Kuranji

183 22 0
                                    

Ucapan Surajalu dan Amir Cahya berdesing bagai peluru, namun hampir sama sekali tak bermakna bagi para bapak dan lelaki dewasa warga hunian yang sedang mendapatkan giliran mereka beronda hari ini.

Rambut kusut masai Surajalu yang dicat pirang, serta tubuh ceking Amir Cahya yang terlihat selalu doyong serta tak tangguh itu membuat apapun yang mereka katakan sulit dipercayai. Bahkan untuk dicerna pun membutuhkan tenaga.

"Kalian sedang gelek lagi ya?" ujar seorang bapak berumur lima puluh tahunan demi menyaksikan dua orang pemuda ini melaporkan sebuah situasi kepada mereka dengan meracau.

Sebelumnya, dua pemuda itu berlari bagai orang kesetanan sambil melakukan gerakan-gerakan seperti orang yang sedang panik. Keduanya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa benar-benar berbicara, seakan kata-kata yang ingin mereka ucapkan sudah terlanjur tertelan.

"Ada apa dengan kalian? Jangan bilang kalian bikin masalah dengan teman-teman berandal dan tukang mabuk itu. Kekacauan apa lagi yang baru saja kalian buat?" ujar salah satu warga laki-laki yang sedang beronda itu.

"Agah mati! Yanuar pecah kepalanya!" seru Surajalu keras namun terbata-tata. Tata bahasanya tak terbentuk dengan baik.

"Bhanurasmi ..., menghilang, tak terlihat. Muncul ..., mati semua. Mati ..., sihir." Amir Cahya tak membantu sama sekali. Semua kata-katanya meluncur cepat namun berantakan.

Keduanya kini malah bercerita di saat bersamaan. "Tolong. Tolong bantu kami ..., mampus. Dibunuh. Tak terlihat. Linggis. Darah dimana-mana. Hancur ..., hancur semua, tak terlihat lagi bentuknya. Ilmu sihir, berdukun. Tolong. Tolong!"

"Bangsat! Tolong apa? Ngomong yang benar. Dengar sendiri bagaimana kalian berbicara. Berantakan, seperti orang mabuk saja. Apa memang kalian sedang mabuk?" lanjut sang bapak dengan kesal karena tak memahami apa yang mereka ucapkan.

Butuh waktu lebih dari lima belas menit bagi para peronda untuk mendapatkan informasi runut peristiwa yang dialami para pemuda itu.

Sekalipun sudah bisa dikatakan cukup kronologis, namun tentu saja kisah Surajalu dan Amir Cahya terlalu sulit untuk diterima begitu saja. Apalagi, dalam keadaan yang super istimewa di hunian mereka ini, kematian warga tidak bisa dijadikan permainan, olok-olokan, apalagi racauan para pemadat pengangguran itu.

"Katakan saja apa sebenarnya yang kalian lakukan di rumah si janda Bhanurasmi itu? Sudah tak sabar mau mengencani istri mendiang teman mabuk kalian?"

"Bukan begitu, pak. Sungguh. Kami tak bohong. Dengan kedua mata kepalaku sendiri kulihat Bhanurasmi seperti memiliki ilmu sihir sehingga membuatnya tak kasat mata, pak," ujar si cungkring Amir Cahya.

"Tak kasat mata? Tak terlihat, maksudmu? Lalu, bagaimana kau bisa melihatnya bila ia tak terlihat?" balas sang bapak.

Surajalu yang kini terlihat frustasi. Ia menjambak rambut pirangnya. "Begini, bapak-bapak sekalian. Bhanurasmi yang berdukun itu menghilang, kemudian memukul kepala Agah. Darahnya muncrat ke tubuhnya sehingga ia bisa terlihat. Rasmi tak berpakaian, itu sebabnya ia bisa tak terlihat, pak," jelas Surajalu sebisanya.

Diluar perkiraan keduanya, enam orang laki-laki dewasa itu tertawa penuh makna. "Sialan kalian tukang mabuk ini. Bilang saja sekalian peju Agah yang muncrat ke tubuh telanjang Rasmi. Apa sebenarnya yang sudah kalian lakukan disana, hah? Mengintip Rasmi sedang berganti baju atau mandi?"

Seorang bapak yang lain juga urun ejekan. "Jangan-jangan kalian ketahuan, kemudian sesuatu yang salah terjadi di sana. Tak perlu berkhayal seperti itu. Jangan kalian pikir kami tak tahu seberapa senangnya kalian dengan istri Jati itu. Dasar cabul tak tahu diri kalian semua ini," selorohnya.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang