Meregang Nyawa

282 32 1
                                    

Bhanurasmi berjalan bertelanjang kaki dengan daster berlengan pendek dan panjang sebetis menepuki kakinya menyibak kegelapan. Para warga hunian yang bergaya ingin menjaga lingkungan tempat tinggal mereka karena beberapa kejadian tragis akhir-akhir ini ternyata hanya sekadar lagak belaka. Pukul tiga pagi, empat orang warga laki-laki dewasa dan para pemuda memutuskan berkumpul di depan gapura, dengan penerangan dan personil yang cukup, bukannya berkeliling hunian serta kembali memeriksa tempat dimana Damarjati dan Dyiwang Awang tewas mengenaskan.

Bhanurasmi tidak lagi berjalan berdampingan, bersampingan dan beriringan dengan Wardhani. Kini mereka adalah satu jua, hampir tiada beda. Begitu pula dengan apa yang dilihat dan dirasakan salah satunya, yang lainnya itu melihat dan merasakannya.

Bhanurasmi melihat satu sosok misterius dalam keremangan dini hari. Sosok yang dari punggungnya terlihat sebagai seorang laki-laki itu sedang berdiri membelakanginya. "Jati, kau kah itu?" ujar Bhanurasmi.

Bhanurasmi melihat sang sosok perlahan berbalik arah. Bukan retakan sinar dari lampu-lampu miskin cahaya yang membuat sosok itu kemudian dapat terlihat, namun Bhanurasmi menggunakan pandangan gaibnya. Wajah sosok itu sudah tak mungkin dikenal lagi, hancur berantakan tanpa bentuk. Kulitnya terkelupas di sana-sini dengan serpihan daging terbuncai dan darah kental mengalir dan merembes dari luka-luka itu. Bahkan putih tulang pipi dapat terlihat dengan jelas menyembul di balik daging dan kulit wajahnya.

Salah satu matanya yang sudah tertutup oleh darah dan kelopak yang tercabik parah itu tak sanggup menatap orang yang menyapanya. Namun, satu matanya lagi dari sosok mengerikan yang ternyata adalah roh gentayangan Damarjati itu dapat melihat dan mulai menyadari siapa yang ada di depannya. Ia linglung. "Ada apa denganku, Rasmi? Mengapa aku bisa ada di sini? Kenapa dengan mata dan wajahku?" ujarnya bingung.

Bhanurasmi menatap arwah mendiang suaminya itu dengan rasa prihatin dan kasihan. Tapi ia tidak sedih sama sekali. "Malang sekali nasibmu, Jati. Mungkin memang sudah saatnya kau untuk memberikanku kesempatan menjadi orang yang tidak bisa kau jadikan sewaktu masih hidup dahulu. Kau ingat, Jati? Aku ingin menjadi perempuan yang kaya, yang dihormati dan diidolakan. Kau sadar itu bukan?" Ujar Bhanurasmi. Tentu saja hantu Damarjati diam seribu bahasa dalam kebingungannya. Damarjati kembali membalikkan tubuhnya dan menghadap ke dinding seakan tak ada apapun yang terkadi tadi. Sosoknya mendadak pudar dan menghilang digantikan sosok  lain yang merangkak-rangkak di tanah.

"Jangan salah paham, Awang. Aku jujur menikmati kegiatan kita saat itu. Bahkan malam itu terasa lebih menantang karena aku ditiduri oleh sosok yang tak terlihat. Sayang sekali aku melihat keadaanmu sekarang, padahal aku masih ingin merasakan tubuh hidupmu dalam keadaan kasat mata. Aku juga ingin kau tahu, Awang, tak marah kau menghabisi Jati, toh kau juga sudah merasakan akibat perbuatanmu, selamanya mencari sebelah tanganmu yang hilang itu. Ijinkanku melanjutkan misi mu, Awang," ujar Bhanurasmi sembari melangkah maju. Tubuhnya menembus tubuh transparan Dyiwang Awang yang tak lama kemudian memudar dan menghilang serupa Damarjati.

Wardhani menggeliat di dalam tubuh Bhanurasmi. Ia begitu bergairah melihat kendaraannya berjalan pelan namun pasti menuju ke tempat dimana Bhanurasmi akan melaksanakan permintaannya seperti yang telah mereka sepakati bersama.

"Lakukan sekarang, Rasmi. Lakukanlah ...," desir suara Wardhani datang dari dalam tubuh Bhanurasmi, seperti ia sedang berbicara seorang diri saja.

Bhanurasmi berhenti, melihat sekeliling, kemudian menyelip diantara pepohonan pisang yang menyempil di dua bagian belakang bangunan perumahan. Cahaya lampu yang temaram mengaburkan bayangan tubuh Bhanurasmi dengan bayangan empat batang pohon pisang tua tersebut.

Bhanurasmi menutup mata ketika ia yakin tak ada orang yang lewat apalagi melihat sosoknya. Mulutnya mengocehkan rapalan, berkomat-kamit dengan suatu susunan mantra. Dengan sekali gerak Bhanurasmi meloloskan daster nya. Ia tak mengenakan apa-apa lagi di balik selembar pakaian itu.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang