Pemujaan

87 16 0
                                    

Pak Kuranji tak memiliki kesempatan untuk terkejut lagi. Tanpa melihat dua kali lagi pun, Pak Kuranji tahu bahwa sosok hantu yang mengambang di atas tubuh Nala Turasih yang melengkung mengejang dan berteriak-teriak kalut itu adalah Sudarmi, mendiang ibu mertuanya dan ibu kandung Nala Turasih sendiri yang lukisannya telah ia cabik-cabik tadi.

Pak Kuranji melaju cepat kemudian menarik tubuh Nala Turasih dengan keras. Tubuh ramping sang gadis dengan gampangnya Pak Kuranji angkat. Tubuh gadis itu begitu lemah, melemas setelah sebelumnya menegang dan kejang. Untungnya Pak Kuranji sudah mengangkat tubuh itu menjauh dari sang sosok.

Karambitnya terlepas dari tangannya dan terlempar ke sudut ruangan.

"Dek Nala, kamu tidak apa-apa?" ujar Pak Kuranji sedikit panik. Ia menepuk-nepuk pipi sang dara yang pucat dengan perlahan.

Sepasang mata indah Nala Turasih yang tertutup kini terbuka, tetapi pandangannya masih menunjukkan ketakutan yang sangat. Ia membeliak dan bola matanya bergerak-gerak liar. Begitu pula dengan nafasnya yang terengah-engah.

Sosok hantu tersebut masih mengambang, tapi kini lekat memandang ke arah Nala Turasih seakan-akan tak ada Pak Kuranji disana.

Nala Turasih akhirnya dapat memokuskan pandangannya ke arah Pak Kuranji. "Bang, abang Kuranji?" ujarnya lirih.

Pak Kuranji bernafas lega. Dengan begitu gesit dan seperti tanpa mengeluarkan tenaga saja ia membopong tubuh Nala Turasih di bahunya kemudian keluar dari ruangan tersebut. "Kita harus meninggalkan rumah ini, dek Nala," ujarnya pendek.

Wajah Nala Turasih menggantung di punggung Pak Kuranji. Setengah sadar gadis itu berpaling dan melihat sang ibu dengan wajahnya yang pucat serta mata melotot semerah darah melayang menembus dinding mengejar ke arahnya. Kesadaran langsung menyentak di dalam dadanya. Nala Turasih berteriak, "Bang Kuranji. Ibu sedang mengejar kita!"

Pak Kuranji merutuk dalam hati. Ia mempercepat larinya, melangkahi tiga sampai empat anak tangga sekaligus.

Pak Kuranji berlari begitu kencang melewati pilar, ketika sosok sang hantu muncul menembus lampu gantung. Pak Kuranji semakin mempercepat langkahnya melompati kursi panjang dan meja jati untuk sampai ke pintu depan sampai kemudian ia tersentak dan hampir kehilangan keseimbangan tubuh ketika melihat sosok binatang besar berwarna hitam mencelat di depannya dan menghilang di sebuah lorong.

"Datuk?" gumam Pak Kuranji.

"Bang Kuranji, cepat bang. Hantu ibuku akan segera sampai. Ia tadi hampir membunuhku!" ujar Nala Turasih lemah.

"Sabar, dek Nala. Kita tidak akan bisa berlari dari kejaran arwah itu. Percaya dengan aku, dek Nala," ujar Pak Kuranji masih membopong Nala Turasih.

Pak Kuranji membatalkan tujuannya. Ia berbalik dan berlari ke arah sosok hitam tadi berlari. Tak lama, tepat di depannya, seekor macan kumbang berwarna segelap malam memandang ke arahnya dan kembali berlari. Ini membuat Pak Kuranji yakin bahwa Datuk Macan Kumbang sedang memintanya untuk mengikuti arah kemana ia pergi.

Hanya dalam beberapa langkah kemudian sosok macan kumbang gaib tersebut hilang entah kemana bagaikan tak pernah benar-benar ada.

Nala Turasih bergerak, kemudian meminta diturunkan. Ia masih memerlukan bantuan Pak Kuranji untuk dapat berdiri tegak. "Bang, mengapa kita kesini? Megapa kita tidak cepat pergi dari rumah ini?"

"Aku juga tak tahu, dek Nala. Ada yang mengarahkanku ke tempat ini, tetapi aku tidak bisa dengan pasti mengerti tujuan dan maksudnya," jawab Pak Kuranji masih memindai tempat itu, melihat kesana dan kemari.

"Bang Kuranji, apa yang abang maksud? Siapa yang mengarahkan abang ke ruangan keramat bapak? Kita harus pergi dari si ...."

"Ruangan keramat? Apa maksudnya, dek Nala?"

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang