Penguasa

87 16 0
                                    

Tubuh gaib Sudarmi yang membayang dalam lipatan ruang dan masa melekuk-lekuk, meliuk-liuk, tertarik, melar dan menciut kemudian pecah berkeping-keping dimulai dari rambut dan kepalanya yang menyebar seperti dedaunan kering atau kapas yang terbang tertiup angin. Tak lama jiwanya tersedot ke dalam sebuah lubang gelap yang hadir dalam lini Kala. Sudarmi tak merasakan apapun. Sudah lama seperti itu. Ia tak ingat apapun terakhir kali dapat menggunakan pemikirannya dalam cara yang paling tradisional. Sejatinya, ia tak punya kuasa atas pikirannya sendiri. Selama ini – yang entah berapa lama, itupun bila ia paham apa itu konsep waktu – Sudarmi bagai sebuah boneka yang dimainkan oleh tangan-tangan tak kasat mata. Arwahnya berenang di dalam segala jenis kesedihan, kepiluan, kekecewaan, kemurkaan, sampai rasa cinta yang teraduk-aduk. Maka, ketika jiwanya tertarik kesana-kemari, iapun tak begitu memedulikannya.

 Maka, ketika jiwanya tertarik kesana-kemari, iapun tak begitu memedulikannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kehidupannya selama ini juga begitu. Terlahir sebagai insan yang memesona. Beranjak menjadi seorang gadis, kecantikannya memecah ke segala arah. Ia menikmati sekaligus membebaskan perasaan itu tanpa batasan. Maka, ia juga membiarkan tubuh mudanya yang tak berbusana disapu lidah sang kekasih yang masih sama hijaunya. Puncak gundukan dadanya yang memerah ditelisik oleh ujung lidah sang kekasih yang basah.

Ia membiarkan saja ketika kenyataan datang padanya bahwa perutnya terisi dengan sesuatu, sesuatu yang hidup, yang kelak akan bergerak-gerak dan keluar dari dalam tubuhnya dalam bentuk manusia baru. Ia membiarkan saja ketika suami mudanya tidak tahan – cenderung tidak mampu – menghadapi hidup pernikahan dan memutuskan untuk bercerai dengannya.

Satu-satunya hal yang membuatnya sedikit tidak sekadar membiarkan takdir menubruk jalan hidupnya adalah ketika Sadali Pandega melamarnya secara resmi. Dengan keteguhan hati, ia menerima pinangan sang pemuda. Bukan karena kaya, bukan pula karena ketampanan sang pemuda yang membayang di balik garis-garis tegas dan lelah wajahnya, tetapi lebih karena … entahlah … cinta mungkin? Itu sebabnya tak heran bila Sudarmi benar-benar mengikuti permainan berahi Sadali Pandega. Ia melenguh ketika sang suami melesakkan tubuhnya ke dalam adonan percintaan mereka berdua. Ia bahkan kerap menjerit dan berteriak sebagai bentuk ekspresi dan pelepasan puncak kenikmatan.

Tentu saja sampai Nala Turasih dilahirkan.

Nala Turasih hadir ke dunia dengan menghempaskan apapun yang pernah Sudarmi tahu dan paham. Tidak ada perkembangan pengetahuan dan pemahaman, sebaliknya, Sudarmi kembali ke titik nadir. Ia tidak mempertanyakan segala hal, sebaliknya malah kembali membiarkan semuanya berjalan seperti apa adanya. Semua perasaan dan emosi yang ia miliki saling bertubrukan dan himpit-menghimpit sehingga menciptakan ketidakteraturan dalam keteraturan, chaos dalam penerimaan.

Sudarmi tersentak dan tergemap. Mendadak ia dapat merasakan tubuhnya, tubuh fisiknya. Sudarmi membuka mata dan melihat kegelapan. Tanah memenuhi mata, hidung dan mulutnya yang baru saja mulai terbentuk. Otot-otot di tubuhnya menggelegak dan bergolak. Timbunan daging, lemak dan lapisan kulit terasa menggigit. Tumbuh dan berkembang.

Sudarmi menggerakkan kedua tangan dan kakinya. Ia mengais jalan keluar dari dalam kuburannya dan mendapatkan sang suami, Sadali Pandega telah berdiri dengan tegak di atas makamnya. Sadali Pandega memandang ke arah Sudarmi dan tersenyum. Dalam kegelapan malam beserta serabut kabut, Sudarmi melihat Sadali Pandega muda, jauh lebih muda dibanding pertama kali ia bertemu dengannya di masa lalu.

Sadali Pandega si cah bagus telah kembali memiliki badan yang meremaja serta pahatan otot yang sempurna. Cabikan kain kafan yang lusuh dan kotor oleh tanah menahun menutupi tubuhnya.

Sudarmi beranjak naik. Ia memerhatikan tubuhnya yang tersinari cahaya lampu lemah. Sempurna pula. Sama sekali tidak terlihat seperti mayat hidup, apalagi hantu. Sepasang dadanya menggembung menantang di balik kain kafan yang juga telah tersobek di banyak tempat. Ia membuka ikatan pocongan di kepalanya kemudian menyentuh rambut dan wajahnya. Utuh, mulus dan lagi-lagi, sempurna.

Pramudi muda melihat ke arah Sadali Pandega dan Sudarmi dengan pandangan tak percaya. Ia dan para pemuda sedang memandangi kebangkitan para jerangkong dan pocong yang tidak banyak menyisakan daging di tubuh mereka. Tulang-belulang lama muncul tertatih-tatih rapuh, bergemeretak, jatuh dan lumpuh. Kemudian bangun karena tulang-tulang mereka menjadi solid dan daging serta otot tumbuh sekadarnya hanya untuk menopang kehidupan yang sepertinya dipaksakan ke badan mereka.

Bahkan Darmadi yang berdiri kaku di tempatnya memandang kosong juga tidak kembali ke tubuh semula. Namun, Sadali Pandega dan Sudarmi kini kembali hidup semuda Pramudi. Ini jelas membuat Pramudi bertanya-tanya padahal baru saja ia menikmati keremajaannya. Bukankah Nyi Blorong menjanjikan dirinya sebagai pengganti penguasa, sedangkan Sadali Pandega dan Sudarmi akan kembali hidup sebagai mayat sama seperti yang lain saja?

Sadali Pandega berjalan pelan dan menatap lurus ke arah Pramudi. “Itu semua karena kau tidak akan pernah menjadi pemimpin dan penguasa, Pramudi!” ujar Sadali Pandega datar tetapi tegas.

Pramudi muda dan para pemuda kembali terkesiap. Mayat itu berbicara!

“Sampah kau, Pramudi. Ya, kau. Dan juga adik sialanmu itu,” ujar Sadali Pandega menunjuk ke arah mayat Darmadi yang berdiri kaku tak berekspresi tak beremosi. Suaranya ini menggetarkan Pramudi secara mental. Bagaimanapun ia dan Darmadi pernah mengabdi kepada Sadali Pandega dan keluarganya bertahun-tahun lamanya. Mendengar suara bekas tuannya itu setelah sekian lama dalam bentuk paling primanya, tentu membuat hati Pramudi kembali mencelos. Ia merasa tubuhnya meringkuk bagai seekor kucing yang kehujanan.

“Kau diam-diam mencoba mengambil alih tampuk kepemimpinan dariku, heh! Kau dan Darmadi sama-sama menginginkan kuasa yang aku miliki dengan bermain-main di belakangku dengan Nyi Blorong,” Sadali Pandega meludah ke tanah. Terlihat sangat hidup dan nyata. “Pengabdianmu kepada Nyi Blorong kau anggap dapat membuatmu melebihi kejayaanku sewaktu masih hidup. Kau ingat, Pramudi, berapa nyawa yang sudah kau ambil dan berapa jiwa yang sudah kau serahkan kepada Nyi Blorong sebagai tumbal mimpi-mimpimu? Kau dan Darmadi berserta cecunguk-cecungukmu membunuh sepasang suami istri dan melemparkannya ke sungai Pratama untuk makanan para manusia buaya? Kau biarkan anak perempuannya hilang ditelan kegelapan. Dan kau melakukannya atas namaku karena pasangan suami istri itu menemukan praktik sihir yang aku lakukan, padahal sihir itu kalianlah yang melakukannya atas perintah Nyi Blorong! Bangsat, haram jadah! Jahanam kalian! Sudah pantas kalian menjadi budak!” seru Sadali Pandega sembari menunjuk ke arah Pramudi dan para pemuda.

“Apa yang Nyi Blorong tawarkan kepadamu, Pramudi? Kau dan Darmadi menjadi muda dan hidup selamanya, kemudian memimpin pasukan mayat hidup dan para pemuda bertubuh kebal, memberikan ijin kepada para arwah hantu gentayangan dan jiwa-jiwa tersesat untuk masuk ke dalam mayat-mayat di pekuburan di desa Kaliabang, Pancasona dan Prajuritan? Begitu? Kalian diminta membuka jalan untuk membuka gerbang gaib dan menguasai semua wilayah di kaki gunung ini? Dungu! Bukan kau Pramudi. Itu aku! Aku yang akan selalu menjadi pemimpinnya di sini. Jangan pernah sedikitpun bermimpi mengambil alih tempatku. Nyi Blorong tidak lagi berkuasa disini, Pramudi. Aku menguasaimu dan siapapun yang aku mau atas nama Sang Durga. Ia yang menguasai alam kegelapan jauh lebih kelam dari hati busukmu!”

Pramudi bergetar hebat, seakan nyalinya lumer dan mengalir keluar dari seluruh pori-pori di kulitnya. Sepasang lututnya melemah bagai orok yang masih belum sanggup membawa tubuhnya untuk berdiri. Ia jatuh bersimpuh dan menangis. Tubuhnya tak mampu menahan beban sang penguasa. Bahkan suara Sadali Pandega yang bergema di sela-sela kabut itu terasa bagai kaki raksasa yang menginjak kepalanya.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang