Lemari

116 20 0
                                    

Tasmirah menerima setiap kecupan lembut dari pemuda Kuranji. Bibir sang pemuda menelesuri dagu, leher dan berhenti di lekukan dadanya yang menonjol. Dengan sekali sibak, pucuk dadanya telah dikulum habis.

Tasmirah muda senang sekali dengan remasan tangan pemuda Kuranji yang kuat dengan telapak tangannya yang kasar. Sentuhan pemuda pegawai pabrik tebu ayah tirinya itu di permukaan kulit lembutnya, selalu saja mengirimkan kejutan setara sengatan listrik ke jantungnya. Kulit halus nan mulus di lapisan luar payudaranya yang menggembung itu seakan digesek selembar amplas kasar.

Tasmirah selalu menahan lenguhan dan desahannya setiap kali tubuh pemuda Kuranji melesak ke dalam tubuhnya. Mereka bercinta di mana saja di rumah milik ayah tirinya yang luar biasa besar ini. Terlalu banyak kamar dimana mereka bisa saling meraba, saling pagut dengan bebas. Tidak hanya itu, pemuda Kuranji selalu melakukannya dengan perlahan dan penuh perhatian dan perasaan. Adegan intim yang mereka lakukan berkali-kali setiap pemuda Kuranji datang membawakan laporan dan berkas-berkas penting perusahaan kepada sang ayah tiri tersebut tak pernah tergesa-gesa. Semuanya dilakukan seperti layaknya bercinta sungguhan, bukan sembunyi-sembunyi.

Kelembutan pemuda Kuranji ketika memainkan pucuk payudaranya dengan mengapit di kedua bibirnya serta sentuhan telapak tangan kasar yang menelusuri seluruh tubuhnya begitu dinikmati Tasmirah. Gadis muda itu melihat bahwa tangan kasar pemuda Kuranji menunjukkan bahwa ia adalah seorang pekerja keras. Sebaliknya, segala perilaku dan tindakannya sama sekali tidak menunjukkannya. Kelembutannya yang luar biasa membuat Tasmirah muda nyaman dan menyerahkan segala-galanya buat sang pegawai ayah tirinya itu.

Pemuda Kuranji memuja tubuh Tasmirah muda. Ia tak sekadar menikmati Tasmirah, tetapi memberikan dahulu kepuasaan kepadanya, mengeksplorasi setiap jengkal tubuh dan melayaninya bagai sebuah ritual pemujaan.

Tasmirah tersenyum membayangkan hal ini. Ia tidak pernah bercinta sampai gila-gilaan dengan sang suami selama ini. Ia juga tak keberatan, malahan ia sudah terlanjur nyaman dan terbiasa dengan cara Pak Kuranji memperlakukan tubuhnya. Sampai saat ini, setelah beranak dua, intensitas persetubuhan mereka memang tidak sesering dulu, tapi Tasmirah tak pernah merasakan perbedaan.

Tasmirah menyayangi suaminya. Ia tak bisa menjelaskan lebih mendetail mengenai perasaannya pada Pak Kuranji. Laki-laki itu adalah pemuda pertama yang menggerayangi tubuhnya dan berhasil membuatnya terbang. Selama tinggal bersama ibunya di rumah sang ayah tiri, suami baru ibunya, Tasmirah sebenarnya tak begitu nyaman. Ia sekadar melaksanakan tanggung jawab sebagai seorang anak kepada orangtuanya.

Bagi Tasmirah, rumah besar itu sangat aneh. Tidak pernah rasanya sekalipun sejak ia tinggal disana sewaktu masih sangat muda dahulu tanpa adanya pembangunan atau perbaikan rumah. Suami baru ibunya itu, sang pemilik perusahaan tebu, hampir selalu terlibat dalam kegiatan itu. Akibatnya, bahkan di malam hari ketika tidak ada kegiatan pertukangan sekalipun, suasana menjadi terasa selalu ramai. Tasmirah sering mendengar langkah kaki di depan kamarnya, atau suara berisik di loteng. Ia saat itu merasa bahwa keriuhan di siang hari itulah yang membuat suasana itu selalu terbawa sampai malam.

Suami sang ibu memang merupakan laki-laki yang penuh cinta dengan ibunya. Perhatiannya diberikan sampai berlebih-lebih. Tidak hanya itu, sang ayah tiri juga sama memerhatikannya. Sebagai seorang gadis remaja, Tasmirah hampir tak pernah kekurangan. Keperluannya akan busana yang bagus dan indah-indah, celak dan gincu pun terpenuhi. Kecantikannya yang sudah diwarisi dari sang ibu menjadi semakin bersinar.

Namun, dari sekian laki-laki muda dan tua yang mendekatinya dengan percaya diri, hanya pemuda Kuranji yang berhasil menggoncangkan dunianya. Kuranji menawarkan untuk hidup bersama secepat mungkin dan meninggalkan rumah ini.

Tawaran itu adalah angin surga buatnya. Pemuda Kuranji tidak basa-basi. Ia jenis laki-laki pekerja tangguh yang bekerja di sektor kasar tapi begitu sopan dan lembut dalam berbicara. Kelembutannya itu juga terbukti dari cara mencumbu Tasmirah.

Bukannya Tasmirah benci rumah ini, tetapi ia tak pernah merasa nyaman. Ia juga tidak pernah berhasil mencari tahu jati diri dan tujuannya sendiri. Pak Kuranji menjadikannya seorang perempuan dan ibu dengan rumah dan perkaranya sendiri.

Tasmirah terbatuk-batuk. Tubuhnya masih hangat dan kepalanya masih cukup pusing. Ingatannya tentang Pak Kuranji membuatnya tersenyum dan sedikit merasa baikan secara psikis. Ia bahagia memiliki suami yang lembut tetapi juga pekerja keras serta dapat diandalkan.

Nala Turasih adalah sosok lain yang membuat hidupnya di rumah sang ayah tiri dahulu menjadi berwarna. Bayi perempuan itu menyita waktunya. Ia memberikan perhatian habis-habisan pada orok Nala Turasih agar perasaan tak nyaman di rumah itu hilang. Maka, ketika kini Nala Turasih sedang merindukan rumahnya, tentu saja meminta suaminya untuk mengantarkan adik beda ayah itu bukanlah merupakan hal yang sulit. Untungnya pula, ia memiliki suami macam Pak Kuranji yang selalu siap sedia.

Tasmirah menghela nafas lega meski kepalanya berdenyut-denyut kembali. Ia hendak berjalan keluar kamar tidurnya karena tidak enak rasanya terus-menerus baringan.

Mendadak tubuhnya doyong, pandangannya mengabur. Tasmirah memegang pinggiran ranjang agar tak terjatuh.

Tasmirah kemudian duduk karena tak sanggup melawan ketakseimbangan tubuh itu.

Pelan-pelan ia membuka mata. Kini dengan sedikit berkurang-kunang dan kabur, ia melihat dinding dan lemari pakaian.

Lemari kayu itu ia bawa dari rumah ayah tirinya dahulu. Lemari kayu klasik dari jati itu aslinya diminta oleh sang ibu agar dibawa. Mendiang sang ibu bersikeras bagi Tasmirah membawa lemari itu ke rumah baru mereka.

"Lemari itu supaya kamu ingat dengan ibu, nak. Kamu tinggal bersama suamimu, jauh dari ibu. Lemari ini tempat kamu biasa menyimpan baju sewaktu masih gadis dulu. Suami ibu yang sengaja membuatnya dengan tangannya sendiri setelah kamu mulai beranjak remaja, nak," ujar sang ibu.

Bukan perkara sulit bagi Tasmirah untuk mengiyakannya. Sang ayah tiri memang lihai dalam hal pertukangan selain menjadi seorang pemimpin perusahaan yang hebat. Kini lemari kayu itu sudah bertahun-tahun berada di kamar ini. Ia sudah terbiasa dengan letaknya yang disandarkan di satu sisi dinding, sedangkan sisi lainnya kosong.

Mungkin kepalanya yang sedang pusing dan kondisi kesehatannya yang sedang tidak baik sehingga rasa-rasanya lemari kayu itu terlihat berbeda: lebih tua. Penerangan di kamar ini juga terasa lebih temaram, bahkan cenderung redup.

Tasmirah memijat keningnya untuk meredakan rasa pusing tersebut. Ia membuka mata kemudian mengerjap-ngerjapkannya.

Ada sosok aneh berdiri di samping lemari kayu itu.

Tasmirah menutup matanya. Ia coba berpikir apa yang sebenarnya ia lihat tadi.

Ia membuka matanya perlahan.

Masih remang-remang dan kabur. Namun, sosok itu masih disana.

Tasmirah menutup matanya kembali.

Siapa? Anak-anakku? Suamiku atau adikku? Pikir Tasmirah, yang dia tahu itu sama sekali tidak mungkin.

Tasmirah membuka matanya perlahan. Pandangannya yang kabur perlahan menjadi jelas, tetapi kepalanya menjadi semakin sakit. Sosok itu memang benar ada di sana. Tasmirah tak yakin apakah sosok itu sedang mengenakan jubah panjang, atau memang serabut-serabut gelap itu adalah bagian dari tubuhnya. Yang jelas sosok itu terlihat begitu mengerikan. Tasmirah tak dapat melihat wajahnya, atau mungkin tak sempat karena sang sosok sudah melayang cepat menuju ke arahnya.

 Tasmirah tak dapat melihat wajahnya, atau mungkin tak sempat karena sang sosok sudah melayang cepat menuju ke arahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang