Ruangan Kerja

204 24 0
                                    

Pada umurnya yang ketiga belas, Nala Turasih pernah sakit begitu parah sehingga meninggal. Warga kampung menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri ketika gadis itu kembali bangun, bangkit dari gelapnya dunia kematian dan bernafas ketika baru saja selesai dipocongi.

Nala Turasih dilahirkan dan besar di sebuah desa bernama Obong. Ia adalah anak kedua dari suami kedua ibunya. Sebelumnya, sang ibu memang pernah menikah. Saat itu ia menikah di kala usianya masih sangat belia, enam belas tahun. Dari suami pertama, sang ibu memiliki seorang putri bernama Tasmirah, sang kakak.

Seperti sudah diduga, kehamilan diluar pernikahan sang ibu di masa mudanya tentu tidak menciptakan sebuah keluarga yang awet. Ibu dan ayahnya bercerai dua tahun kemudian karena percekcokan mengenai hal-hal yang sepele. Dua tahun juga sebenarnya dirasa cukup lama mengingat kedua anak remaja itu dahulu tak saling kenal dan bersetubuh di tepian sungai Pratama hanya karena iseng dan keenakan bermain kelamin sehingga keterusan.

Takdir rupanya berbicara dengan cara yang lain. Membutuhkan waktu lima tahun lamanya sampai seorang juragan muda, pemilik kebun tebu di desa itu memutuskan meminang sang janda beranak satu tersebut.

Juragan muda ini nyatanya adalah seorang laki-laki penyayang dan penuh kasih kepada sang istri, termasuk anak perempuannya yang sudah berusia tujuh tahun tersebut. Ia tidak hanya menikahi sang janda karena tertarik pada kecantikannya belaka, sebaliknya, perilaku terpuji sang suami membuat istrinya begitu mencintai sang juragan.

Hanya saja memang, lima belas tahun pernikahan mereka belum membuahkan anak kandung, meski cinta juragan tebu itu pada anak tirinya, Tasmirah, sama sekali tak berkurang.

Tepat ketika Tasmirah berumur dua puluh dua tahun, dan sang ibu tiga puluh tujuh tahun, kabar bahagia bagi sang juragan terdengar pula. Akhirnya sang istri hamil anak kandungnya. Nala Turasih lahir sembilan bulan kemudian.

Tasmirah tak cemburu dengan kasih sayang yang melimpah oleh kedua orangtuanya kepada adik barunya itu. Toh ia sudah berusia dewasa, bekerja di sebuah pabrik gula di kampung sebelah. Tasmirah sempat ikut merawat dan memberikan cinta kasih serta perhatiannya pada adik kandung yang jauh lebih muda dibanding dirinya itu, meski hanya beberapa tahun awal saja.

Nala Turasih sudah berumur lima tahun ketika Tasmirah memutuskan untuk menerima pinangan pemuda Kuranji yang merupakan pegawai ayahnya. Keduanya hijrah dari desa Obong untuk tinggal di kota lain. Pemuda Kuranji bekerja di salah satu cabang perusahaan tebu milik sang ayah.

Sampai disini kehidupan sepertinya terlalu baik-baik saja, luar biasa malahan. Janda beranak Tasmirah itu dikawini seorang laki-laki yang sepertinya tak memiliki cela dan retakan di dalam raga maupun jiwanya. Walau tak bisa dikatakan tampan, ia jelas kaya, baik pula. Bukankah itu terlalu sempurna untuk sebuah kenyataan?

Sang suami mengamalkan ilmu pesugihan.

Tanpa istri dan anak-anaknya sadari, yang tiri maupun yang kandung, bahwasanya rumah besar yang mereka tinggali selama ini tidak pernah memiliki bentuk yang tetap. Paling lama enam bulan, pasti ada saja yang dikerjakan. Dari pembangunan kamar baru, renovasi, atau hanya sekadar perbaikan kecil-kecilan.

Istri dan anak-anaknya merasa wajar. Tanah luas yang dimiliki beserta bangunan rumah yang besar, penambahan dan renovasi atau restorasi nampaknya menjadi hobi si juragan tebu itu. Meski kadang istri merasa risih karena selalu saja ada kegiatan pertukangan di rumah mereka, tapi ia tak sampai curiga. Padahal itu adalah syarat penganalan ilmu pesugihan dimana, walau membayar tukang, sang suami tetap ikut mengerjakan pekerjaan itu secara langsung.

Ini agar kekayaannya tetap terjaga.

Hanya ada satu ruangan khusus yang tidak boleh berubah. Ruangan ini juga adalah syarat mutlak dari ilmu pesugihan tersebut, berisi beragam sesajen dan mantra yang disembunyikan di dalam sebuah lemari. Istri dan anaknya hanya tahu bahwa kamar tersebut adalah sebuah 'ruangan kerja' yang tidak boleh diganggu.

Nala Turasih, beranjak gadis, dipenuhi hormon berisi rasa penasaran berlebih dan berahi, bergandengan sembunyi-sembunyi mengajak pacarnya masuk ke 'ruangan kerja' sang ayah. Kebinalan sang ibu di masa remaja dahulu menguar dari tubuhnya.

Ia dan sang pacar saling meraba, memuaskan sinyal penasaran yang tombolnya terlanjur ditekan. Nala Turasih membiarkan seorang mulut anak laki-laki menghisap pucuk dadanya dengan rakus.

Ruangan itu akhirnya tercemar. Nala Turasih dan pacarnya terkena laknat. Dimulai dari pacar yang juga teman sekolah Nala Turasih. Ia tewas besoknya, ditabrak truk pengangkut tebu. Tulang-tulang di tubuhnya mencuat keluar menembus daging dan kulitnya.

Kekuatan sihir di dalam ruangan itu tidak mau membiarkan Nala Turasih mati cepat. Gadis itu tersiksa demam berkepanjangan seharian. Kulit wajahnya sampai melepuh saking tingginya demam yang ia derita.

Ketika dokter datang, ia telah dinyatakan wafat.

Sang ayah begitu terpukul, bahkan melebihi rasa sedih istrinya. Ia menangis dan menjerit sejadi-jadinya di dalam 'ruangan kerja' nya. Ia memohon ampun dan meminta kepada kekuatan gaib yang ia puja agar memberikan kesempatan agar putrinya dikembalikan. Ia akan melakukan apa saja untuk membayar hal itu, termasuk menumbalkan dirinya sendiri, menjadi budak neraka.

Wajah-Wajah menyeramkan yang menempel di dinding kamar itu menyeringai licik dan puas.

Nala Turasih hidup kembali.

Semua orang yang awalnya ketakutan berubah menjadi kagum. Kejadian ini adalah keajaiban yang luar biasa. Gadis itu telah menyeberangi alam kematian untuk kembali bernafas. Cinta sang ayah dianggap terlalu kuat bagi semesta untuk melawannya sehingga Nala Turasih dikembalikan kepadanya.

Sekali lagi, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya sang Kala yang mampu menunjukkan wajah asli sebuah kebusukan.

Sang juragan menua dengan cepat. Ia melemah dan sakit-sakitan. Ia tidak mampu lagi untuk ikut andil dalam pekerjaan pertukangan di rumahnya. Sebagai akibatnya, tidak hanya kesehatannya yang menurun, perlahan kekayaannya pun ikut berkurang. Keuntungan perusahaan mandeg dan terjun bebas.

Pak Kuranji langsung berhenti berharap akan mendapatkan warisan dari bapak mertuanya. Sudah merupakan nasib dan takdirnya untuk hidup seperti ini, cukup dan tak berlebih. Bila diingat-ingat, memang sang istri, Tasmirah, bukanlah anak kandung juragan tebu atasan sekaligus bapak mertuanya itu.

Sang juragan menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Ia tak lagi menjadi pemilik perusahaan dan hanya mendapatkan secuil harta, berupa tanah dan rumah. Direksi memutuskan untuk menggantikan kepemimpinannya demi menyelamatkan perusahaan.

Tiga tahun setelah kebangkitan kembali Nala Turasih, sang ayah wafat.

Tinggallah sang ibu yang tak tahu menahu perihal mengurus rumah dan tanah. Suami pun tak meninggalkan kemampuan berniaga, berbisnis atau apapun yang membuat keluarganya bisa melanjutkan usaha keuangan.

Jengkal demi jengkal tanah dijual sampai sang istri meninggal.

Sebatangkara dan sendirian nampaknya Nala Turasih, meski telah menginjak usia dua puluhan tahun. Namun ia sejatinya tak pernah sendiri. Rumah besar itu tak pernah sepi.

Permohonan mendiang ayah kepada kekuatan gaib di dunia seberang sana langsung dikabulkan. Satu syaratnya saja. Mereka boleh mendiami tubuh Nala Turasih sebagai kendaraan menyebrang ke dunia nyata.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang