Candi

96 16 0
                                    

Larik-larik cahaya keperakan mentari pagi merapat berebutan menembus celah-celah ventilasi, jendela dan kusen, menjalari lekukan tubuh Nala Turasih. Bahu dan punggungnya yang telanjang memantulkan sinar, menghasilkan perpaduan keindahan tiada tara.

Nala Turasih membuka mata dan membalikkan tubuhnya. Pak Kuranji tidur melengkung di lantai bagai seekor kucing membelakanginya. Nala Turasih mengucek matanya kemudian bangun dan duduk di tepian tempat tidur. Ia membutuhkan waktu beberapa detik untuk mengingat kejadian semalam secara utuh.

Ia ingat bahwa mulutnya kelu, otaknya tak dapat menyambungkan kalimat demi kalimat untuk membangun sebuah runutan kisah yang hendak ia ceritakan kepada Pak Kuranji. Sebagai akibatnya, dengan terbata-bata dan tak utuh, ia berhasil menguras emosinya meski gagal menjelaskan apa yang sebenarnya ia rasakan. Nala Turasih meangis untuk entah berapa dalam dalam pelukan abang iparnya tersebut yang dengan sabar memberikannya kehangatan yang diperlukan.

Pagi-pagi buta itu udara sangat gerah sebenarnya. Tubuh Pak Kuranji yang panas seharusnya membuat sentuhannya di kulit Nala Turasih menjadi membara. Nyatanya, sang gadis merasa mendapatkan kesejukan yang mengguyur hatinya. Bagai seorang bayi, Nala Turasih menangis sampai lelah dan ketiduran.

Nala Turasih memandang tubuh melengkung laki-laki paruh baya di permukaan lantai ubin tersebut. Ia masih merasakan dekapan panas dan kasar telapak tangan Pak Kuranji dan kesabarannya membiarkan Nala Turasih sesenggukan hingga terlelap. Nala Turasih tersenyum. Namun ia mendadak menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa yang ada di dalam pikiranmu ini, Nala?" gumamnya sendirian, memprotes pikiran dan perasaan aneh yang hinggap di hati dan otaknya.

Nala Turasih bangun dan perlahan mendekat ke arah Pak Kuranji. Ia berjongkok dan menepuk perlahan bahu sang abang ipar tersebut. "Bang, naik ke tempat tidur. Lantainya dingin."

Pak Kuranji merespon dengan bergerak pelan. Nala Turasih tidak menunggu sampai Pak Kuranji terbangun. Ia langsung berdiri, membuka pintu dan keluar dari kamar. Pak Kuranji berbalik tepat ketika Nala Turasih meninggalkan kamar itu. Ia berdiri dan duduk di tepian tempat tidur. Tak lama ia merebahkan tubuhnya, mengangkat satu lengan menutupi dahinya dan menatap ke langit-langit. Ia menutup mata, tersenyum lebar, mengingat aroma wangi yang menghambur keluar dari tubuh Nala Turasih. Pak Kuranji juga ingat sekali lembutnya lapisan kulit telanjang Nala Turasih yang teraba di telapak tangannya. Ia tak bisa tidak memikirkannya sampai mati. Padahal, ia masih belum begitu paham apa sebenarnya yang dipermasalahkan gadis itu. Di satu sisi, ini membuatnya penasaran, karena toh bagaimanapun ia juga merasakan hal-hal aneh yang menimpanya selama dalam perjalanan dan sampai di rumah ini. Namun, di sisi lain, ia tidak mau berpura-pura tidak senang karena sebuah kejadian sepele tetapi bermakna itu.

Pukul delapan, Nala Turasih telah selesai mandi dan bersiap-siap. Ia mengenakan pakaian terusan yang selalu menjadi kesukaan dan ciri khasnya. Busana tanpa lengan berwarna hitam itu dipeluk dengan cardigan yang juga berwarna gelap. Ia berjalan pelan melewati lorong menuju ke kamar Pak Kuranji dan mengetuk pintunya ketika sampai.

Tidak butuh waktu lama buat Pak Kuranji membuka pintu.

"Abang sudah siap? Kita berangkat ke makam sekarang," ujar Nala Turasih lembut. Wajahnya telah begitu segar, seperti tidak ada kejadian menyedihkan atau menggemparkan apapun pagi-pagi buta tadi. Raut wajahnya juga tidak terlihat lelah meski tidak tidur terlalu lama. Malahan, ada rona kemerahan segar di pipi dan dahinya, seperti kehidupan baru saja datang menyapanya di pagi hari.

Pak Kuranji terpaksa menahan nafas melihat wajah gadis pujaannya itu di depan pintu kamarnya. Semburat kecantikannya dimain-mainkan oleh pancaran sinar matahari hangat dan memantulkannya ke seluruh ruangan.

"Ah, iya dek Nala. Abang sudah siap. Kita berangkat ke sana sekarang," ujar Pak Kuranji pendek.

Memang hari pertama ini, tujuan awal Nala Turasih sesampainya di desa Obong adalah mengunjungi makam kedua orang tuanya di sisi ujung desa. Rencananya, esok hari keduanya akan pulang. Hari ini kemudian akan dihabiskan bagi Nala Turasih untuk mengelilingi rumah, melihat dan mengecek setiap sisi, meski sebenarnya rumah itu sudah dirawat dengan cukup baik oleh dua kakak beradik Pramudi Darmadi.

Keduanya berjalan kaki beriringan, membeli dua keranjang kembang di pasar, menyapa beberapa orang yang mereka kenal dan terus berjalan ke kompleks makam warga desa Obong di puncak sebuah bukit kecil.

Lokasi pekuburan itu dari jauh terlihat suram seperti makam pada umumnya. Namun sekali lagi, Pak Kuranji tetap merasa ada yang tidak baik di tempat ini. Padahal, bisa dikatakan kuburan yang dikelilingi tembok berwarna putih terang itu terlihat cukup bersih dan terpelihara. Pohon kamboja raksasa ditanam di empat sudut pagar, serta beberapa lagi di dalam tembok. Ranting-ranting pohonnya yang lebar itu seakan menaungi beragam nisan dengan aman. Jalan setapak menuju ke lokasi itu juga bersih dari rumput. Batu-batu kasar yang disusun dan ditanam sedemikian rupa terlihat rapi dan tidak bergelombang ketika diinjak.

Pak Kuranji merasa ada awan kelabu yang memayungi tidak hanya kuburan ini, tapi seluruh pelosok penjuru desa Obong. Bahkan kabut hitam kelam mungkin menyelip ke setiap lapisan kehidupan desa. Ia masih belum bisa menyederhanakan dan mendefinisikan perasaannya ini.

Sudah bisa diketahui dengan pasti bahwa makam suami istri, Sadali Pandega dan Sudarmi adalah yang termegah dan terbesar diantara yang lainnya. Bahkan posisinya praktis berada di tengah lahan dikelilingi kuburan-kuburan kecil lainnya. Selain dibangun semacam pendopo besar untuk menaunginya, ada pula sebuah bangunan serupa candi kecil di depan pintu masuk pendopo itu.

"Lihat bang Kuranji. Padahal, aku dan mbak Mirah sudah menolak untuk membangun tugu itu, tetapi masyarakat tetap saja membangunnya. Mereka bilang ini untuk menghormati bapak dan ibu yang telah membantu perekonomian desa ini sewaktu masih hidup. Candi itu hanya penghormatan kecil untuk jasa-jasa mereka, terutam mendiang bapak, kata mereka. Tapi, mengapa malah alih-alih menjadi tugu peringatan, aku melihatnya malah seperti pemujaan," ujar Nala Turasih tak menyembunyikan kegelisahan dan kejengkelannya.

 Tapi, mengapa malah alih-alih menjadi tugu peringatan, aku melihatnya malah seperti pemujaan," ujar Nala Turasih tak menyembunyikan kegelisahan dan kejengkelannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pak Kuranji merasakan hal yang sama.

Terlihat jelas bahwa tidak hanya Nala Turasih yang mendatangi kuburan ini karena bebungaan lama maupun segar menghiasai tempat itu. Bahkan tugu serupa candi tersebut juga dihiasi dengan janur kuning dan hiasan-hiasan dari dedaunan lainnya.

Nala Turasih menghela nafas, kemudian mengambil sapu lidi lama yang ada di sekitar tempat tersebut dan mulai menyapu pekarangan pendopo dan di sekitarnya dari dedauanan dan ranting kering, bunga kamboja dan kembang-kembangan lain. Pak Kuranji turut serta membersihkannya.

Masih pukul sembilan pagi, bahkan matahari juga bersinar cukup terang. Namun, Pak Kuranji sudah merasakan semacam kekuatan tidak ramah yang mengalir di udara, berenang-renang di keliman angin menyentuh serta menggetarkan ranting-ranting pepohonan kamboja.

Di luar pagar tembok putih makam, beberapa orang laki-laki berkumpul, memandang tajam ke arah Nala Turasih dan Pak Kuranji. Dua diantaranya adalah yang paling tua, Pramudi dan Darmadi.

"Kita lakukan malam ini," ujar Pramudi datar. Tiada respon dalam bentuk suara maupun anggukan, tetapi dapat dilihat semua orang setuju dengan ucapan sang tetua. "Apakah mereka datang di saat yang tepat atau tidak, itu tidak menjadi urusan kita. Yang jelas, kita harus siap kapan saja. Dan ... hari ini, malam ini, kita harus siap," lanjutnya.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang