Nyimas Utari Sanjaya Ningrum

282 39 1
                                    

Sarti membuka mata batinnya. Dunia merekah jingga dengan pendaran sinar merah marun. Ia dapat melihat udara dalam rupa sulur-sulur energi yang tak ia tahu namanya. Angin bergerak bagai gelombang. Berputar di satu tempat, mengalir di tempat lain, pecah cacah di beberapa titik.

Kemampuannya ini digunakan untuk menangkap realitas lain yang terabaikan oleh tidak hanya mata, namun hati manusia. Setiap saat, mahluk-mahluk fana itu hanya memerhatikan zat yang padat, kenyataan yang terlihat dan kesenangan kilat. Ketidakabadian seperti pepohonan yang bisa mati, kayu yang bisa lapuk, tanah yang bisa berubah, batu yang bisa bubrah, air yang bisa kering atau bumi yang bisa miring lah yang menempati fokus perhatian manusia. Sedangkan arwah dan jiwa-jiwa tersiksa dan berhutang kepada kesementaraan itu terus saja melayang-layang dalam penyiksaan dan penjara keabadiaan.

Arwah Damarjati berdiri linglung menghadap tembok dimana kepalanya dibenturkan dan digesek sepanjang permukaan tak rata itu. Sarti melihat Damarjati masih tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Wajahnya hancur berantakan, berserpih, karut marut dan koyak di mana-mana.

Walaupun semasa hidup Damarjati adalah seorang pemabuk yang tak berguna, Sarti tetap merasa iba. Kematiannya yang tiba-tiba itu serasa tak adil baginya.

Namun, ketika melihat hantu Dyiwang Awang yang merangkak di atas tanah oleng telanjang meraba-raba mencari potongan tangannya yang putus, Sarti hampir saja meludah bila tak diingatnya bahwa ia sedang mengenakan topeng. Ia puas sekali bahwa dengan tangannya lah Dyiwang Awang ia habisi.

Dengan kemampuan penerawangan gaib itulah, Sarti sudah membaui bahkan mengendus bau busuk nafsu dan angkara murka yang bertebaran di udara malam ini. Tidak hanya hantu-hantu beragam bentuk yang lewat melayang mengambang terbang, namun juga larik-larik hawa ilmu sesat dan aroma Pancajiwa yang menyelip di kepingan udara.

Sarti melompat berkelebat dari atap sebuah rumah di kompleks hunian padat itu, ke pohon pisang, pohon jambu dan atap rumah lain dengan gerangan meringankan tubuh tingkat tinggi. Bagai kapas, tubuh Sarti yang mungil itu melompat ringan ke balik rerimbunan perdu.

Meski hunian ini padat, dan semenjak kejadian-kejadian malang nan mengerikan yang terjadi akhir-akhir ini membuat para warga masih bangun berjaga bergantian di waktu malam, Sarti dengan mudah bersembunyi di tempat-tempat yang sepertinya mustahil untuk tak diketahui orang.

Dengan cekatan, walau dengan warna pakaian yang menyala seperti itu, Sarti berkelebatan tanpa suara meniti pagar semen, memunggungi pepohonan melompati genteng rumah. Bila ada seseorang yang sempat melihat sosoknya sekalipun, sudah pasti ia bakal semaput atau paling tidak terguncang jiwa nya karena percaya sedang melihat mahluk gaib serupa kuntilanak merah dengan wajah putih pucat tanpa emosi.

Sarti sendiri kini sedang memerhatikan sebuah bangunan rumah di tengah-tengah bangunan perumahan lain yang seakan membentenginya. Dari atap rumah itu Sarti menyaksikan sabut dan serabut hawa mistis kegelapan meruap dengan latar belakang langit jingga.

***

Bhanurasmi berjalan dengan gontai, linglung seperti pohon kelapa terombang-ambingkan angin pantai.

Ia merasa tubuhnya bukan miliknya lagi. Ia tak memiliki kuasa dan kontrol atas tangan dan kakinya. Setiap gerakannya bagai sebuah keniscayaan semata. Sejatinya, ia bahkan sama sekali tak merasa bahwa ia adalah dirinya sendiri.

Dua hari lalu, setelah kepergiannya ke rumah kontrakan yang ditinggali Juned dan Waluyo, ia terbangun di kamarnya sendiri esok paginya. Sekuat apapun otaknya bekerja untuk mengingat bagaimana ia bisa sampai di kamarnya, hasilnya tetap nihil.

Ia toh tak meminum alkohol macam mendiang suaminya yang kabarnya bisa terbangun di dekat kuburan ketika sadar dari mabuknya.

Yang paling aneh sebenarnya adalah bahwa Bhanurasmi merasa jiwa san raganya dirampok seseorang dan dipakai untuk melaksanakan hal yang sosok tersebut mau.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang