Ular Derik

179 23 0
                                    

Bagai seekor ular derik, bau melati itu menjebak dan memenjarakan Anarghya Widagda. Keakraban pada aroma tersebut membuatknya seakan tak mau pergi walau marabahaya nampaknya sedang mendekat.

Dengan sekuat tenaga dan keteguhan hati, Anarghya Widagda mencoba untuk berbalik dan lari dari tempat itu, tapi tangan sosok yang dingin itu mencengkram pundaknya.

"Capek ya?" mata Anarghya Widagda terbelalak, nafasnya memburu, namun ia tahan sebisa mungkin. Akhirnya ia terbangun dan melihat ke arah tangan yang menyentuhnya. Terlihatlah sekarang Awahita Pengayuh Ambarningsih sedang memegang pundaknya lembut dari belakang. Wajah sang atasan menunjukkan keprihatinan dan rasa bersalah karena telah membangunkan bawahan laki-lakinya ini.

"Maaf karena mbak sampai membangunkan kamu," ujar Awahita Pengayuh Ambarningsih terlihat jujur.

Aanarghya Widagda sendiri sudah terlanjur panik dan ketakutan sehingga tak terasa tangan kanannya kembali bergetar, bahkan sedikit lebih hebat kali ini. Awahita Pengayuh Ambarningsih menangkap kejadian itu dengan kedua matanya.

"Dek Widagda, kamu tidak apa-apa? Mengapa tangan kamu sampai bergetar begitu?" tanya Awahita Pengayuh Ambarningsih agak panik seraya tiba-tiba meluncur duduk di sofa, di samping Anarghya Widagda, dekat sekali. Baru kali inilah ia menyaksikan secara langsung gejala penyakit yang menjadi masalah bawahannya ini setelah cukup lama mendengarnya dari beragam sumber.

Sebagai respon pertanyaan sang atasan, Anarghya Widagda menggeleng-gelengkan kepala dan sontak menggeser duduk agak menjauh dari wanita itu. Reaksi ini adalah bentuk campuran rasa panik serta takut dengan kejadian barusan dan rasa tidak nyaman karena duduk terlalu dekat dengan atasan perempuannya tersebut.

Anarghya Widagda menutup mata dan menyetel otaknya agar dapat menahan getaran tangan kanannya itu. Lihat betapa memalukannya kejadian ini, pikirnya. Maka ia memerintahkan tangan kanannya sekuat tenaga untuk berhenti melakukan tindakan anehnya tersebut.

Awahita Pengayuh Ambarningsih masih sabar melihat dengan penuh kekhawatiran dan concern atas usaha bawahannya tersebut sampai berangsur-angsur tangan kanannya benar-benar berhenti bergetar.

Anarghya Widagda meminta maaf kepada atasan wanita nya tersebut karena tadinya ia tidak sadar bisa sampai tertidur di sofanya. Ini adalah sebuah perilaku yang tidak pantas. Anarghya Widagda juga segera mengatakan kepada Awahita Pengayuh Ambarningsih bahwa mendadak penyakit tangan bergetarnya itu juga mendadak kumat. Anarghya Widagda jelas tidak enak dengan semua hal ini, ujarnya kemudian setelah memastikan jantungnya berdetak normal kembali.

"Ah, mbak yang meminta maaf karena membuat dek Widagda menunggu terlalu lama. Mbak juga kan yang memaksa dek Widagda untuk mampir sejenak padahal dek Widagda jelas-jelas sudah kelelahan," ujar Awahita Pengayuh Ambarningsih sembari menghela nafas penyesalan yang lagi-lagi nampak tulus dan tak dibuat-buat bagi Anarghya Widagda.

Anarghya Widagda hanya mengangguk saja tanpa benar tahu harus merespon seperti apa.

Awahita Pengayuh Ambarningsih masih mengenakan pakaian yang sama, minus blazer nya. Kini rok span nya tertarik minim ke atas ketika duduk, memamerkan kulit paha sewarna lobak segar, berkilat oleh pantulan sinar lampu dam cahaya keperakan pantulan ornamen ruangan. Kemeja putihnya menggelembung membusung ke depan terdorong oleh sepasang dadanya yang membulat seperti hendak meloncat, keluar mendesak dari tempatnya berada membuat Anarghya Widagda ngeri khawatir kancing-kancing kemejanya itu akan berlepasan tak kuat menahan tekanan.

Anarghya Widagda memalingkan wajahnya.

"Mbak harap dek Widagda dapat sedikit maklum mengapa mbak mengajak dek Widagda sampai masuk ke rumah", ujar sang atasan perlahan. Setiap kata ditekankan sedemikian rupa agar dapat dipahami dengan baik oleh si bawahan. Anarghya Widagda berpikir bahwa atasannya ini mungkin sekali sedang berusaha membuatnya tak tenggelam ke dalam rasa tak enak dan awkward karena sempat tertidur di sofanya dan terbangun dalam keadaan penyakit gilanya itu kambuh.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang