Pratama

111 18 0
                                    

Pak Kuranji terbangun dengan terengah-engah. Keringat membasahi kening dan dadanya. Mimpi itu terlalu nyata buatnya sehingga tak mungkin ia menyepelekannya. Lihat saja akibatnya. Ia sampai terbangun dengan kondisi seperti habis berlari dari kejaran polisi.

Pak Kuranji menghela nafas panjang kemudian menutup matanya untuk mengatur pernafasan. Ia menyeka keringat di keningnya, membuka bajunya yang hampir basah seluruhnya kemudian berdiri untuk mengganti dengan pakaian yang baru. Ketika mengambil kaus, ia meraih karambit yang diletakkan di meja kecil di samping tempat tidurnya.

Sudah dua kali ini bermimpi mengerikan tentang Nala Turasih. Memang benar, ia memang kerap dengan sengaja memimpikan gadis itu dalam balutan nafsu. Mengimajinasikan sang gadis tanpa busana serta membayangkannya bugil tak tertutup sehelai benangpun adalah makanannya sehari-hari. Otak Pak Kuranji seakan penuh berjejal dengan segala jenis gambaran dan skenario sensual atas Nala Turasih. Namun, kedua mimpi mengerikan itu jelas bukan kembang tidur, campuran dengan pikiran cabulnya, apalagi hanya kebetulan.

Gambaran Nala Turasih dengan tubuh yang memang miliknya, tetapi dengan wajah dan kepala yang entah apa atau milik siapa, seakan menjadi pertanda tertentu mengenai ada apa sebenarnya dengan gadis tersebut. Nala Turasih di kedua mimpinya sama-sama berada di sebuah tempat yang ia kenal baik.

Ah, sungai! Nala Turasih selalu berada di dekat sungai! Pikir Pak Kuranji.

Ia kembali duduk. Otaknya mendadak ruwet dan penuh dengan bermacam pikiran yang saling tumpang tindih. Ia sedang mencoba membongkar misteri lokasi mimpi dimana Nala Turasih seakan terpenjara oleh kekuatan tak kasat mata yang Nala Turasih sama sekali tak pahami.

"Sungai Pratama!" jerit Pak kuranji dalam hati.

Sungai yang ia sebut itu mengalir melewati desa Obong dari dataran tinggi serupa pergunungan di sisi jauh desa, terus mengalir sampai desa-desa lain di bawahnya. Sungai itu dikenal baik oleh Pak Kuranji. Ia dahulu kerap melewati sungai di sisi desa itu sewaktu muda. Beberapa teman pekerja pabrik tebu milik calon mertuanya saat itu, Sadali Pandega, yang acapkali berjalan bersamanya untuk satu dua pekerjaan di desa Obong, beberapa kali menceritakan kisah mengerikan tentang sejarah sungai Pratama. Sungai itu pernah menjadi saksi pembantaian warga desa di masa lampau oleh kekuatan penguasa, karena dituduh sebagai anggota organisasi terlarang di jamannya. Mayat-mayat memenuhi sungai, tidak hanya membuat air menjadi merah, tetapi juga menebarkan bau busuk menyengat menggelapi udara, menjadi kelambunya.

Lebih jauh, dengan sedikit bercanda, atau karena rasa takut, teman Pak Kuranji lainnya mengatakan bahwa jiwa-jiwa tak tenang itu terperangkap di dalam wilayah tersebut dalam sebuah kekuatan gaib yang tak bisa diukur dan dinalar manusia. Mereka berubah menjadi katak, kadal, ular, buaya dan binatang melata menjijikkan lainnya.

"Ngawur, kamu! Mana ada buaya di sungai berair dangkal dan berbatu-batu besar semacam ini," protes Pak Kuranji saat itu.

"Yah, Kuranji. Namanya juga siluman. Mahluk-mahluk itu jelas bukan binatang sungguhan, tapi jadi-jadian. Bentuknya juga pasti berbeda. Bisa saja seekor buaya yang berjalan dengan kedua kaki, bukannya empat," balas sang teman.

Pak Kuranji, seperti sudah sifatnya, tidak pernah terlalu menolak kemungkinan, apalagi bila hal-hal tersebut berhubungan dengan keselamatan dan ancaman atas hidupnya. Bila memang hal-hal gaib itu ada, ia harus siap bagaimanapun caranya. Kerasnya perantauan membentuk tubuh dan jiwa yang peka dan awas dengan segala kemungkinan.

Karambit, senjata jenis belati yang melengkung meniru bentuk cakar harimau yang ia bawa sejak merantau dari kampung halamannya di masa muda dulu ini dengar-dengar juga telah 'diisi' dengan kekuatan supernatural tertentu yang bisa membuat dirinya aman, tidak hanya secara fisik, tetapi pada hal-hal yang tidak terlihat. Mungkin sudah saatnya karambit yang sudah pernah menyobek kulit dan daging manusia ini menghadapi kekuatan lain, sebagai salah satu tujuan ia dibuat..

Lalu, apa hubungannya Nala Turasih dan sungai Pratama di mimpinya tersebut?

Pak Kuranji berdiri, menyelipkan karambit yang masih di dalam sarung itu di karet bagian belakang celana kolornya. Ia melirik ke arah jam tangan yang juga diletakkan di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Jam tiga pagi. Berarti sudah sekitar dua jam ia tertidur.

Terakhir kali, ia dan Nala Turasih memutuskan untuk untuk beranjak ke peraduan sudah lebih dari tengah malam. Pak Kuranji sendiri masih belum bisa tidur karena rasa tidak percaya telah menghabiskan waktu berdua bersama gadis pujaannya itu. Mereka berbicara mengenai beragam hal yang konyol, lucu, kadang menyedihkan, tetapi lebih banyak lucu. Nala Turasih sepertinya tak kehabisan amunisi tawa sepanjang malam akibat lelucon dan candaan yang digelontorkan Pak Kuranji. Walaupun, Pak Kuranji sendiri beranggapan leluconnya tak selucu itu.

Nala Turasih sepertinya memang senang bisa kembali ke rumah ini. Rumah dimana ia lahir dan tumbuh. Tawa lepasnya menunjukkan rasa lega itu. Pak Kuranji ikut gembira. Apalagi, pesona gadis itu dapat ia nikmati sesuka hati. Tak ada rasa risih yang ditunjukkan Nala Turasih ketika Pak Kuranji menjelajahi setiap sudut wajah juwitanya, bibirnya yang membuka merah delima, lehernya yang jenjang, bahunya yang telanjang serta mencuri-curi pandang cembungan dada dan cekungan ketiaknya yang tak bercela ketika Nala Turasih kembali membenahi rambutnya yang berantakan akibat tergelak-gelak.

Sialan! Jam tiga pagi-pagi buta seperti inipun udara masih gerah. Ditambah gerah karena otak paruh baya Pak Kuranji yang ngeres tak tahu waktu. Atau jangan-jangan, kekuatan misterius yang tak dapat dijelaskan itu sedang memain-mainkan berahi, rasa ketidaktahuan dan ketakutannya sekaligus?

Pak Kuranji meregangkan tubuhnya. Ia tak akan bisa tidur lagi. Mimpi aneh itu masih menempel di kepalanya. Biasanya, sama seperti kebanyakan laki-laki, ia tak pernah bisa mengingat utuh mimpi-mimpi yang ia alami. Namun, kedua mimpi yang melibatkan Nala Turasih tersebut terngiang-ngiang di otaknya secara mendetail, lengket seperti pacet.

Pak Kuranji memutuskan untuk keluar kamar dan mungkin mencari angin di pekarangan.

Daun pintu kamar yang ia buka tidak menimbulkan suara derit sama sekali. Bukti bahwa adik beradik Pramudi dan Darmadi sungguh merawat rumah yang besar ini dengan baik. Lantainya pun selalu bersih. Tidak ada debu di kusen pintu dan daun jendela. Seprai tempat tidurnya seperti habis dicuci saja. Begitu juga dengan tirai dan kursi meja. Semua tidak menunjukkan bahwa rumah itu ditinggal lama.

Mendadak Pak Kuranji tersentak. Ia bahkan hampir menutup pintunya keras dan berlari kembali masuk ke kamarnya.

Tepat di lorong di depan kamarnya, ada sosok berdiri membelakanginya. Sosok perempuan berbusana putih dengan rambut panjang yang tersampir di kedua bahunya. Punggung sang perempuan terbuka, memperlihatkan kulit indah bercahaya yang tertimpa sinar temaram dari teras yang menembus sela-sela ventilasi.

Pak Kuranji menahan nafasnya. Lututnya goyah sehingga ia harus memegang daun pintu dengan kuat. Ia bersumpah serapah dalam hati, kemudian memegang hulu karambitnya erat. Bila ini memang saatnya, mari lakukan saja, pikir Pak Kuranji.

 Bila ini memang saatnya, mari lakukan saja, pikir Pak Kuranji

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tubuh sosok perempuan itu bergetar. Kini ia berbalik ke arah Pak Kuranji dengan pelan. Begitu pelannya sehingga Pak Kuranji merasa bahwa kejadian ini seperti adegan slow motion di dalam sebuah film.

Maka, terlihatlah jelas wajah sang sosok. Wajah ayu yang tak mungkin disalahkirakan oleh Pak Kuranji itu menatap ke arahnya. Sepasang matanya basah oleh air mata.

"Dek Nala?! Ada apa denganmu?" seru Pak Kuranji.

"Aku ... aku takut, bang Kuranji."

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang