Bagian-bagian rumah itu terus bergerak berubah-ubah. Setiap sudut bangunan seperti bernafas dan hidup. Mata orang biasa tak akan mampu merekam apapun selain pemandangan atas sebuah bangunan rumah besar nan megah dengan sedikit bagiannya yang masih direnovasi semata. Padahal, rumah kepunyaan sang pemilik perusahaan tebu itu bergerak menggelegak bahkan mungkin bertambah luas layaknya berkembang biak.
Lingga Ardiman yang berada di dalamnya sama sekali tak tahu itu. Yang ia rasakan sekarang hanya pendaran sinar indah dan taburan kelopak bebungaan yang menyirami jiwanya tatkala ia berjalan mengikuti sosok Nala Turasih. Gadis itu masih menggandeng tangannya. Bahkan dari belakang pun, lekuk tubuh dari tulang belikat, pinggul sampai bokongnya adalah sempurna adanya. Rambut panjang gadis yang beberapa helainya berkibaran membuat sang pemuda lupa dunia. Ia tak tahu lantai yang ia injak bergeser-geser memenuhi rongga ruang-ruang gaib.
Nala Turasih yang asli duduk di samping tempat tidur sang ayah. Ia pun tak mengetahui bahwa sejak kemarin, pemuda salah satu pegawai ayahnya yang kerap datang ke rumahnya itu bertemu dengan sosok yang mirip dirinya tapi jelas bukan dirinya. Ia sendiri sebenarnya jarang sekali bertemu dan lama berbicara apalagi mengobrol dengan Lingga Ardiman. Boro-boro berbicara panjang lebar, bahkan bertegur sapa sekalipun, Nala Turasih kerap terlalu malas untuk melakukannya. Tidak hanya kepada Lingga Ardiman, Nala Turasih paling malas berurusan dengan para pegawai atau tamu-tamu ayahnya.
"Nala, bapak pengin kapan-kapan kamu main ke tempat kakakmu, Tasmirah dan suaminya. Biar ibumu yang mengantarkan kamu kesana," ujar sang ayah sembari memandang ke arah putri kandung tercintanya itu.
"Kapan-kapan, Pak. Yang jelas tidak dalam waktu dekat. Bapak sedang tidak sehat begini, kok malah aku dan ibu meninggalkan bapak sendirian. Lagian, mengapa bapak malah membebastugaskan para pegawai di rumah ini, sih, Pak? Cuma Mbok Santi yang pulang pergi untuk masak dan mas Danar serta Paklik Sugek yang bertugas membereskan rumah. Itu juga mereka tidak menetap di rumah ini lagi," balas Nala Turasih.
Sang ayah menatap putrinya, kemudian memalingkan wajah ke arah sang istri. Ibu Nala Turasih itu membalas tatapan sang suami tanpa menunjukkan perubahan wajah apapun.
"Kamu terlalu lama di rumah ini. Bapak mau kamu bertemu orang lain, melihat tempat lain, kalau perlu tinggal di rumah lain," ujar sang ayah.
Nala Turasih hendak memprotes ketika kini sang ibu yang mendekat ke arah suaminya itu, duduk di tepian ranjang dan menyentuh bahu rapuh suaminya dengan pelan. "Iya, mas. Aku nanti akan meminta Nala untuk pergi mengunjungi Tasmirah dan Kuranji, suaminya."
Sang suami tersenyum ke arah istrinya, "Walau Tasmirah adalah anak dari suami pertamu, dia dan Nala tetap saja adalah saudara. Sewaktu Nala masih bayi dan Tasmirah belum menikah, kamu lihat sendiri bahwa Tasmirah sangat sayang dengan Nala. Aku yakin dia pasti dengan senang hati menerima Nala," ujar sang suami.
Nala Turasih mengernyit. Ia bingung dengan percakapan ini. Mengapa ia terlihat sekali didorong untuk pergi dan tinggal dengan kakak perempuan yang tinggal dengan keluarganya sendiri itu? Bukankah dirinya memiliki rumah sendiri?
Sang ibu memberikan sinyal kepada Nala Turasih untuk menurut saja. Sang gadis memahami bahwa sang ayah memang sedang dalam keadaan yang sangat tidak baik, maka tak perlu banyak protes dan tanya. Tidak baik bagi pikiran dan kesehatan sang ayah.
Nala Turasih, meski masih muda, adalah seorang anak perempuan yang penurut, manis, rajin dan tidak pernah merepotkan. Secara fisik, bahkan, ia adalah gadis yang memiliki pesona luar biasa. Oleh sebab itu, sang ayah begitu menyanyanginya, sampai-sampai rela menumbalkan dirinya sendiri demi kesehatan dan keaejahteraan Nala Turasih.
Kini, sang juragan tebu tak rela anak gadis itu tinggal di rumah yang telah ia bangun dengan kekuatan gaib. Segala kekayaan yang ia capai sudah tak berarti lagi. Awalnya dahulu, kekuatan iblis di dunia seberang meminta tumbal salah satu anaknya, yaitu yang paling tua. Ia menyetujui itu. Namun, sejak lahir, sang juragan merasakan cinta dan kasih yang tumpah ruah meluber dari kolam jiwanya. Ia jatuh hati dengan keindahan tangisan orok perempuan itu, sampai-sampai lupa untuk membayar tumbalnya. Ia tak berpikir lagi untuk memiliki anak lagi karena sudah terlanjur mencintai anak putrinya tersebut. Nala Turasih benar-benar tumbuh menjadi anak yang cantik, berbakti kepada orang tua dan hidup dengan gaya yang sederhana.
Kematian anak perempuannya ada usia ketigabelas itu, tentu membuat sang juragan terpukul setengah mati. Ia biarkan saja sang iblis melakukan apa yang mereka mau, selama Nala Turasih dapat kembali hidup. Ia pun rela mengorbankan jiwa raganya untuk dilempar ke dalam lautan api yang membakar bergelora di neraka kelak.
Sang juragan paham bahwa rumahnya telah perlahan berkuasa atas dirinya. Setan jahanam menggunakan bangunan ini sebagai landasan kekuatan mereka di atas bumi, tidak hanya sebagai sebuah jembatan untuk menyebrang ke dunia manusia, tetapi juga sebagai benteng dan kerajaan mereka. Usianya pun sudah akan segera berakhir, sang juragan paham itu. Segala jenis mahluk halus merangkak di lantai rumahnya yang terus-terusan bergeser-geser, merayap di dinding kamarnya yang menggelembung mengempis, atau menempel di langit-langit rumahnya yang berdenyut-denyut magis. Mereka datang untuk mengambil alih kuasa atas rumah ini sekaligus menjemput nyawanya untuk dilempar ke sumur neraka jahanam.
Sang juragan hanya ingin putrinya agar selamat dan tidak tersakiti. Itu sebabnya pula, ia membiarkan mahluk brtungkai panjang dengan biji-biji mata memenuhi wajah dan bagian dalam mulutnya untuk menyamar menjadi Nala Turasih dan menggoda salah satu pegawainya, Lingga Ardiman yang akan dijadikan korban terakhir agar putrinya tak akan diganggu-ganggu lagi. Lingga Ardiman adalah sebuah harga yang murah agar sang juragan bisa tenang meninggalkan kehidupan ini tanpa khawatir putrinya menjadi bulan-bulanan para hantu, iblis, setan dan siluman.
Lingga Ardiman di sudut yang lain di rumah gaib milik sang juragan tebu itu sedang duduk nyaman di sebuah kursi. Teh hangat kembali dihidangkan di depan wajahnya, di atas sebuah meja kayu jati berukuran sedang. Aroma wedang memenuhi udara dan mengunci setiap sudut atmosfir.
Ia melihat ke sekeliling ke arah perabotan, lukisan di dinding, langit-langit bahkan lantainya. "Kita di ruangan apa ya, dek Nala? Kok kita ke sini? Mas tidak enak, soalnya belum pernah sampai masuk-masuk ke ruangan di rumah ini segala. Kok, kesannya mas lancang begitu," tanya Lingga Ardiman. Sepasang matanya masih menyelidik ke setiap inci ruangan, meski pikirannya tak benar meneliti.
Benar saja, konsentrasi pemuda itu langsung hilang dari kegiatannya menerawang ruangan ketika sosok Nala Turasih muncul di hadapannya.
"Tidak masalah, kok, mas Lingga. Kan mas pegawai bapak. Mas sudah diberikan tanggung jawab dan kewajiban untuk mengurusi pekerjaan bapak di perusahaan. Jadi, main-main sedikit ke rumah pasti bukan masalah," ujar sang gadis sembari tersenyum.
Sang pemuda meringis. "Ah, dek Nala. Tugas mas tidak sepenting itu," ujarnya tidak enak. Sepasang matanya kini memindai seluruh lekuk tubuh anak perempuan tuannya yang berdiri di depannya. Wajah cantiknya yang cenderung polos dan manis itu mendadak tercoret oleh senyuman nakal nan binal. Tak pelak, bahasa tubuh sang gadis pun langsung menyesuaikan raut wajahnya itu. Gerakan bahu dan pinggulnya yang sederhana namun memiliki kekuatan pesona dan goda luar biasa membuat laki-laki dewasa yang duduk di hadapannya, di balik meja jati berukuran sedang itu, berkelojotan di dalam hatinya.
_______________________________________Mohon dukungan para pembaca di cerita misteri/thriller/horor saya yang lain, yang saya tulis di laman gwp.id berjudul 'enam'.
Novel tersebut sedang diikutsertakan dalam sebuah kompetisi menulis. Silahkan nikmati dan dukung dengan membaca, vote dan komen.
Seberapa besar kalian mengenal sahabat kalian?
Enam orang sahabat berkumpul lagi setelah setahun tak bertemu. Mereka kembali merajut keakraban dan tawa setelah sebuah kejadian di masa lalu melelehkan ikatan emosional diantara mereka. Namun, perjalanan yang seharusnya menjadi sebuah liburan padat akan hasrat persahabatan itu harus melalui beragam hal misterius bahkan mengerikan. Nampaknya masa lalu kembali menghantui mereka. Perlahan setiap anggota kelompok ini menunjukkan jati diri mereka sebenarnya.
Link: https://gwp.id/story/128861/enam
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...