Pak Kuranji tak membiarkan pemuda kebal itu berdiri. Kemampuan silatnya yang memang berada di atas rata-rata itu membuat tubuh sang setangah baya itu bergerak lincah dan penuh perhitungan. Kakinya mengait kaki sang pemuda sehingga lawannya itu kembali jatuh ketika hendak berdiri. Keduanya berguling-guling kembali di tanah di balik selimut kabut. Pak Kuranji memaksa sang pemuda untuk kehabisan nafas entah karena terbanting atau diserang di tenggorokannya. Terbukti, ilmu kekebalan tanpa kemampuan bertarung yang baik serta kecerdasan mengambil keputusan atau pengalaman berkelahi akan membuat kemampuan semacam itu tumpul belaka.
Pak Kuranji masih belum putus nafasnya. Ia boleh lebih tua, tetapi kekuatan dan kecerdikannya masih jauh di atas lawannya. Dengan mudah Pak Kuranji mengunci tubuh sang pemuda. Lengannya melingkar di leher lawan dan mencekiknya dari belakang. Untuk menahan agar tubuh sang pemuda tak bergerak-gerak liar dan lepas dari cekikannya, Pak Kuranji mengunci perut dan pinggul musuh dengan kedua kakinya yang membelit erat bagai rantai.
Kembali, sama seperti yang Pak Kuranji lakukan pada remaja yang ia cekik sebelumnya, sang pemuda inipun megap-megap seperti mulai kehabisan nafas. Sialnya, tidak semua anggota bawahan Pramudi dan Darmadi ini memiliki kelemahan yang sama. Sang pemuda meronta-ronta dengan kekuatan yang luar biasa. Kedua tangannya memukul-mukul ke segala arah sehingga wajah dan pinggang Pak Kuranji terkena akibatnya. Tidak sampai disitu, cekikan dan kuncian Pak Kuranji terpaksa harus gugur dan terlepas karena kuatnya gerakan sang pemuda.
Pak Kuranji mengambil keputusan cepat untuk berguling menjauh dan siap menyerang musuh lagi. Karambitnya tadi sempat terjatuh ketika sedang berguling-guling di tanah, tetapi kini sudah ia pegang kembali. Sang pemuda sedang terbatuk-batuk parah dan berusaha untuk menormalkan jalan nafasnya. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk meluncur maju dan menusukkan karambit ini ke mata bedebah itu, pikir Pak Kuranji.
Suara mesin mobil dinyalakan terdengar memecah malam. Lampu sorot mobil menyinari wajah Pak Kuranji yang tersilaukan. “Bang Kuranji, cepat!” teriak Nala Turasih mengoyak udara.
Gadis itu ternyata bisa lepas dari cengkraman pemuda satunya, entah bagaimana caranya. Ia sudah berada di dalam mobil dan memutuskan untuk menghidupkan mesinnya. Nala Turasih tak bisa mengemudi, tetapi hanya sekadar menyalakan kendaraan itu dengan kunci yang sudah menempel di lubang kuncinya bukanlah hal yang sulit.
Pak Kuranji berdiri dan berlari cepat ke arah mobil Pak Muda. Ia masuk ke ruang kemudi dan mendapati Nala Turasih sudah masuk ke bangku belakang. Ada banyak lelehan darah menghiasai kursi dan stir mobil.
“Dek Nala! Kamu terluka?” seru Pak Kuranji terkejut.
“Jalankan mobilnya, bang. Cepat!” balas sang gadis.
Pak Kuranji tak mau menunggu waktu lagi. Kesempatan ini memang tak mungkin terulang. Ia menutup pintu, menekan kopling dan menghajar pedal gas. Mobil pinjaman itu meluncur maju, menyerempet pemuda yang lepas dari kunciannya tadi, membuatnya terpelanting keras.
Melewati sisi pagar yang terbuka, mobil yang dikendarai Pak Kuranji melesat meninggalkan rumah Sadali Pandega itu. Nala Turasih yang duduk di belakang masih sempat melihat kumpulan pemuda bertelanjang dada mengejar mobil mereka dengan parang teracung di udara.
“Dek Nala, kau terluka dimana?” ujar Pak Kuranji cemas setelah sedikit lebih jauh meninggalkan rumah tersebut.
“Pemuda itu melukaiku di bahu, bang. Sakit sekali,” rintih Nala Turasih.
Pak Kuranji melihat ke belakang agar lebih jelas. Darah menutupi punggung Nala Turasih, tetapi Pak Kuranji paham dengan luka sayat tersebut. Luka itu tidak membahayakan nyawa sang gadis, meski darah yang keluar dapat membuat orang yang tidak tahu menahu tentang masalah cidera akan dibuat panik.
Pak Kuranji melepas bajunya dan melemparkan ke belakang. “Kita pergi dulu dari tempat ini, dek Nala. Kita harus mencari bantuan untuk mengobati lukamu. Tutup lukamu, dek,” perintah Pak Kuranji. “Jangan khawatir, lukamu tidak berbahaya. Kita hanya perlu mencegahnya infeksi,” lanjut Pak Kuranji.
Nala Turasih menurut dan menutup lukanya dengan baju yang diberikan Pak Kuranji. Rasa panik dan detak jantung yang berdebum kencang serta cepat memompa darah mengalir keluar. Namun kemudian mendengar ucapan Pak Kuranji, rasa percaya kepada sang abang ipar ternyata sangat mempengaruhi Nala Turasih. Rasa pedih di bahunya itu menggigit, tetapi ia tidak lagi panik dan cemas. Ia malah merasa tenang karena ia masih bisa selamat. Pak Kuranji memang tidak berbohong, luka Nala Turasih tidak separah yang terlihat, selama mereka masih bisa cepat mengobatinya. Darah dari luka sayat di bahu Nala Turasih itupun perlahan mulai berhenti mengalirkan darah berlebihan lagi.
Selain rasa lega yang mengalir berkejaran dengan adrenalinnya, Pak Kuranji masih bingung bagaimana Nala Turasih bisa lolos dari cengkraman pemuda satunya. Ia sempat merasa bersalah karena tak bisa dengan cepat menolong Nala Turasih.
“Aku tak tahu, bang Kuranji. Mungkin pemuda itu masih tak bisa melihatku karena matanya aku tusuk dengan jempol ketika abang berteriak tadi. Aku tak menyangka mereka benar-benar akan membunuhku,” ujar Nala Turasih menjawab pertanyaan Pak Kuranji. Terlihat sekali wajahnya masih menunjukkan perasaan syok begitu pula dengan suaranya yang masih bergetar.
“Sudah, dek Nala. Tak perlu kamu pikirkan lagi. Yang penting kita harus keluar dari desa ini,” ujar Pak Kuranji.
Yang sesugguhnya terjadi adalah bahwa hantu Sudarmi merasuk ke dalam tubuh sang pemuda. Ia muncul tepat ketika sang pemuda hendak mengambil nyawa Nala Turasih. Seperti yang telah dijanjikan mendiang Sadali Pandega dan iblis betina dari ujung Timur, Sudarmi memiliki kewajiban untuk melindungi sang putri.
Sang pemuda yang memiliki ilmu kekebalan tetap tak bisa menahan kemasukan dan kerasukan entitas gaib ke dalam tubuhnya. Sudarmi menguasai penuh raga sang pemuda. Dengan mudahnya, hantu Sudarmi mempengaruhi pikiran sang pemuda, memerintahkan mahluk fana itu untuk mengangkat parangnya dan menempelkan ujungnya yang tajam tepat di salah satu biji matanya. Sudarmi mengarahkan tangan sang pemuda untuk menekan gagang parang masuk, menghancurkan biji mata dan mencabutnya keluar. Tindakan kedua adalah melakukan hal yang sama ke mata satunya. Bedanya kali ini, Sudarmi tak berhenti memerintah tangan sang pemuda menusuk sampai ujung parang meretakkan tulang tengkorak rongga mata, mengoyak biji mata, terus ke dalam sampai mencincang otak.
Cairan kuning otak bercampur darah merah kental berlomba-lomba keluar dari dua lubang besar di wajah sang pemuda ketika raga itu jatuh berdebum ke bumi bagai sebatang kayu.
Tubuh gaib hantu Sudarmi mengambang, membayang kemudian hilang memecah dan tercacah dalam lembaran kabut.
Mobil yang dikendarai Pak Kuranji menerjang malam, melewati jalan utama desa yang separuh aspal, separuh pasir dan tanah berbatu. Rumah-rumah warga dan pondok-pondok di sela pepohonan, kebun dan sawah berkelebat di samping moda transportasi roda empat tersebut. Pak Kuranji masih harus melewati sebuah jembatan baja kuno peninggalan masa penjajahan untuk menyebrangi sungai Pratama dan meninggalkan wilayah desa terkutuk ini. Dan perjalanan kedua insan yang sedang terluka tersebut sepertinya masih belum berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...