Bhanurasmi berdiri, mendorong lembut kepala Anarghya Widagda dari dadanya, kemudian berjalan cepat menuju pintu depan rumahnya. Ia menarik sebuah kursi kayu dan menggunakannya untuk mengganjal pintu yang tak bisa dikunci itu lagi. Setelah itu ia kembali ke kamar, menggandeng tangan Anarghya Widagda dan menariknya berdiri.
"Ayo, kau harus mandi dahulu. Aku yang akan memandikanmu," ujar Bhanurasmi dengan pandangan canda namun nakal.
Anarghya Widagda tak mungkin memiliki kekuatan sehebat itu menolak ajakan Bhanurasmi yang melepaskan pakaiannya sembari berjalan ke kamar mandi. Bahkan dari belakang pun, sang janda terlalu memesona. Bokongnya membulat sempurna, dengan lekukan pinggul yang membahana.
Anarghya Widagda menghapus leleran air matanya dan mengikuti langkah Bhanurasmi seperti seekor kerbau dicucuk hidungnya.
***
"Apa yang kau dapatkan dari Juned dan Waluyo?" tanya Bhanurasmi.
Anarghya Widagda tersentak. "Darimana kau dapat menyimpulkan bahwa aku mendapatkan sesuatu dari mereka?" Anarghya Widagda bertanya balik.
Keduanya sudah kembali duduk di tempat tidur setelah menuntaskan hasrat liar mereka di kamar mandi tadi, membalut kedua tubuh tak berbusana mereka dengan air dan berahi.
Bhanurasmi telah mampu menaburkan kedamaian di hati Anarghya Widagda. Dengan setiap sentuhannya di permukaan kulit, sang janda berhasil menenangkan setiap kekhawatiran dan rasa takut pemuda dua puluhan itu. Bhanurasmi juga berperan sebagai sang tokoh pembebas dalam kehidupan Anarghya Widagda sehingga dengan leluasa ia bisa melepaskan nafsu yang telah terlalu lama membatu di wilayah sekitar perutnya itu.
Sembari terus bercinta di kamar mandi itulah, Anarghya Widagda memutuskan untuk bercerita. Siapa dan bagaimana dirinya sebenarnya. Ia membuka pintu gerbang dunia kegelapan dimana di dalamnya tersimpan kisah ibu serta paklik sekaligus ayah kandungnya yang bahkan sempat terkunci lama di alam bawah sadarnya sampai ia sendiri tak dapat membukanya sampai tentu saja Awahita Pengayuh Ambarningsih mati dibunuhnya.
"Aku tahu pasti kau mengambil sesuatu dari mayat mereka, Widagda," ujar Bhanurasmi kini sungguh-sungguh. Sepasang matanya yang dari semalam memandangnya sayu penuh goda dan rayu itu mendadak berubah menjadi berisi selidik. Rambut lembab sehabis terkena air tadi membasahi daster tanpa lengannya di bagian punggung dan dadanya.
"Aku masih tak paham maksudmu, Rasmi," balas Anarghya Widagda jelas menyembunyikan sesuatu. Pertanyaan Bhanurasmi tak membuatnya nyaman.
"Aku pikir tadi kita telah menyatu dalam jiwa, Widagda. Ternyata hanya raga kita yang saling menyapa. Kau tidak sepenuhnya percaya denganku. Padahal kau sudah bercerita panjang lebar mengenai dirimu, bahkan siapa yang telah kau bunuh sebelum sampai di sini. Ternyata, kita cuma bertukar nafsu belaka," ujar Bhanurasmi.
Anarghya Widagda menghela nafasnya. Ia mau sekali menceritakan tentang secarik kain kumal berwarna kuning dan pecahan batu yang ia tak pahami itu kepada Bhanurasmi. Tapi, ia merasa itu sudah keterlaluan. Kegilaannya ini tidak perlu ditambah-tambah dengan kisah janggal lain lagi. Kali ini, ia khawatir bila Bhanurasmi akan benar-benar menganggapnya gila dan tak akan mau berurusan dengannya bila sampai ia menuturkan kisah nya yang satu itu.
Anarghya Widagda akhirnya sekadar terdiam. Kegalauan kini menguasai dirinya. Sebegitu kompleksnya kehidupan nya ini ketika sebuah perubahan terjadi pada hidupnya.
Bukankah ia nyaman-nyaman saja dengan kehidupan sebelum ia bisa bercinta dan bersenggama walau tangan kanannya kerap bergetar ria? Ia tak memikirkan karir, pendapatan atau masa depan yang berlebihan. Ia hanya menjalani apa yang ia lihat dan rasakan saat itu juga. Ia tak perlu dipaksa mengingat masa lalunya yang sudah disembunyikan baik-baik di alam bawah sadarnya sehingga ia tak perlu terluka karena menyadarinya.
Tapi kini, ketika kehangatan menyapa, tangan kanan tak lagi bergetar dan berahi bergelora membara, rasa takut menghalangi hari, keraguan menciptakan ilusi. Ia merasa akan benar-benar gila dengan banyaknya kerumitan pikiran dan perasaan yang datang berbarengan dan berbohong-bondong ini.
"Kau yakin tak menganggapku gila bila kuceritakan semua, Rasmi?" ujar Anarghya Widagda ragu-ragu.
Bhanurasmi mendengus. "Jadi, kau pikir apa yang sudah kita lakukan seharian ini? Aku mendengar cerita tentang tangan kananmu, mendiang ibu dan paklikmu serta bos perempuan yang kau bunuh itu. Cerita macam apa lagi yang lebih mengejutkan atau mengherankan daripada kisah-kisahmu itu yang dapat membuatku tak percaya padamu?" ujar Bhanurasmi.
Anarghya Widagda memandang ke arah Bhanurasmi yang duduk di sampingnya dengan rambut lembab dan sisa hasrat yang meruap. Laki-laki itu merogoh kocek celana nya dan mengeluarkan secarik kain kuning kumal dan potongan batu. "Aku bisa menghilang, Rasmi. Entah bagaimana, ketika lima orang pemuda itu menerobos masuk rumah ini, ada suara gaib yang membisikiku semacam rapalan atau mantra. Secara naluriah aku mengikuti ucapan tersebut sehingga mendadak tubuhku lenyap dan tak terlihat oleh mereka. Aku mengambil dua benda aneh ini dari tangan dua orang yang mati di rumahku. Entah mana Juned mana Waluyo," jelas Anarghya Widagda. Tak ada perubahan di wajah janda memesona itu. "Kau tak merasa ceritaku aneh? Kau tak merasa aku kurang waras?" tanya Anarghya Widagda.
Bhanurasmi menggeleng, kemudian memajukan wajahnya dan mengecup bibir Anarghya Widagda lembut namun dalam. Kemudian ia berdiri. "Lima orang yang mendobrak pintu rumahku dengan paksa itu kurasa adalah teman-teman nongkrong dan mabuk sesama penyuka motor Awang dan Jati, suamiku. Mungkin entah bagaimana mereka curiga aku ada hubungannya dengan kematian miaterius kedua teman mereka itu," ujar Bhanurasmi. "Nah, sekarang, giliranku menunjukkan sesuatu kepadamu. Nanti kau akan paham bahwa bukan kau saja yang mengalami hal-hal gaib, Widagda," lanjutnya.
Bhanurasmi melepaskan daster tanpa lengannya itu yang jatuh melorot ke lantai. Ia ternyata tak mengenakan apa-apa di balik busananya itu. Sekali lagi Anarghya Widagda menjadi saksi keindahan tubuh molek sang janda. Sepasang payudaranya yang besar namun padat, perutnya yang rata, pinggulnya yang melekuk indah, dan bagian tengah diantara paha rampingnya yang gelap lebat itu sudah beberapa kali ia nikmati tapi tetap tak berkurang pesonanya sama sekali.
Anarghya Widagda salah sangka. Ia berpikir bahwa Bhanurasmi akan mengajaknya kembali bercinta, menggempur raga dengam gelora asmara, sebelum ia melihat dengan kedua biji matanya ada sosok lain membayang di tubuh perempuan itu.
Anarghya Widagda mengucek-ucek kedua matanya dan malah melihat lebih jelas.
Di balik kulit berwarna terang Bhanurasmi, ada tubuh tak berbusana seorang perempuan lain berkulit gelap, berdada mungil dengan pucuk berdiri tegang berwarna merah merekah darah. Wajah perempuan tersebut terlihat tak kalah cantik dari Bhanurasmi. Pandangan dari matanya yang berbulu mata lentik bagai dipasang paksa oleh semesta itu terlihat bengal dan penuh goda.
Anarghya Widagda tersentak mundur. Ia luar biasa terkejut dam berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sedang tidak mabuk atau berhalusinasi, apalagi bermimpi. Bagaimana ada dua orang di satu tubuh?
Keterkejutannya belum lagi usai ketika entah mulai kapan sosok lain ada di dalam kamar itu. Seekor ular besar berwarna hijau melata turun dari langit-langit. Di bagian yang harusnya merupakan kepala ular itu, ada tubuh perempuan sepinggang yang mengenakan busana semacam kemben hijau bertali emas. Wajahnya yang setengah manusia setengah hewani itu menyeringai dan mendesis. Lidah ular yang bercabang menjulur melewati bibirnya yang merah basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...