Dyah Suhita

293 34 2
                                    

Dyah Suhita dan Dyiwang Awang sudah berteman sejak kecil. Mereka belajar di sekolah yang sama bahkan sampai Sekolah Menengah Atas, tak jarang duduk di kelas yang sama pula.

Orangtua keduanya bertetangga. Ada lelucon bahwa Dyah Suhita dan Dyiwang Awang sudah dijodohkan pula oleh keluarga mereka. Dulu Dyiwang Awang sebal dengan ide konyol ini. Meski ia memang berteman akrab dengan Dyah Suhita, gadis itu bukan tipenya. Sebaliknya, dahulu Dyah Suhita selalu tersipu malu ketika teman dan tetangga mereka mengejek dan mencandai mereka setiap keduanya pulang sekolah berjalan beriringan melewati gang kampung yang penuh dengan istri-istri rumah tangga yang menganggur di rumah sedangkan suami mereka berangkat bekerja.

Semuanya berubah sewaktu masa telah menunjukkan wajah aslinya, ketika kenyataan kehidupan membanting stir dan mengubah arah takdir. Dyah Suhita kini memperlihatkan segala pesona yang tak pernah Dyiwang Awang perhatikan dari dulu. Setiap berserobok pandang dengan gadis itu, Dyiwang Awang merasakan tubuhnya melemas dan lumer ke tanah.

Beberapa tahun yang lalu, kampung ini hanyalah wilayah pinggiran kota tanpa sumber daya alam dan komoditas ekonomi tertentu, apalagi unggulan. Warga rata-rata bekerja sebagai buruh pabrik di kota atau desa sebelah yang jaraknya tidak begitu dekat. Namun, beberapa orang pengusaha besar melihat potensi yang besar bagi bisnis mereka: villa dan apartemen mewah. Daerahnya yang berbukit dan terlihat masih lumayan asri menggoda mata jiwa-jiwa Rupiah untuk menciptakan sesuatu yang kelak adalah kompleks hunian berdaya ekonomi tinggi.

Para pengusaha itu membeli tanah warga dengan harga yang saat itu dianggap lebih dari pantas. Mengingat dan menimbang kondisi ekonomi dan pekerjaan mereka yang jauh dibawah kata cukup.

Setelah semua urusan jual beli tanah selesai, para warga berbondong-bondong pindah ke wilayah yang tidak begitu jauh dari kampung lama mereka di perbukitan yang langsung mulai digarap itu. Perpindahan warga ini terjadi tepat pada saat Dyah Suhita dan Dyiwang Awang lulus Sekolah Menengah Atas.

Status warga mendadak naik ke arah menengah ke atas. Walau rumah dan tanah yang mereka beli kini lebih kecil, lebih sempit, mereka sudah dapat membeli televisi layar lebar, kulkas dua pintu, menambah motor untuk anggota keluarga mereka, bahkan ada yang nekad membeli mobil walau terpaksa harus parkir di tepi jalan perumahan karena tak memiliki garasi.

Bekas kampung mereka sensiri telah disulap menjadi area apartemen megah, hunian villa dan perumahan elit yang bersinar terang di atas bukit ketika malam tiba, hanya dalam waktu kurang lebih dua tahun sejak pembangunannya. Untuk melengkapi kesempurnaannya, para pengusaha juga membangun akses jalan ke kota sehingga tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk warga kota untuk mencapai hunian di pinggir kota tersebut.

Warga kampung, perlahan kembali lagi ke kehidupan mereka dahulu setelah uang yang mereka dapat mulai habis.

Dyah Suhita adalah orang yang cukup beruntung karena kedua orangtuanya sempat berpikir untuk menggunakan uang yang mereka dapatkan bagi pendidikannya. Keluarganya cukup memiliki satu motor yang bisa digunakan bergantian, selama Dyah Suhita bisa kuliah.

"Kamu kuliah ambil jurusan yang ada hubungannya dengan apartemen itu," perintah sang ayah kepada Dyah Suhita sembari menunjuk bukit yang gemerlap oleh pekerjaan proyek siang dan malam itu.

Dyah Suhita tersenyum girang. "Baik, Abah. Dyah mau kuliah perhotelan saja, biar bisa bekerja di tempat seperti itu. Dyah bisa bekerja di hotel atau tempat pariwisata, Abah," ujarnya.

"Iya, pokoknya yang seperti itulah. Gimana caranya setelah kamu lulus kuliah, dan bekas kampung kita itu sudah jadi hotel atau apa itu namanya, kamu bisa kerja di sana, tidak perlu jauh-jauh ke kota," balas sang ayah.

Dyah Suhita senang sekali ia memiliki pemikiran yang klik dengan sang ayah. Ia tak mau dan tak merasa perlu membeli beragam barang yang tak perlu, apalagi untuk rumah mereka yang lebih kecil dibanding rumah mereka dahulu, tanpa pekarangan pula.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang