Johan

555 52 0
                                    

Ratih, sepupu tua Saridewi membelalakkan kedua matanya ketika melihat tubuh saudaranya itu terlihat berjalan masuk ke pekarangan rumahnya.

"Welaah, ayu tenan kowe dek. Cantik sekali kamu," ujarnya dengan nada bicara yang menukik tinggi.

Wajah berkulit putih pucat dan bintik-bintik hitam Saridewi langsung memerah bagai udang rebus. Bukan karena tersipu malu, namun menahan perasaan karena tahu sang sepupu sedang berbohong dan hanya berbasa-basi.

"Terakhir mbak lihat kamu, kamu tidak secantik ini lo, dek. Sudah berapa lama ya, tujuh tahun yang lalu mungkin? Ya sudah lama memang," ujar Ratih kenes.

Saridewi meringis. Ia semakin membenci dirinya atas pujian palsu itu. Tujuh tahun yang lalu, ia masih remaja tanggung, bau keringat pulang sekolah. Yang menyedihkan adalah sekarang pun, ia bukan seorang perempuan yang matang dan memesona, tak ada bedanya dengan tujuh tahun yang lalu. Tapi, bagaimanapun juga, cara berbicara sang sepupu yang ceria dan sepertinya tulus - meski tujuannya hanya untuk bersikap ramah - sebenarnya tak membuatnya risih.

Walau sudah tujuh tahun mereka tak bersua secara nyata, bertelepon dan yang paling baru, berkomunikasi dengan menggunakan sambungan internet, tetap dilakukan secara reguler. Jadi, karena komunikasi yang tak putus ini membuat Saridewi tak kikuk dan rikuh ketika bertemu langsung. Tawa Ratih, suara lengkingannya dan sepasang mata yang terus membulat ketika menyampaikan emosi, terlalu akrab bagi Saridewi.

Dua anak laki-laki Ratih yang sekarang berumur enam dan lima tahun lebih berdiri berjejer berdampingan, menyapa bulek mereka dengan ramah. Hati Saridewi mencelos. Kemenakannya itu kedua-duanya menggemaskan karena sikap mereka yang sopan. Wajah mereka yang bersinar, cara berpakaian mereka yang necis, bersih, dan rapih untuk anak seusia mereka membuat Saridewi semakin gemas. Ia peluk keduanya.

***

Saridewi nyaman di sini. Rumah Ratih tak terlalu besar, tapi pekarangannya luas. Lampu yang dinyalakan juga terang, tak membuatnya merasa sedang berada di sebuah dusun terpencil.

Ia sudah selesai mandi petang ini dan kini berganti pakaian dengan celana tiga perempat berpinggang karet yang kendur serta kaos oblong kedodoran yang makin lama makin enak dikenakan. Saking nyamannya, ia hampir lupa mengenakan beha nya sebelum teringat bahwa ia sedang tak di kamarnya sendiri.

"Mas Johan kok belum pulang, mbak?" tanya Saridewi sembari mendeprok di lantai teras, memerhatikan kedua kemenakannya sedang belajar. Rambut basah merahnya tegerai.

Ratih tersenyum. "Mas mu itu kan orang kota dek sebenarnya. Sewaktu dia memutuskan untuk pindah ke dusun ini bersama anak-anak, mbak luar biasa salut dan sangat menghargainya. Ya, syukurnya dia diterima menjadi Pegawai Negeri, guru Es Em Pe Negeri di desa sebelah. Sudah lama mas mu itu tidak bersinggungan dengan dunia modern. Jadi ketika akhirnya internet masuk, mas Johan merasa menjadi manusia lagi," Ratih kembali tertawa. Wajahnya menerawang.

"Sekarang, hampir setiap sore, sepulangnya dari sekolah, mas Johan singgah di pendopo dusun. Dia mengajari para tetua bagaimana menggunakan internet," Ratih tergelak. Saridewi juga tak dapat menahan geli yang dirasakan sang sepupu. "Mbak biarkan saja dia kembali ke peradaban. Pengorbanannya sudah luar biasa besar selama ini."

Percakapan mengenai Johan berhenti di situ. Kedua perempuan bersepupu itu kemudian bergurau kesana kemari dengan memasukkan cerita masa lalu, masa kecil, masa kini serta tentu saja masa depan.

"Kamu masih ingat bagaimana wajah mas Johan terakhir ketemu?" Ratih tiba-tiba kembali membahas mengenai suaminya itu.

Saridewi berpikir sebentar. "Ingat-ingat lupa, mbak."

"Nah, itu uwonge wis teko. Orangnya sudah datang," ujar Ratih sembari menunjuk ke arah pekarangan luas yang tersirami cahaya terang. Ada sosok laki-laki berpakaian necis dan klimis dan memiliki kesan 'berpendidikan' berjalan ke arah mereka. Ia disambut kedua anak laki-laki Ratih.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang