Lingga Ardiman terbangun dari tidurnya. Kepalanya masih terasa cukup pening. Ia melirik ke arah jam dinding di satu sudut kamar kosnya dan melihat bahwa saat itu pukul tiga subuh.
Ah, rupanya sedang akan hujan diluar. Petir menyambar menerangi angkasa dan mengirimkan lecutan sinarnya menyelip melalui ventilasi dan tirai kamarnya. Suara guntur menyusul bertalu-talu menggetarkan dinding dan atap genting. Tak lama larik-larik air meluncur jatuh memberikan efek suara memercik yang perlahan menderu.
Kantung kemihnya terasa penuh dan memberontak. Ia berdiri dari ranjangnya hendak beranjak dari kamar ke toilet yang terletak di belakang bangunan kosnya. Ada lima kamar lain yang berada di dalam bangunan yang sama. Saat itu, ketika membuka pintu kamarnya, semua pintu kamar lain tertutup erat dan tak menunjukkan tanda-tanda penghuninya masih terjaga.
Ia berjalan melewati lorong di tengah kamar-kamar kos yang secara khusus dihuni oleh para pegawai perusahaan tebu milik ayah Nala Turasih tersebut ke arah belakang, tempat dimana toilet, kamar mandi dan dapur berada.
Hujan makin melebat dan menghajar permukaan genting menyebabkan bunyi bertalu-talu berubah menjadi berdentum.
Sudah lebih dari setahun Lingga Adiman tinggal di rumah kos ini, tapi tetap saja ia membenci bagian belakang bangunan yang terdiri atas dapur, kamar mandi serta toilet tersebut. Rumah kos ini pada dasarnya adalah bangunan lama yang terus direnovasi dan ditambah bagian-bagiannya. Dulu, setahu Lingga Ardiman, bangunan ini hanya terdiri dari dua kamar dan sebuah dapur. Sedangkan kamar mandi dan toilet terpisah dari dapur dengan sebuah sumur terletak di antaranya. Ketika telah dibangun, dapur dan kamar mandi, sumur serta toilet dijadikan satu bagian disatukan dengan atap.
Lingga Ardiman benci dengan sumur itu!
Berkali-kali renovasi, perbaikan dan pembangunan, sumur yang sudah disemen itu terlihat tidak pantas dilihat sebagai bagian dari isi dalam bangunan. Belum lagi dapur yang masih menyisakan bentuk lamanya. Selain meja kompor dan lemari yang terlihat lebih modern, masih ada sisa tungku bahkan peralatan masak kuno yang digantung di satu sudut. Debu-debu yang menempel, membalut benda-benda lama itu dan memperkuat kesan kunonya.
Lingga Ardiman melewati sumur di tengah ruangan bagian belakang tersebut dan berhenti ketika terdengar bunyi gemericik dari dalam toilet. Itu berarti kemungkinan masih ada orang di dalamnya. Masalahnya, ia melihat pintu toilet tidak tertutup rapat, menyisakan jeda cukup lebar untuk siapapun bisa melongok ke dalamnya.
Namun, ia sengaja menunggu orang itu untuk menyelesaikan menggunakan toilet. Mungkin salah satu penghuni kos yang juga sudah kebelet untuk buang air. Jam segini, pukul tiga pagi, pastilah orang yang menggunakan toilet ini tak mau repot-repot menutup pintu mengingat tak mungkin ada yang bakal mengganggunya.
Lingga Ardiman mengernyit memikirkan alasan itu karena buktinya ia ada di depan toilet, menunggu gilirannya untuk menggunakan bilik itu.
Bunyi butiran air yang jatuh ke lantai atau kecipak di dalam bak masih terdengar. Pelan, tidak tegas, tapi sangat jelas.
Sebenarnya Lingga Adiman tak keberatan untuk menunggu, hanya saja kantung kemihnya sudah terlalu penuh seakan ingin bobol saja seperti sebuah waduk yang tak kuat menahan limpahan air.
"Maaf, mas. Apa masih lama? Boleh giliran saya?" seru Lingga Adiman. Suaranya memang sengaja dikeraskan agar ia tak perlu mengulang pertanyaannya.
Tidak ada jawaban. Tapi bukti gemericik dan kecipak air mendadak menghilang.
Nampaknya orang yang ada di dalam toilet sudah menyelesaikan urusannya. Lingga Ardiman tak peduli apakah itu gara-gara dia yang mendesak si pengguna toilet agar segera menyelesaikan kegiatannya. Ia memang sudah tak kuat menahan kencingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...