Angin pagi meniup rerumputan dan ilalang setinggi lutut, membuatnya bergemerisik ribut sekaligus bernada. Nala Turasih dan Pak Kuranji berjalan pulang melalui jalan setapak batu menurun. Ada kelegaan tergambar di raut wajah Nala Turasih setelah selesai mengunjungi makam keluarganya. Di saat yang sama, ada segenggam ketidaknyamanan yang masih terbawa, dan Pak Kuranji tahu itu.
"Kamu masih mau bercerita, dek Nala? Hmm ... semalam, subuh tadi tepatnya ... abang yakin, masih ada banyak hal yang belum kamu ceritakan," ujar Pak Kuranji melirik ke arah Nala Turasih.
Sang gadis memandang ke arah Pak Kuranji. Tidak ada ekspresi malu karena diingatkan kejadian tersebut. Sebaliknya senyuman samar membayang di wajah ayu yang terekspos mentari itu.
Nala Turasih memeluk tubuhnya sendiri kemudian menerawang. "Bagaimana menurut abang mengenai ibu?"
Pak Kuranji mengernyit. "Ibu? Ibu Sudarmi, ibu kamu dan mbak Mirah maksudnya?" tanya Pak Kuranji mencoba meyakinkan atas pertanyaan yang mendadak ini.
Nala Turasih mengangguk.
"Bagaimana ya aku harus menjawabnya? Ibu kalian baik, cantik sama seperti kalian berdua," ujar Pak Kuranji sembari tersenyum. Tak disangka Nala Turasih ikutan tersenyum. "Aku sih sebenarnya tidak terlalu mengenal mendiang ibu. Tapi kasat mata, nampaknya kalian cukup dekat," lanjutnya.
Nala Turasih menggeleng. "Abang mungkin tidak percaya bila kukatakan bahwa ibu tidak begitu menyukaiku."
Kembali Pak Kuranji mengernyitkan keningnya heran.
"Ibu begitu mencintai bapak. Itu sangat wajar bagi seorang janda beranak satu yang mendapatkan kesempatan dicinta dan mencinta kembali. Bapak juga memang sama cintanya dengan ibu. Hanya saja, ketika aku lahir ke dunia, aku yakin dunia bapak tergoyahkan. Perhatian bapak kepada ibu berubah arah. Mungkin memang tidak semua, tetapi cukup banyak sampai membuat ibu pun memiliki pandangan yang berbeda terhadap diriku," jelas Nala Turasih.
"Kok kamu bisa berpikir seperti itu, dek?" protes Pak Kuranji. "Tentu kasih sayang seorang bapak kepada anaknya tak terukur. Tapi sampai membuat mendiang ibumu cemburu, rasa-rasanya terlalu berlebihan."
Nala Turasih menyampirkan beberapa helai rambutnya yang berkibar liar tertiup angin di belakang telinganya kemudian tersenyum. Pak Kuranji harus mampu menahan rasa girangnya dengan pemandangan ini.
"Aku sungguh-sungguh, bang. Ibu tidak pernah bersikap baik padaku. Ia dapat menahan diri hanya di depan bapak. Meskipun bukan berarti ia kejam denganku, memukul dan menyumpahi aku, misalnya. Yang jelas, perhatian dan rasa sayangnya tak pernah utuh sama sekali. Ada saja rongga yang membuat hubungan kami berjarak. Mungkin ketika ibu merasa mendapatkan hidupnya, kelahiranku kembali membawanya merasa sendirian. Aku tidak menyalahkan mendiang ibu, tapi perhatian dan penjagaan bapak yang luar biasa membuatku ingin memberontak. Tahukah abang ketika ... maaf, bang ... ibu menangkap basah aku dan pacarku dulu bercumbu di salah satu ruangan di rumah, ibu tidak memarahiku. Ia malah berkata bahwa kebinalanku adalah turunan darinya. Bapak tidak berhak mencintaiku lebih baik darinya, toh kami berdua sama. Ibu mengatakannya dengan datar, seakan tanpa emosi sama sekali. "
Pak Kuranji berusaha tidak berkespresi. Lagipula ia memang tak tahu harus bersikap dan berkata apa. Sebagai hasilnya ia hanya menunduk memperhatikan langkah kedua kakinya di atas jalan setapak batu tersebut.
"Aku tak benar tahu apa maksud ibu. Yang jelas, aku merasa tertantang. Aku makin ... ehm ... nakal, bang. Aku berharap bahwa kelak bapak tahu bahwa aku tidak seistimewa itu dan ucapan ibu ada benarnya. Dengan begitu mungkin bapak akan mengembalikan perhatiannya kepada ibu dan aku dapat bebas menjadi diriku sendiri. Tapi, semuanya tidak semudah itu. Selama aku hidup di rumah itu, ada saja gelora aneh yang membuatku seperti bukan diriku, bertentangan dengan apa yang aku inginkan. Rumah itu membuatku terasa terikat, bang," senyum Nala Turasih memudar.
"Setelah bapak wafat, ibu semakin jauh dariku. Ia mulai mengalami gangguan kejiwaan. Abang dan mbak Mirah belum pernah melihatnya. Itu karena seakan-akan, rumah yang bapak bangun itu sengaja membuat ibu kumat di waktu-waktu tertentu dan hanya memamerkannya kepadaku. Aku beberapa kali mendapati ibu berjalan bolak-balik di lorong atau ruang tamu di malam hari dengan baju tidur putihnya. Ia juga berbicara sendiri. Suatu kali ketika aku menegurnya, ia malah membentakku. Itulah pertama kalinya ibu menaikkan suara kepadaku. Ia berkata bahwa harusnya aku yang ditumbalkan, bukannya dia," Nala Turasih semakin mempererat pelukannya pada tubuhnya sendiri.
Pak Kuranji ingin sekali kembali memeluk tubuh ramping gadis itu.
"Aku tak paham, bang, apa maksud ibu itu. Tapi kata-kata itu terus menghantuiku. Sampai-sampai, sosok perempuan melayang yang masuk ke kamarku sesaat setelah ibu wafat dan terjadi lagi tadi subuh aku anggap sebagai arwah ibu," ujar Nala Turasih. Ia kembali tersenyum, tetapi kali ini terasa getir. "Jangan-jangan aku sebenarnya mengidap permasalahan jiwa yang sama dengan ibu, ya bang?"
"Dek Nala, jangan berpikir seperti itu. Mari, kita duduk disana dulu," ajak Pak Kuranji ketika mereka menemukan sebuah bangku panjang dari bambu yang diletakkan di tepi jalan setapak.
Nala Turasih menopang tubuhnya dengan kedua lengannya. Cardigan yang ia kenakan tersibak oleh angin, memamerkan bahu dan retakan indah ketiaknya. Nala Turasih tidak membetulkannya. Pak Kuranji menahan nafas, mengutuki kebodohan dirinya yang dikuasai nafsu bejat.
"Aku boleh jujur, dek Nala?" ujar Pak Kuranji tanpa memandang ke arah adik iparnya itu.
Nala Turasih langsung berpaling ke arah Pak Kuranji. "Ada apa, bang? Tolong bilang saja, aku mau tahu apa yang ada di dalam pikiran abang."
Pak Kuranji menghela nafas. "Aku merasa ada yang tidak beres dengan rumah itu," ujarnya pendek.
"Sungguh? Abang juga merasakannya?"
Pak Kuranji mengangguk. "Aku bisa paham mengapa kamu merasa terikat dengan rumah itu meski juga merasakan hal yang tidak nyaman. Mungkin ikatan batinmu dengan mendiang bapak, sekaligus permasalah dengan ibumu lah yang membuat perasaan aneh ini terus-menerus ada. Tapi, kamu harusnya tidak perlu menyalahkan diri sendiri."
Nala Turasih terlanjur tenggelam di dalam pikirannya sendiri. "Aku terikat dengan rumah itu, juga dengan desa ini. Masalahnya, aku juga seperti tak memiliki keinginan untuk lepas pula, bang. Seakan-akan inilah jati diriku sebenarnya. Apakah jangan-jangan aku memang sebinal dan senakal yang ibuku katakan? Apakah kenakalanku bersama mantan-mantan pacarku lah yang membuat bapak wafat dan ibu terkena getahnya?"
"Dek Nala, jangan berpikir seperti itu!" seru Pak Kuranji. Tanganya spontan merengkuh tangan Nala Turasih. Tindakan ini memicu emosi yang tersimpan di dalam diri sang gadis. Sepasang matanya kembali berkaca-kaca, tetapi kemudian cepat dihapus dengan satu tangannya. Satunya tangannya yang lain tetap dibiarkan digenggam oleh Pak Kuranji.
Nala Turasih berpaling ke arah Pak Kuranji, kemudian menatap matanya dengan sayu. "Bang Kuranji, aku minta maaf bila ini berlebihan. Tapi aku mau abang berjanji untuk melindungiku. Aku tak tahu kepada siapa lagi aku meminta bantuan ini. Aku seorang diri di dunia ini. Sejujurnya aku hidup enggan, mati pun tak mau," ujarnya.
Pak Kuranji mengenggam jemari Nala Turasih semakin erat. Ada desiran rasa aneh yang mengalir deras di sanubarinya. Mendadak ia ingin sekali mengabdikan jiwa raganya untuk menjaga sang gadis. Ia tak mau sesuatu apapun terjadi pada gadis yang seutuh dan seluruhnya sedang lemah ini. Pak Kuranji mengangguk mantap, membuat Nala Turasih tersenyum lebar dalam kesedihan dan kekalutan pikirannya itu.
Selagi keduanya sedang berada di dalam pelukan rasa yang saling bertaut mengait, hawa kegelapan merambat dari ruangan keramat. Bangunan itu terus bergerak-gerak dan dinding serta lantainya berpindah-pindah. Candi di depan pendopo makam Sadali Pandega dan Sudarmi merespon dengan bergetar lembut. Malam nanti semuanya akan digenapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...