Lingga Ardiman terserap ke dalam sebuah lubang adikodrati yang tak mengenal konsep ruang dan waktu. Di dalam pusaran itu hanya cita, azam, hajat dan hasrat sang pemuda lah yang berpusing-pusing di dalam samudra antah berantah tersebut.
Banyak yang berpendapat bahwa iblis sejatinya berburuk rupa dan bertubuh hina dina. Padahal, segala kecantikan, keindahan, dan kemahaan menempel erat di wujud mereka. Tidak heran manusia memuja dan tergoda degan mudahnya oleh keagungan adidayanya.
Itu pula yang terjadi kepada sang pemuda ketika saat ini memandang Nala Turasih tak berkedip. Tubuh elok gadis muda itu berlenggak-lenggok penuh aura pesona dan daya pikat erat mengetat. Aroma ranum yang menguar dari pori-pori kulit indahnya merebak dan semakin mengunci sang pemuda degan berahi yang merajalela.
Lingga Ardiman menikmati setiap detik memandangi gadis muda yang ada di depannya tersebut. Sialnya, detik mungkin bukan penunjuk waktu yang tepat menggambarkan keadaan saat itu. Pegawai perusahaan tebu yang dimiliki ayah sang gadis itu tak paham sejak kapan dan bagaimana ceritanya ia sudah menyentuh sepasang dada kenyal dan menelusuri pinggul sekal dengan nafsu yang kental. Ia tak tahu ujung pangkal kala, era dan masa, dimana tahu-tahu saja ia kembali melahap sepasang pucuk dada sewarna coklat muda kemerahan kacang tanah dengan rakus. Kali ini ia yakin tak sedang bermimpi seperti tempo hari karena lidahnya yang menyapu permukaan kulit dan pucuk dada serupa kacang yang sedang menegang itu terasa nyata. Apalagi desahan serta jeritan kecil Nala Turasih bersimfoni logis pada setiap remasan telapak tangan kasar Lingga Ardiman.
Sang pemuda tak mau melewatkan kesempatan ini, tak peduli nyata tidaknya. Walau memang benar, sepenuhnya ia telah menjadi budak kuasa iblis akan waktu.
Lingga Ardiman tak mampu melawan keinginannya yang sudah terlalu lama terpendam. Ia meledakkannya begitu saja. Ia memompa tubuhnya di atas tubuh polos Nala Turasih, berulang-ulang, berkali-kali, bertubi-tubi sampai ia lupa waktu, toh memang waktu sedang tak berlaku.
Akibatnya, bukan hanya jiwanya yang terhisap ke dalam lingkaran gaib tak bertepi itu, tetapi juga raganya sendiri yang perlahan tapi pasti lelah dan melemah.
Lingga Ardiman sudah hampir tiga hari di ruangan itu, bercinta dengan sosok yang ia pikir adalah Nala Turasih, dalam waktu yang ia anggap belum genap dua jam. Ia tak makan, tak minum, tak tidur.
Ia terus mencumbui mayat tanpa ia ketahui sama sekali.
Sosok Nala Turasih pada kenyataannya adalah satu mayat perempuan yang telah membusuk lebih dari tiga minggu. Tubuh berbau busuk itu bahkan sampai hancur, ancai, berkecai, bersepai karena terus dirogohi, diremasi dan disodoki tiga hari lamanya tanpa henti.
Hari keempat, akhirnya ada dua mayat di dalam kamar rahasia sang juragan. Satu mayat perempuan tak dikenal, satunya Lingga Ardiman yang dehidrasi, kelaparan dan lemah. Hari itu pula, sosok gelap gosong bertungkai panjang dengan wajah dan rongga mulut yang membuka lebar penuh bola mata merayap turun dari kegelapan menelan kedua mayat yang berbeda bentuk dan tingkat kebusukan itu.
Esok harinya, sang juragan akhirnya wafat pula.
***
Para mahluk kegelapan mendapatkan keinginannya. Mereka lepas keluar dari dalam kerak neraka jahanam, mumbul mantul, berlompatan dan terbang memenuhi rumah yang terus berubah bentuk itu.
Mereka merasuk ke sembarang orang yang masuk ke rumah itu. Pengantar paket, pegawai perusahaan yang masih memiliki beberapa keperluan, tetangga, pengacara perusahaan, atau keluarga.
Selama bertahun-tahun, beragam kejadian gaib dan misterius terus menghantui rumah Nala Turasih dan sekitarnya.
***
Setelah sang ibu menyusul wafat, Nala Turasih tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat. Di umur dua puluhan, ia telah terlalu lama terjebak di rumah itu. Semenjak sang ayah sudah tiada, sang ibu menderita menahun. Tidak hanya permasalahan ekonomi, dimana perlahan segala aset dan pemasukan harta keluarga terkuras dan terkikis.
Awalnya sang ibu meringkuk ketakutan dalam hari-hari setelah kematian sang suami. Bagaimana tidak, di tengah malam ia melihat sosok perempuan dengan kepala seperuh hancur berjalan menembus dinding kamarnya dan menghilang begitu saja. Kemunculan beragam entitas gaib yang janggal sampai mengerikan terus-terusan muncul seenak mereka saja. Pocong berkain merah menempel di langit-langit kamar tidurnya tak lama setelah magrib, anak-anak kecil berlari-lari di halaman depan rumahnya tanpa kepala di pagi-pagi buta.
Kesadaran menyentaknya kuat-kuat. Benar memang tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sang mendiang suami yang merupakan laki-laki bertanggung jawab, pekerja keras, serta penuh cinta kasih kepada istri dan anak perempuan termasuk anak sambungnya itu bukanlah orang yang seperti apa yang terlihat. Selama ini ia menikahi laki-laki yang berdukun, berilmu pesugihan.
Apa yang dijadikan tumbal oleh suaminya itu? Apakah kematian suri Nala Turasih dahulu ada hubungannya dengan misteri gaib di balik tirai kehidupan suaminya?
Yang jelas memang butuh waktu untuk terbiasa melihat hantu dan mahluk gaib berseliweran di dalam rumahnya. Namun, hal yang membuatnya tak tenang sampai mati adalah kesaksiaannya melihat siapa saja yang datang ke rumahnya dirasuki. Sosok-sosok gaib aneh nan mengerikan menempel di tubuh-tubuh siapapun yang mengunjungi rumahnya.
Nala Turasih tak tahu sama sekali dengan hal-hal gaib yang terjadi di dalam rumahnya, entah sebelum sang ayah wafat ataupun sampai sang ibu menyusul bertahun-tahun kemudian. Sang ibu menanggung penderitaan atas kengerian ini seorang diri. Sosok paling mengerikan yang bertungkai panjang dengan wajah dan rongga mulut penuh dengan biji mata membuat penderitaan sang ibu semakin lengkap dan membuatnya hampir gila saja rasanya. Sosok itu membayang di punggung sang anak gadis, menempel erat di sana.
***
"Nala, kamu ikut mbak, ya?" pinta sang saudara perempuan, Tasmirah, sesaat setelah ibu mereka wafat.
"Aku tidak mau merepotkan mbak Mirah. Kita masih punya rumah di desa ini. Aku masih bisa tinggal di sini, mbak. Lagipula, mbak Mirah sudah berkeluarga, punya suami dan keponakanku yang manis-manis. Jujur, aku tidak mau menjadi beban, mbak," balas Nala Turasih.
Tasmirah langsung cemberut dan menggelengkan kepalanya. "Ah, merepotkan bagaimana, Nala. Aku kan mbakmu. Kecil dulu kamu juga mbak yang urus, 'kan?"
Nala Turasih baru saja hendak protes, ketika Tasmirah kembali menggelengkan kepalanya. "Kamu mau tinggal di rumah besar ini sendirian, Nala? Sudah, dijual saja atau bagaimana. Pokoknya, kamu ikut mbak ke rumah, tinggal sama mbak. Kalau takut merepotkan, anggap saja kamu bantu-bantu mbak urus rumah dan keponakanmu. Gimana?"
Nala enggan menolak lagi. Ia toh memang kesepian di dalam rumah besar peninggalan ayahnya tersebut. Bahkan sewaktu sang ibu masih ada, ia merasa sendirian saja. Ibunya seakan memberi jarak dan ruang diantara keduanya beberapa tahun setelah sang ayah wafat dan ia beranjak dewasa.
Pak Kuranji setuju dengan sang istri. Ia tak keberatan sama sekali bila Nala Turasih ikut ke rumah mereka. Hubungan keluarganya dengan keluarga sang istri meski tak sempurna-sempurna amat, tetapi tak menunjukkan permasalahan apapun. Saat itu juga tak ada niatan terselubung Pak Kuranji atas atas penerimaan Nala Turasih di rumah mereka, meski beberapa saat kemudian, pesona sang gadis terpercik dan membakar liar. Pak Kuranji tak paham bahwasanya mahluk gelap gulita bertungkai panjang dengan mata memenuhi kepala dan rongga mulutnya itu yang membuka pesona Nala Turasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...