Jebol

311 35 0
                                    

Bhanurasmi menitikkan air mata penuh kebahagiaan. Kulitnya yang berwarna buah pir segar itu meremang senang. Ada kejutan listrik di seantero sudut tubuhnya. Tiap jengkal raganya disumpal semangat yang tak lagi hangat, namun panas meranggas.

Ia tertawa tertahan dengan di saat yang sama menangis mengejan.

Wardhani yang bersemayam di balik daging Bhanurasmi bertumbuh bagai tanaman menjalar, mengikat jiwanya dengan jiwa sang inang. Segala ekstasi itu dibagi sama rata tanpa ada sisa.

Bhanurasmi melihat apa yang bisa dilihat Wardhani. Di depannya terhampar permadani selamat datang bagi masa depan. Ia memantau dirinya sendiri berjalan elok nan gemulai menebarkan pesona bagai bibit tanaman varietas unggul. Semua mata pria menyasar kepadanya, ke arah pinggul dan mencoba paksa menelanjangi sepasang dadanya yang tegak membulat pongah. Kekayaan berjatuhan bagai derasnya hujan berjatuhan menerpa wajahnya. Kehormatan dan kemahsyuran menjadi caping di kepalanya.

Apakah ini yang dinamakan kebahagiaan sejati dimana setiap sel dalam tubuh berlompatan riang bagai anak-anak bermain berkecipakan di bawah hujan?

Ia bahkan sudah mahfum dan sadar benar bahwa selain gegap gempita dan sorak sorai kesukaan itu ada pula menyelip sebuah pemandangan lautan darah yang menggenang setinggi betisnya yang baginya adalah bagian kecil dari euforia kenikmatan dunia yang sudah merasuk dalam setiap sendi tubuhnya.

"Andai kau datang lebih cepat, Wardhani. Aku pasti tak perlu melewati hari dengan menjadi seorang perempuan mati, yang tak bisa merasakan kenikmatan dan kesenangan apapun," ujar Bhanurasmi.

Wardhani yang telah melepas bentuk kemanusiaannya dengan cara melepas busananya, juga tenggelam darah darah manusia. Warna darah saling menyapa sinkron dengan pucuk dada mungilnya yang mengacung merah merekah senada. Badannya yang molek dibalut kulit sewarna daun kering itu menunjukkan kepada Bhanurasmi betapa tubuh adalah sebuah kendaraan dunia fana untuk mencapai puncak kenikmatan utama dan paripurna. Tubuh bukan sementara, ia adalah bermakna, dan makna adalah abadi sifatnya.

"Maafkan aku karena datang kepadamu sedikit terlambat. Benang-benang takdir memang baru mempertemukan kita, Bhanurasmi. Tapi kesabaran adalah kuncinya. Dan kau kini akan segera memanen hasilnya," ujar sang Ratu Dedemit.

Bhanurasmi tak dapat menahan ledakan emosi yang mengalir deras dalam nadinya. Ia tertawa terbahak-bahak sampai sepasang dadanya yang mengkal ikut melonjak kegirangan meski Wardhani mengatakan bahwa ia harus membantu Wardhani untuk melakukan beberapa hal lagi agar ia bisa bebas dari penjara tubuh Bhanurasmi.

Bhanurasmi memang tak peduli lagi. Ia jelas akan melakukan apapun demi kepuasan sejati ini.

***

Sarti menjebol atap genteng rumah kontrakan itu. Arus gaib memecah, mengusir para arwah berkulit pucat dan bertubuh tak jelas melayang bubar bubrah.

Juned dan Waluyo tersentak.

Bagai dua ekor binatang yang mencium bau bencana alam, keduanya sigap bergerak cepat. Kegesitan tubuh muda itu memang menguntungkan mereka sendiri ketika marabahaya datang mendadak bagai petir.

Juned merapal mantra sembari memegang erat carikan kain kuning lusuh, sedangkan Waluyo menggenggam beberapa bongkahan kecil batu di kedua tangannya. Ia pun mengomat-ngamitkan mantra.

Kedatangan sosok berbusana merah darah yang muncul dari langit menembus atap genting rumah kontrakan mereka dengan hawa permusuhan dan dendam yang bergolak membara itu tentu membuat mereka awas. Siapa lagi bila bukan orang yang hendak mencelakai mereka entah siapapun dia dan apapun tujuannya?

Sarti menatap dingin ke arah kedua pemuda di depannya itu. Sama dinginnya dengan topeng Panji yang ia kenakan.

Lengkungan bilah celuritnya memantulkan sinar dari lampu di dalam ruangan dan bermain-main bergelombang di permukaan dinding rumah kontrakan tersebut.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang