Livy Tjandrawati

460 53 0
                                    

Anggalarang sudah tak ingat lagi bermimpi apa ia semalam. Rumah sakit penuh berjejal dengan para pegawai dan rekan kerjanya. Kabar mengenai sang penyelia baru, Jenar Keswari, yang dibawa ke Instalasi Gawat Darurat tadi malam, membuat kantor sibuk. Rasa prihatin dan keingintahuan datang dari para pejabat teras perusahaan, bawahan bahkan pekerja dari divisi lain pula. Mereka berbondong-bondong datang ke rumah sakit untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan wanita karir cantik kepala tiga itu, turut prihatin, atau sekadar menyetor wajah agar tak dianggap tak memiliki hati nurani meski mereka tak benar kenal apalagi peduli pada tokoh yang baru-baru ini menjadi tersohor di seantero kantor bahkan perusahaan tersebut.

Anggalarang duduk di satu sudut, tak terlalu paham dengan perasaannya sendiri. Jenar Kaswari boleh adalah Queenie baginya, namun bagi kebanyakan karyawan lain - terutama yang tak tahu dan tak mau tahu tentang hubungan gelap mereka - Anggalarang bukanlah orang penting yang bisa duduk paling dekat dengan kamar VIP Rumah Sakit sang penyelia.

Ia tak keberatan, toh ia masih bingung harus bagaimana. Ia memang tidur dengan perempuan itu, berbagi kehangatan, saling meredakan awan gelap di atas kepala yang menyebabkan penat, namun mereka bukanlah sepasang kekasih resmi. Bisa dikatakan, secara jujur, Anggalarang tak memiliki rasa khusus selain sama-sama berbagi kenikmatan semata. Sama-sama suka.

Jadi, apakah aneh atau jahat bila ia tak begitu bersedih atau penasaran dengan kondisi sang perempuan di dalam ruangan sana?

Anggalarang malah memperhatikan Livy Tjandrawati yang juga sedang memperhatikannya balik.

Hati laki-laki ini bisa dikatakan membeku, membuatnya selalu berperilaku dingin. Mungkin dengan begitu, trauma masa kecilnya dapat ditekan sedemikian rupa ke dalam alam bawah sadarnya. Sialnya, kebekuan perasaannya ini kerap diterjemahkan para perempuan sebagai gaya cool seorang Anggalarang yang membuat mereka semakin gemas dan kesengsem. Kebekuan yang disalahtafsirkan ini kemudian ditambahkan dengan sebuah mekanisme pertahanan psikologis berupa flamboyanisme nya. Harimau dalam tubuh Anggalarang melindungi dirinya dari sejarah dan memori kelam di masa kanak-kanaknya agar ia tak terluka. Hasilnya, Anggalarang tumbuh menjadi pria keren yang doyan wanita.

Livy Tjandrawati baru sekali berkencan dengan Anggalarang. Tapi ia ketagihan. Anggalarang adalah lelaki pembebasnya. Seorang pahlawan sekaligus mentor bercintanya. Dibesarkan dalam sebuah keluarga penuh larangan dan pembatasan, dipaksa melihat dunia dari satu sudut pandang saja membuat Livy Tjandrawati jengah.

Bertemu Anggalarang ibarat seorang anak kecil dibukakan pintu ke istana mainan. Maka Livy Tjandrawati pun bermain dan bersenang-senang.

Anggalarang memaksimalkan efektifitas tubuh tacik Surabaya itu di atas ranjang: bagaimana memainkan bahunya yang tinggi, lengan dan dadanya yang padat berisi, paha dan kaki yang mengerucut lurus tak bercela. Anggalarang meyakinkan dirinya bahwa tubuhnya adalah miliknya sendiri. Ia berhak atas apapun yang mau ia lakukan terhadapnya, termasuk memberikan kepada Anggalarang untuk mencumbunya.

Terdengar sebagai sebuah trik yang sarat akan tipuan murahan khas laki-laki buaya. Namun, mendapatkan kesempatan seperti ini, Livy Tjandrawati malah benar-benar menggunakannya untuk mengekspresikan diri. Ia binal di atas tubuh Anggalarang.

***

Livy Tjandrawati melihat bayangan tubuh Anggalarang yang dipahat sempurna itu sedang berdiri membelakanginya. Sosoknya gelap tersinari sinar lampu dari luar jendela hotel.

Gadis itu meraba telepon genggamnya di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Sepasang matanya yang sudah sipit semakin menyipit merespon sinar terang yang bersinar dari layar smartphone nya. Pukul tiga subuh.

"Anggalarang, sedang apa kamu disitu? Segera kembali ke sini," ujar Livy Tjandrawati menepuk permukaan kasur disampingnya.

Tak ada jawaban dari Anggalarang.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang