Soemarni Nataprawira

1.1K 104 2
                                    

Soemantri Soekrasana mendadak terhenyak. Pecahan kabut menyelip memasuki ruangan di rumah itu melalui pelataran dengan tanaman meranggas tak terawat di atasnya serta perabotan kuno tak teracuhkan serta lantai ubin Belanda yang mulai kusam dikunyah sang kala.

Kuntilanak merah merayap di punggung sang dukun muda ini. Wajahnya putih pucat, bukan pasi, namun mati. Kedua bola matanya tertutupi genangan darah yang perlahan mengalir turun ke pipinya. Wajah penuh penderitaan dan dendam itu menempel di sisi Soemantri Soekrasa. Mulut sang kuntilanak membuka perlahan, membisikkan sesuatu dengan lirih nan magis di telinga sang pemuda.

Wajah Soemantri Soekrasana menegang sejenak, kemudian keningnya mengernyit. Ia memandang semua anggota keluarga Girinata yang masih menatap balik ngeri padanya. Hantu sang simbah masih terlihat berdiri bungkuk di sela-sela keremangan, namun arwah Kinanti tak lagi melingkar erat di punggung sang bapak. Kinanti kini merangkak mundur perlahan, terus sampai menempel di dinding bagai seekor laba-laba jahanam, masih berjalan mundur dan berhenti di tengah.

"Gerbang gaib telah terbuka. Penjaga terakhir telah gugur," ujar Soemantri Soekrasana lirih seakan mengulang ucapan Chandranaya. "Itu sebabnya dusun ini membutuhkanmu, Wardhani," lanjut Soemantri Soekrasana. Air mukanya menunjukkan keprihatinan yang mendalam. Chandranaya, sang kuntilanak merah baru saja memberitahukannya dengan suara gaib bahwa seorang penjaga empat situs keramat Dusun Pon baru saja wafat.

"Tunggu, maksudmu apa, nak Soemantri?" ujar Girinata, sang bapak.

Soemantri Soekrasana berdehem lagi. "Penjaga satu-satunya dusun ini dari aktifitas gaib baru saja wafat."

"Mbah Darmo? Maksudmu Mbah Darmo, nak Soemantri? Beliau satu-satunya tetua dusun ini yang masih melakukan upacara dan pembersihan tempat-tempat keramat itu," kali ini Marni, sang Ibu, yang urun bicara.

Soemantri Soekrasana mengangguk mantap. "Untuk sementara, kuntilanak merah yang ada bersamaku ini bisa menahan arwah Kinanti dan simbah, namun tak akan lama. Mereka kelak akan sangat terpengaruh oleh beragam jenis mahluk adikodrati yang datang menyergap dusun ini. Belum lagi energi jahat teluh, guna-guna, santet atau sihir lainnya yang akan semena-mena melewati tempat ini. Wardhani adalah satu-satunya tokoh yang tersisa untuk bisa membangun kembali benteng pertahanan Dusun Pon dari kegiatan magis tersebut," ujar Soemantri Soekrasana memandang tajam ketiga anggota keluarga Girinata tersebut.

Udara malam langsung terasa dingin menusuk, menembus dinding, menyusur menyisir genteng, menyelip udara, menumpang angin dan menelisik masuk memenuhi ruangan-ruangan dalam rumah besar nan dahulu megah itu. Ketiga anggota keluarga Girinata kini merapat bagai anak ayam berlindung dari hujan.

"Bapak ... Apa yang harus kita lakukan?" ujar sang istri. Wardhani, putri mereka juga melihat ke arah sang bapaknya, namun dengan pandangan mata kosong.

"Aku akan menuruti Mas Soemantri," ujar Wardhani lirih sebelum Girinata bisa menjawab pertanyaan istrinya.

Kedua orangtuanya saling pandang. Girinata yang pertama protes, "Kau yakin, nak? Ini bukan perkara gampang. Bapak sudah paham sekali rasanya. Selama lebih dari dua puluh tahun Bapak menyimpan rahasia tentang arwah mbakyu mu yang menempel di punggung Bapak karena rasa menyesal, bersalah dan bertanggungjawab atas perilakunya semasa hidup," ujar Girinata kemudian memandang sosok hantu yang menempel di dinding dengan posisi terbalik. Rambut sekaku ijuk kemerahan jatuh ke bawah dengan aneh.

Marni, sang ibu, memeluk bahu anak gadisnya. Sambil terisak ia menatap lekat wajah anaknya itu seraya berkata, "Oalah, nduk. Entah bagaimana takdir memperlakukan kita. Mungkin semua adalah salah kedua orangtuamu ini, harusnya kau tak perlu ambil bagian."

Wardhani balas menatap kedua wajah orangtuanya dan tersenyum, "Kita tak memiliki cara lain, Bapak, Ibu. Bila memang ternyata jalan hidupku memang digariskan sebagai pemegang tanggungjawab gaib atas dusun ini, aku tak mengapa. Bapak terlalu lama menderita oleh karena perihal mbak Kinanti; Ibu terlalu lama tak mengetahui; aku terlalu lama takut dan menolak, menyangsikan dan menyangkal kemampuanku. Waktunya sudah tepat hari ini. Malam Rabu Pon, malam dimana kejadian-kejadian aneh selalu melanda dusun kita, termasuk kehidupan kita di dalamnya. Aku akan ikut apa kata mas Soemantri," ujar Wardhani mantap.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang