Api Unggun

121 14 0
                                    

Pak Kuranji tidak ada masalah dengan desa Obong. Tasmirah sang istri tinggal di desa ini sejak kecil dan Nala Turasih dilahirkan di tempat ini. Nala Turasih bahkan bisa dikatakan lebih dekat dengan desa Obong dibanding tinggal di rumah bersama mbak dan abang iparnya yang baru berjalan selama tiga tahun. Pak Kuranji dan keluarganya juga terbilang cukup sering mengunjungi rumah peninggalan ayah Nala Turasih tersebut setelah ibu mereka wafat, demi tujuan nostalgia dan kangen-kangenan.

Meski begitu, bukan berarti Pak Kuranji senang dan nyaman dengan rumah dan desa ini. Baginya, desa Obong malah terlalu asing. Asing dalam kebiasaan, pola pikir dan cara warga berkomunikasi serta berinteraksi.

Mobil pinjaman dari Pak Musa telah sampai di depan gerbang pintu rumah milik mendiang ayah mertua Pak Kuranji tersebut. Dua orang laki-laki dewasa, salah satunya malah mungkin seumuran Pak Kuranji datang cepat dan dengan gesit membuka pagar rumah tersebut dari dalam.

"Wah, dek Nala dan Pak Kuranji rupanya. Selamat datang. Silahkan, silahkan langsung masuk saja," ujar salah satu laki-laki tersebut.

Pak Kuranji dan Nala Turasih tersenyum lebar dan menundukkan kepala mereka beberapa kali dari dalam mobil dengan kaca mobil yang dibuka.

Kedua orang laki-laki tadi kembali menutup pagar dan berlari pelan menyambut kedatangan Nala Turasih dan Pak Kuranji.

Salah satu diantaranya melongok ke dalam mobil. "Loh, dek Pak Kuranji, mana anak dan istri? Apa mereka tidak ikut?"

"Tidak, mas. Tasmirah sedang tidak enak badan. Ini aku saja yang berangkat mengantarkan Nala. Sudah cukup lama dia tidak mengunjungi rumah ini. Besok sekalian mau ke makam kedua orangtuanya," jawab Pak Kuranji kepada laki-laki yang nampaknya memang lebih muda dibanding pria satunya.

"Terimakasih pakde-pakde sekalian sudah menjaga dan merawat rumah bapak," ujar Nala Turasih yang sudah turun dari mobil.

"Ah, sudah tugas kami, dek Nala. Memang bapak dek Nala adalah orang yang pantas dihormati. Jangan khawatir, dek Nala bisa datang dan pergi sesuka hati. Kami akan terus menjaga dan merawat rumah ini," balas pria yang lebih tua.

Tanpa perintah, keduanya langsung mengambil tas Nala Turasih dan Pak Kuranji yang tak seberapa itu. Padahal tak perlu untuk siapapun membantu mereka saking kecilnya tas yang mereka bawa. Memang keduanya tak berencana lama disini.

Kedua laki-laki yang ada di rumah ayah Nala Turasih itu adalah sepasang adik beradik yang dahulu juga merupakan pegawai sang ayah. Keduanya bekerja sedari masih muda sebagai pengurus rumah, termasuk sebagai petugas keamanan. Setelah sang juragan wafat, keduanya bersikeras kepada Nala Turasih dan Tasmirah untuk tetap membantu menjaga dan merawat rumah itu. Mereka beralasan bahwa selama hidup, tuan mereka itu telah banyak sekali memberikan bantuan dan pekerjaan sehingga sampai sekarang mereka dapat menghidupi keluarga mereka.

Awalnya kedua adik-beradik itu bekerja secara cuma-cuma. Namun kemudian Tasmirah, Nala Turasih dan mendiang ibunda mereka yang bersikeras untuk membayar mereka. Untungnya memang sang almarhum ayah, meski tak memimpin perusahaan tebunya lagi, masih memiliki cukup uang yang ditinggalkan bagi istri dan anak perempuannya.

Sudah hampir pukul enam petang hari itu. Lampu-lampu rumah yang dihidupkan memenuhi setiap sudut ruangan dengan cahaya. Pak Kuranji selalu saja lupa betapa besar rumah ini.

"Nah, dek Nala, Pak Kuranji, silahkan menginap sampai kapan saja. Kami selalu membersihkan rumah ini setiap hari. Jadi jangan khawatir, tidak ada debu di setiap kamar. Panggil saja kami di rumah kalau perlu bantuan. Ini kunci rumah saya serahkan kembali ke Pak Kuranji dan dek Nala," ujar pria yang lebih tua.

"Terimakasih, mas Pram dan mas Dar. Kami cuma sebentar disini. Tapi saya nanti mungkin juga main-main sebentar ke tempat mas-mas dan warga desa seperti biasa," ujar Pak Kuranji.

Pramudi, pria yang lebih tua, dan Darmadi, adiknya, sama-sama paham bahwa Nala Turasih memang beberapa kali pulang diantarkan oleh keluarga mbakyunya, Tasmirah. Keduanya tahu bahwa Nala Turasih masih kerap merasa kangen dengan rumah dimana ia lahir dan dibesarkan itu. Lagipula, toh rumah ini memang milik Nala Turasih.

Pramudi dan Darmadi mengangguk seragam. "Monggo, Pak Kuranji. Nanti malam kalau mau ngobrol-ngobrol sama orang kampung, datang saja ke pos ronda seperti biasa, Pak," balas Pramudi sembari tersenyum penuh makna.

"Bang, aku mandi dulu ya. Nanti aku bikinkah teh. Bang Kuranji istirahat saja dulu," ujar Nala Turasih setelah Pramudi dan Darmadi berpamitan.

"Sudah, sudah. Dek Nala mandi saja. Abang bisa bikin teh sendiri, kok," balas sang abang ipar.

Beberapa jam kemudian dihabiskan oleh keduanya mengobrol di ruang tamu sembari minum teh, berjalan-jalan di dalam rumah besar itu serta memasak. Bahan makanan selalu tersedia di dapur. Tasmirah dan Nala Turasih memang membiarkan Pramudi dan Darmadi memasak untuk mereka sendiri, dan menggunakan fasilitas apapun di dalam rumah karena keduanya yang bertanggungjawab atas rumah itu selama ditinggal.

"Dek Nala, kalau abang tinggal sebentar tidak apa 'kan? Abang sudah janji mau menyapa warga desa. Tidak enak kalau semalaman abang tidak main-main kesana," ijin Pak Kuranji ketika malam telah menjelang dan mereka telah selesai menyantap makan malam.

Nala Turasih mengangguk dan menguap di saat yang bersamaan. "Iya bang, Nala mengerti, kok. Abang bawa kunci pintunya sekalian saja ya. Siapa tahu Nala ketiduran nanti."

Inilah salah satu alasan sebabnya Pak Kuranji tidak terlalu nyaman dengan rumah dan desa Obong walaupun ia sudah sejak lama mengenal tempat ini. Sebagai pegawai sang mendiang ayah mertua tiri istrinya, Pak Kuranji sering bolak-balik ke rumah ini. Ia juga mengenal banyak warga desa. Lucunya, oleh karena mengenal desa dan orang-orangnya dengan baik itulah, Pak Kuranji selalu merasa tak cocok serta tak paham dengan mereka.

Seperti bertahun-tahun yang lalu, bila malam menjelang, di hari-hari tertentu, para laki-laki, pemuda desa maupun para sesepuh akan berkumpul di dekat pos ronda. Mereka semua duduk dan berdiri melingkari mengelilingi api unggun selama beberapa saat. Entah apa yang sebenarnya mereka lakukan, karena setelah itu mereka akan pulang menyisakan benerapa orang pemuda saja yang memang memiliki jadwal meronda malam itu.

Ketika mereka berkumpul, keadaan akan menjadi sangat sakral dan khidmat. Setiap Pak Kuranji menanyakan kepada salah satu dari pemuda seumurannya saat itu, mereka berkata bahwa kegiatan tersebut hanyalah kebiasaan warga saja yang telah dimulai sejak dahulu. Awalnya itu adalah bentuk kebersamaan warga untuk mendukung dan menyemangati rekan-rekan mereka yang sedang meronda.

Pak Kuranji tak mau bertanya lagi. Ia melihat kebiasaan itu lebih bagai ritual orang-orang sekte kepercayaan tertentu saja. Namun, apapun pemikirannya, ia tak mau ambil pusing. Ia hanya perlu menyapa warga desa yang ternyata malam ini memang sedang kembali melaksanakan ritual tersebut.

 Ia hanya perlu menyapa warga desa yang ternyata malam ini memang sedang kembali melaksanakan ritual tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang