Kabut

98 20 3
                                    

Hanya tiga tingkat, dan lantai paling atas hanyalah sebuah ruangan kecil khusus untuk tanaman, tetapi mengapa rumah ini selalu terasa begitu besar? Pikir Pak Kuranji. Ia dahulu sering bolak-balik karena urusan pekerjaan. Ia juga telah beberapa kali mencumbu Tasmirah di berbagai kamar. Namun, ia masih belum bisa hapal ruangan mana-mana saja dan apa saja fungsinya.

Ini berbeda dengan Nala Turasih yang terlihat begitu luwes dan fasih dalam menjelaskan setiap sudut rumah. Memang, selain alasan yang jelas yaitu karena Nala Turasih dilahirkan dan tumbuh di tempat ini, benar ada pula semacam keterikatan sang gadis dengan rumah yang dibangun oleh sang ayah dengan kedua tangannya tersebut.

Nala Turasih melepas cardigannya. Ia berjalan ceria di atas permukaan lantai, seakan melayang. Pak Kuranji mengikuti sang gadis mengecek kamar demi kamar, ruangan demi ruangan, sudut demi sudut. Yang aneh menurut Pak Kuranji adalah sikap Nala Turasih. Pak kuranji melihat dengan baik kontradiksi dalam menyikapi perilaku ceria yang dipamerkan Nala Turasih. Rumah misterius ini membawa beragam aspek dalam kehidupan dan pikiran Nala Turasih. Gadis itu seperti tidak menjadi dirinya. Pak Kuranji mengingat apa yang diceritakan Nala Turasih tadi.

Di tempat lain, masih di desa Obong, di bagian utara desa, tidak jauh dari makam Sadali Pandega dan Sudarmi yang sakral dan dikeramatkan oleh warga, sekelompok pemuda sedang duduk dalam lingkaran di bawah sebuah pohon beringin. Sungai Pratama mengalir tak jauh dari tempat itu, arusnya turun dari pegunungan terus ke desa-desa di bawahnya.

Pukul sepuluh pagi saat itu. Sinar mentari tertahan kabut aneh yang datang perlahan serta rerimbunan pepohonan. Para pemuda menutup mata dengan khusyuk. Bibir mereka bergerak-gerak melafalkan sebuah mantra pelan tetapi seragam.

"... ana wiyat jenroning bhumi. Surya murup ing banthala ...," terdengar larik-larik mantra dalam bahasa Jawa diucapkan mengambang di udara, mengumpul dan saling taut. " ... bumi sap pitu. Anehlahi sabhuwana. Rahina tan kena wengi, urip tan kenanging pati. Ingsun pengawak jagat, mati ora mati tlinceng geni tanpa kukus ...."

Kabut pukul sepuluh pagi itu terus berderap datang bukan dalam kepulan, tapi serat dan cabikan.

"... ceng cleleng, ceng cleleng, kasangga ibu pertiwi. Tangi dhewe, urip dhewe aning jagat mustika lananing jaya ..," mantra masih terus diucapkan dalam suara rendah namun bernada harmonis.

Bagi siapapun yang memahami ilmu kesakten dan gaib, pasti sudah dapat menduga bahwa mantra-mantra itu adalah pelengkap dari ilmu yang disebut sebagai pancasona. Sebuah ilmu purba yang digunakan oleh seseorang untuk menolak kematian. Ilmu ini diaplikasikan agar seseorang yang telah mati dapat kembali lagi ke dalam kehidupan. Bedanya, mantra yang mereka lafalkan telah dimodifikasi sedemikan rupa sehingga ada kekuatan-kekuatan lain yang digunakan dan dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tertentu.

Di sudut yang lain, tiga pemuda lain sedang mengasah senjata tajam: parang panjang, golok dan klewang. Semua senjata itu dibariskan rapi dan disenderkan pada sebuah pohon. Jumlahnya tepat sejumlah semua pemuda, baik yang sedang khusus membaca mantra ataupun ketiga orang yang sedang mengasah.

Pramudi dan Darmadi muncul menyibak kabut, membuat ketiga orang yang sedang mengasah memberhentikan kegiatan mereka sejenak untuk memberikan hormat sebelum kembali pada pekerjaannya.

Pramudi sang kakak melihat ke arah para pemuda, kemudian melemparkan pandangannya ke arah kompleks makam. "Sadali hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia terlalu berpikir sederhana dan tidak pernah melihat tujuan yang lebih besar. Harta benar memang tak dibawa mati. Itu sebabnya, harusnya kematianlah yang harus dihindari!" ujarnya dengan tegas.

Darmadi sang adik mengangguk mantap. Seringai mengerikan tergaris jelas bagai sebuah robekan besar di wajahnya.

Jiwa kedua orang adik-beradik tersebut tergetar oleh suatu hal besar nan agung yang sedang menunggu mereka. Segala rencana dan tindakan yang akan mereka laksanakan ini adalah demi hal yang telah mereka tunggu lama, terlalu lama bahkan. Tidak hanya penuh dengan penungguan dan penantian, tetapi pengorbanan keringat dan darah. Mereka harus berhasil.

Matahari yang semua bersinar terang kini meredup. Kabut magis menggelinding turun dari pegunungan menerobos pepohonan, dedaunan, aliran sungai dan mengumpul tepat di atas makam bagai sebuah payung raksasa.

 Kabut magis menggelinding turun dari pegunungan menerobos pepohonan, dedaunan, aliran sungai dan mengumpul tepat di atas makam bagai sebuah payung raksasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pramudi dan Darmadi menghela nafas panjang. Ada semacam ekstasi di dalam dada mereka. Bahkan pagi pun telah disulap menjadi malam. Kekuatan macam apa itu bila bukan berasal dari entitas purba yang begitu kuat dan berkuasa. Keduanya berjalan pelan ke arah makam sembari ikut melantunkan lafal mantra pembangkit.

Pak Kuranji tersandung dan hampir terjatuh, sebelum dengan gesit dan cekatan menyeimbangkan dirinya.

Nala Turasih memandang ke belakang. "Bang Kuranji? Abang tidak apa-apa?" ujarnya.

Pak Kuranji menggaruk kepalanya. "Kok aku berpikir rumah ini sedang bergerak, ya?" jawab Pak Kuranji, tapi sepertinya lebih kepada diri sendiri.

Nala Turasih tertawa renyah. Ia mendekati Pak Kuranji dan tanpa sungkan, dengan gaya ceria ala anak remaja, meraih tangan abang iparnya tersebut, kemudian menggandengnya. "Sudah lama tidak terjadi gempa di tempat ini, bang. Mungkin tadi ada lindu yang cuma bisa abang rasakan," ujarnya bercanda. "Ayo bang, aku akan tunjukkan tempat kesenanganku. Aku dulu sering menghabiskan waktu disana seharian."

Pak Kuranji tidak yakin dengan apa yang terjadi. Pertama, ia sadar benar dan yakin lantai yang injak sedang bergeser. Namun, bagaimana ia menjelaskannya? Kedua, tangannya digandeng oleh Nala Turasih? Apa ini sebenarnya?

Pak Kuranji terseret, bukan oleh kekuatan sang gadis yang menarik tangannya, tetapi oleh perasaan. Ia terpenjara oleh pesona Nala Turasih. Di rumah ini, Nala Turasih mendadak berubah menjadi sosok yang sedikit, atau mungkin sama sekali, berbeda.

Tunggu! Kekalutan menyerang pikiran Pak Kuranji yang peka dan tajam. Bagaimanapun ia sudah terbentuk oleh kerasnya pengalaman hidup. Kecerdasannya bagai insting seekor binatang buas.

Sembari tetap membiarkan dirinya diseret oleh kelembutan sentuhan adik iparnya itu, pikirannya tetap awas. Ia sedang mengumpulkan informasi yang mungkin dapat membantunya menjawab misteri yang ia sedang alami.

Terpenjara? Bukan dirinya sendiri? Bukankah itu yang sering diucapkan Nala Turasih ketika ia tadi menyurahkan kegelisahannya di jalan setapak sepulangnya mereka dari makam?

Apakah kini ia yang sedang terpenjara? Apakah ada kekuatan tak teraba, tak terlihat dan terukur sedang memanfaatkan pesona Nala Turasih yang mendadak menjadi bukan dirinya di dalam rumah ini?

Pak Kuranji meraba gagang karambit di bagian belakang pinggangnya. Ia mau tak mau harus mencoba melakukan hal yang sebelumnya tak begitu ia pikirkan dan perhatikan, yaitu memanggil nama sang leluhur. Ia sangat membutuhkan perlindungan dari kekuatan gaib yang tidak begitu akrab dengan dirinya. Perampok, begal, penjahat atau para preman bukanlah masalah besar baginya. Ia masih bisa melawan, atau paling tidak menggertak sosok yang terlihat dan terasa daging dan tulangnya itu. Namun, untuk mahluk halus atau apapun itu yang mengganggu mimpi, jiwa dan pikirannya, mau tidak mau Pak Kuranji harus menggunakan cara lain yang mungkin.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang