Pak Kuranji merasa detak jantungnya memompa cepat menjadi-jadi bagai kumpulan anjing liar yang menyalak melihat orang asing. Ia kembali meraba karambitnya dan membatin, “Sialan! Bajingan! Asu buntung! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Datuk Macan Kumbang, apakah kau sedang medengarku? Aku sekarang benar-benar butuh bantuanmu.”
Pak Kuranji pada dasarnya masih tidak terlalu khawatir dengan keselamatannya, meski toh ia memang ketakutan setengah mampus. Namun, Pak Kuranji tidak akan merasa tenang walau sudah berada di dalam liang kubur bila sampai sesuatu yang buruk terjadi pada Nala Turasih. Ia sama sekali tak akan bisa memaafkan dirinya. Bahkan berpikir ke arah sana saja ia tak rela.
Sang pemuda yang tadi gagal bacokannya mengenai kepala Nala Turasih memandang Pak Kuranji dengan tajam. “Kau pikir bisa melakukan hal yang sama dengan Pakde Darmadi kepada kami, Kuranji? Kau pikir menusuk mata kami adalah satu-satunya jalan, heh? Kita lihat apa kau sempat menusuk mata kami sebelum parang ini membelah perut dan mengeluarkan jeroanmu!”
“Dek Nala, cepat masuk ke mobil dan kunci pintunya! Pergi sekarang!” seru Pak Kuranji tanpa membalas ucapan sang pemuda.
Nala Turasih berdiri secepat yang ia bisa kemudian setengah menunduk menjaga keseimbangan, ia berlari ke arah mobil. Sayang dua pemuda lain jauh lebih cepat. Mereka menderu ke arah Nala Turasih yang tangannya saja masih jauh jaraknya dari mobil. Rambut Nala Turasih dijambak dan disentakkan ke belakang. Teriakan keras sang sakit menggema menyobek kabut dan kegelapan, mengirimkan rasa sakit sampai ke hati Pak Kuranji.
Laki-laki setengah baya itu sendiri terpaksa harus menggelinding mundur ketika tebasan parang mencegahnya mendekati Nala Turasih.
“Lepaskan dia, lepaskan Nala, bangsat!” teriak Pak Kuranji.
“Ambil perempuan itu kalau kau memang bisa, Kuranji!” tantang sang lawan.
Pak Kuranji telah terbenam amarah sampai ubun-ubunnya serasa ingin pecah. Peduli setan bila ia harus mati dicincang lawan selama ia bisa menusukkan ujung karambit ke mata sampai menembus ke otak sang pemuda kurang ajar itu.
Pak Kuranji meraung bagai singa terluka ke arah sang pemuda. Kemampuan silat yang ia kuasai masih tetap membuatnya jauh lebih unggul dibanding lawannya yang masih muda dan masih lebih prima dibanding dirinya. Tebasan musuh mengenai ruang hampa sedangkan Pak Kuranji telah mampu memberikan tusukan beruntun di berbagai bagian tubuh lawan. Andai si pemuda tak menguasai ilmu kekebalan, maka sudah bisa dipastikan tubuhnya telah menjadi potongan-potongan daging. Namun toh itu tak menghentikan Pak Kuranji terus menyerang bagai seekor banteng gila.
Di sisi lain, Nala Turasih diseret di bagian rambutnya. Gadis itu terpaksa harus mencoba berdiri setengah mati agar rasa sakit di kulit kepalanya bisa dikurangi dan baris-baris rambut tak tercerabut dari tempatnya. Ia juga terus-menerus memberontak dan berteriak sekuat mungkin demi melepaskan diri dari cengkraman musuh.
“Pegang kepalanya! Aku yang akan memotong,” teriak satu pemuda yang tidak sedang menjambak rambut Nala Turasih.
Jelas sekali mereka berdua ingin mengakhiri semuanya disini dengan memenggal kepala sang gadis. Mereka tidak peduli lagi untuk menangkap Nala Turasih hidup-hidup untuk diserahkan kepada Pramudi yang menunggu di makam, toh Darmadi juga telah tewas. ini semua sudah tidak sesuai dengan rencana awal lagi.
Nala Turasih memegang tangan pemuda yang menjambak rambutnya. Mendengar seruan pemuda lainnya, ia semakin memberontak untuk menghindari tebasan itu.
“Pegang yang kuat, goblok! Jangan biarkan dia bergerak-gerak seperti itu,” seru pemuda yang sama kepada temannya.
Nala Turasih merasa bahwa semakin kuat ia memberontak, semakin lemah pula tubuhnya. Kepala sampai kulit wajahnya terasa tertarik ke atas. Sedangkan sepasang kakinya telah mulai lemah terus menahan tarikan.
“Mata, dek Nala. Mata!” mendadak terdengar seruan Pak Kuranji menyapu udara dengan jelas. Nala Turasih tersentak. Instingnya mengambil alih. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tetapi kedua tangannya yang sedari tadi mencegah tangan sang pemuda untuk menarik rambutnya lebih keras kini meraba ke arah wajah musuh, kemudian dengan sekuat tenaga ia menggunakan kedua ibu jarinya, menekan sepasang mata sang pemuda.
Teriakan kini memecah dari kerongkongan sang pemuda. Kedua tangannya melepas jambakan di rambut Nala Turasih. Di saat yang sama parang terayun dari pemuda lainnya.
Nala Turasih jatuh bersimpuh. Bilah parang tidak mengenai lehernya, tetapi ujung bilang tajamnya membacok bagian belakang bahu Nala Turasih. Darah menyeruak keluar dari rekahan luka itu dan merembes di bilah parang yang masih menempel di bahu mulus sang gadis.
Jeritan pilu Nara Turasih menyadarkan Pak Kuranji bahwa situasi semakin genting.
“Nala mencegahku untuk membunuh remaja laki-laki itu tadi. Kini aku dan Nala yang akan menjadi korban. Aku tak bisa mencegah diriku untuk mencoba mengambil nyawa orang lain lagi, terutama nyawa tikus-tikus sampah macam kalian ini,” batin Pak Kuranji.
Pak Kuranji meraung kembali. Ia berputar cerdik dari tebasan lawan, kemudian meraih tubuh sang pemuda dari belakang dengan melingkarkan kedua tangannya. Dengan segala kekuatan yang masih ia miliki, ia mengangkat tubuh pemuda ke udara dan menghempaskannya ke bumi dengan kepala sang pemuda berada di bawah. Bunyi gemeretak patah terdengar keras dari leher lawan yang kini tak bergerak lagi.
Pak Kuranji tak memerhatikan apakah sang pemuda telah tewas atau tidak karena yang kini ia lakukan adalah berlari ke arah Nala Turasih kemudian langsung menghantam tubuh sang pemuda dengan bahunya. Keduanya jatuh bergulingan menjauh dari Nala Turasih yang mengaduh bersimpuh. Darah mengalir deras dari bagian belakang bahu kirinya.
Pemuda yang tadi matanya ditusuk dengan ibu jari Nala Turasih memandang dengan kabur. Matanya memang terluka, tetapi ia masih beruntung belum buta. Ia meraba-raba parang yang terlepas dari genggamannya di tanah dengan mengaduk-aduk genangan kabut tebal. Sesuatu yang lumayan sulit karena pandangannya sangat membayang.
Ia menemukannya. Mengangkat parang itu dan siap untuk menyelesaikan pekerjaannya. Nala Turasih ada di depannya, terisak-isak kesakitan sekaligus tak berdaya.
Sang pemuda mendekat. Pandangannya yang berbayang memendar. Ia menggosok kedua matanya yang perih ketika melihat ada sosok berbeda yang mendadak muncul. Tanpa ragu ia membabatkan saja parangnya ke tubuh sang sosok.
Bilah parang tajamnya membelah sosok itu bagai menembus kabut. Sosok yang ia tebas tadi masih berdiri di sana. Bukan berdiri … tetapi mengambang!
Sang pemuda mengucek matanya kembali. Pandangannya perlahan membaik dan mulai dapat melihat dengan jelas.
Satu wujud serupa perempuan terbang mengambang. Sepasang matanya menatap tajam ke arah sang pemuda. Mata itu merah darah dan melotot marah. Mulutnya membuka lebar, menunjukkan rongga gelap hitam tanpa dasar.
Sang pemuda terperanjat dan tak mampu berkelit ketika sosok hantu Sudarmi melesat ke arahnya dan merasuki tubuhnya melalui mulut sang pemuda yang terbuka menganga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...