Dyiwang Awang

252 33 0
                                    

Dyiwang Awang percaya ada sesuatu yang berbeda pada dua orang pendatang di pemukiman mereka ini. Masalah bila keduanya adalah para penjahat atau pengedar narkoba, itu hal yang sebenarnya bukan hal yang baru. Pemukiman padat korban kesombongan dan sifat boros warga di masa lalu ini sudah berubah menjadi ladang beragam jenis kebobrokan. Bila ada orang luar yang datang dan tinggal di tempat ini, sudah barang tentu mereka adalah orang-orang bobrok pula. Inilah daya tarik pemukiman tersebut.

Juned dan Waluyo mengontrak rumah salah satu warga dengan harga pantas. Sebentar saja para pemuda pecinta motor sport, alkohol, judi dan perempuan itu segera terpana pada kedua orang baru itu.

Juned royal sekali dengan sekeliling. Tak tanggung-tanggung, hampir setiap malam Minggu ia menyodorkan satu krat bir yang berisi dua puluh empat botol minuman memabukkan kepada para pemuda yang sibuk berbicara omong kosong di depan gapura hunian tersebut.

Waluyo, yang memang kemudian diketahui sebagai pengedar narkoba kecil-kecilan di wilayah yang tak benar-benar orang ketahui itu, tentu saja sering memberikan cuilan barang dagangannya kepada para pemuda pemadat di sekitar hunian.

Tidak perlu menebak-nebak pekerjaan mereka, semua orang tak keberatan bila Juned dan Waluyo adalah juga bagian dari gerombolan perampok atau jenis penjahat lainnya. Keduanya memberikan kesenangan pada jiwa muda hunian bobrok ini.

Tapi, Dyiwang Awang melihat lain hal dari keduanya, sesuatu yang berbeda, berharga dan entah mengapa ia yakin bahwa ia memerlukannya.

***

Dyiwang Awang mengambil sesuatu dari sakunya dengan gugup. Sobekan kain berwarna kuning lusuh yang juga sudah terlihat tua bahkan purba.

Ia ingat beberapa waktu yang lalu Juned, salah satu dari dua pemuda yang mengontrak rumah di hunian mereka, meminjamkan secarik kain kuning tersebut padanya. "Ini saya pinjamkan sengaja supaya akang dapat melihat sendiri hasil dan buktinya. Kalau ternyata tidak terjadi apa-apa, berarti saya yang salah. Anggap saja saya main-main dengan akang. Toh tidak ada ruginya, bukan? Lakukan saja seperti apa yang saya katakan tadi," ujar laki-laki itu ketika menyerahkan benda yang sedang ia genggam di tangannya itu.

Waktu sudah direncanakan dengan baik oleh Dyiwang Awang. Tidak boleh ada kesalahan. Tidak lebih cepat, tidak lebih lambat. Untungnya ia kenal sekali dengan kebiasaan Dyah Suhita dari kecil, remaja, dan tentu saja sampai saat ini.

Setiap malam sepulang kerja, Dyah Suhita akan membersihkan diri di kamar mandi yang terletak di luar rumahnya. Kamar mandi itu sebenarnya digunakan berkongsi bergantian bergiliran dengan dua rumah tetangga yang konon masih merupakan saudara Ambu nya.

Dyiwang Awang harus memanjat pagar dinding batu bata merah berlumut dan menyusur tembok gelap samping rumah Dyah Suhita serta melewati semak-semak berumput rendah namun lebat dengan sangat perlahan untuk bisa sampai ke kamar mandi yang juga berfungsi sebagai jamban tersebut.

Di balik ilalang rendah itulah Dyiwang Awang berjongkok meratakan kepalanya sebisa mungkin sama tinggi dengan ujung-ujung rumput. Kegelapan memainkan perannya dengan baik. Kamar mandi itu berjarak sepuluh langkah dari Dyiwang Awang menyamarkan diri.

Dyah Suhita, seperti yang Dyiwang Awang duga, berjalan pelan dari rumahnya menuju ke kamar mandi dengan menyelempangkan selembar handuk di bahunya.

Dyiwang Awang merasakan jantungnya berdetak gila-gilaan. Darahnya menyembur ke seluruh tubuh dengan kuat sehingga membuat kepalanya pusing. Ia tak tahu apakah ia bodoh dengan memercayai Juned dan melakukan tindakan konyol ini.

Hawa alkohol masih bermain-main di rongga kepalanya, membuat kegilaan dan berahi ikut bergejolak bersamanya.

Kain lusuh berwarna kuning itu ia genggam erat di tangan kanan sampai kuku-kukunya yang panjang kehitaman yang tak sempat ia potong serasa menancap di telapak tangannya. Ia menutup mata dan membaca urutan sebuah rapalan yang diminta Juned untuk dihapalkan.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang