuk kepalanya. "Itulah susahnya berkomunikasi dengan mahluk gaib, entah hantu entah jin. Mereka selalu saja berbicara dengan teka-teki. Ada banyak hal yang belum bisa aku temukan jawabannya, dek Nala. Potongan-potongan gambar itu beberapa terlalu kabur dan berbayang," jawab Pak Kuranji.

Wajah cantik Nala Turasih mengkerut bingung. Pak Kuranji sadar akan hal itu. "Nanti saja kujelaskan, dek Nala. Aku rasa sebaiknya kita pulang malam ini juga. Kamu ambil pakaian seadanya saja, aku juga harus mencari pakaian," lanjut Pak Kuranji.

Nala Turasih lagsung menundukkan wajahnya sadar bahwa Pak Kuranji sedang bertelanjang dada. Tubuhnya yang liat itu memamerkan pesona yang bahkan Nala Turasih sendiri tak mampu menatapnya. Sepasang pipinya memerah. Nala Turasih merasa wajahnya terbakar. Sayang sekali, Pak Kuranji tak bisa melihat gelagat dari sang dara tersebut.

"Cepat, dek Nala. Aku merasa kita akan mendapatkan banyak masalah kalau sampai terlalu lama berada di rumah ini," perintah Pak Kuranji kemudian.

Keduanya memang bergegas. Pak Kuranji sekarang baru benar-benar paham bentuk rumah ini yang sebenarnya. Ia tak merasa bingung apalagi sampai tersesat lagi. Ia menyauk selembar pakaian di kamar, mengambil dompet dan kunci mobil. Ia hendak mengambil tasnya ketika dari sela-sela rekahan di jendela ia melihat gerakan mencurigakan di luar.

Pak Kuranji mengintip keluar, tetapi tak menemukan apa-apa selain lapisan kabut dalam keremangan malam. Pak Kuranji kemudian lari ke depan, cepat tetapi tanpa suara. Ia membuka tirai dengan jarinya. Ada sosok-sosok orang yang ia kenal berdiri berdampingan di depan dan sekitar rumah. Para pemuda desa. Mereka bertelanjang dada dengan coretan-coretan tinta hitam aksara Jawa berbentuk melingkar di dada mereka. Di balik serabut kabut, Pak Kuranji melihat kesemuanya memegang senjata tajam.

Salah satu dari pemuda bahkan berserobok pandang dengannya.

"Bangsat!" kutuk Pak Kuranji dalam hati.

Ia berbalik dan berlari sekuat tenaga menaiki tangga menuju kamar Nala Turasih.

Sang gadis tersentak terkejut melihat abang iparnya masuk tergesa-gesa.

"Lupakan barang-barang kita, dek Nala. Ikut aku ke atas!" perintah Pak Kuranji.

Nala Turasih yang jelas masih kebingungan tetap mengikuti Pak Kuranji ketika tangannya ditarik. Mereka kembali menaiki tangga ke lantai tiga.

Sesampainya di pelataran dengan rerimbunan tanaman tersebut, Pak Kuranji menutup pintu dan menguncinya erat dari luar. Ia meminta Nala Turasih untuk menunduk dan berjalan mengendap-endap. Pak Kuranji sendiri kemudian mendekati tepian pelataran dan memandang perlahan ke bawah.

Dipastikan rumah ini sedang dikepung oleh orang-orang tersebut yang entah bermaksud jahat apa. Pak Kuranji berusaha menghitung dan tak mendapatkan hasil pasti. Sepuluh orang kurang lebih, paling tidak, pikirnya.

"Dek Nala, ada pemuda desa menyambangi rumah kita dengan membawa parang. Kita tak bisa mengambil resiko apapun. Biarpun kita tak tahu apa maksud mereka, tapi yang jelas kita harus sebisa mungkin menghindari mereka," ujar Pak Kuranji.

"Abang serius? Mereka akan membunuh kita, bang? Mengapa?"

Pak Kuranji mengangguk mantap tapi tidak memberikan jawaban. "Apa ada jalan lain untuk keluar dari rumah ini, dek Nala?"

Nala Turasih melihat sekeliling dengan cepat, kemudian ia seperti teringat sesuatu. "Bang Kuranji, ruangan itu memiliki tangga langsung ke samping rumah. Aku dulu sering turun melalui tangga itu untuk mengindar ketika dicari Ibu."

Pak Kuranji kembali mengangguk mantap. "Ayo, dek Nala. Aku kebetulan juga memarkirkan mobil di samping rumah."

Pak Kuranji menggandeng tangan Nala Turasih kemudian sembari masih mengendap-ngendap mereka berjalan ke ruangan di lantai paling atas tersebut dan membuka pintunya. Ruangan tersebut tanpa Pak Kuranji duga, juga merupakan sebuah ruangan yang indah. Cahaya jingga masuk melalui jendela lebar dan ventilasi yang juga besar-besar memenuhi ruangan. Ruangan ini terasa lega meski ada beberapa benda serupa patung atau karya seni diletakkan tengah ruangan.

 Ruangan ini terasa lega meski ada beberapa benda serupa patung atau karya seni diletakkan tengah ruangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bapak adalah seorang seniman juga, bang Kuranji. Sewaktu aku kecil dulu, Bapak kerap tersenyum melihat aku diam-diam datang kemari mengintip apa yang dia lakukan. Bapak adalah seorang pemahat yang hebat. Lihat patung dan karya seni yang ia buat itu, bang. Abang juga tahu bahwa rumah ini adalah rancangannya. Setiap sudut rumah tidak lepas dari sentuhannya."

Pak Kuranji terpesona. Ia menghela nafas dengan keindahan lain yang tak ia kira ada di dalam rumah selama ini. Namun keterpesonaannya hanya berlaku sementara karena mendadak Pak Kuranji tersingat sesuatu. "Sialan! Karambitku tertinggal di ruangan keramat!" seru Pak Kuranji tertahan. "Aku harus mengambilnya sekarang!"

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang