Takut

256 17 0
                                    

Yanuar Sobarna beranggapan bahwa dunia ini bobrok dan brengsek. Alur kehidupan berjalan tanpa rumus pasti, chaos, berantakan, tak punya struktur. Manusia dibiarkan bergulat dengan masalahnya sendiri namun diberikan dengan kemampuan untuk berharap. Harapan inilah yang membuat manusia terus berjuang bahkan ketika semuanya serba tak masuk akal. Namun Yanuar Sobarna tak memiliki harapan. Ia bagai seekor binatang yang mengikuti insting untuk bertahan hidup. Ia bisa mengemis, melacur namun sebaliknya dapat pula merampok dan membunuh bila memang itu yang diperlukan.

Hanya saja, sepupunya, Agah, selalu mengolok-olok dan mencibir pemikirannya itu. "Apapun anggapanmu soal dunia ini, kau itu cuma penakut, Yan," ujar Agah, sang sepupu mengejek.

Yanuar Sobarna, pemuda yang baru saja menginjak usia sembilan belas pada bulan kemarin itu memandang saudara sepupu laki-lakinya jengah. "Bukannya sama saja dengan kau, Agah. Aku penakut, tapi kau pengecut. Dengan adanya rasa takut dan ngeri di dalam jiwa kita, itu berarti kita memang masih hidup, normal. Rasa takut juga membuat manusia menjadi awas dan ini penting untuk bisa bertahan hidup," balas sang pemuda.

Agah yang dua tahun lebih tua itu hampir tersedak bir yang ia tenggak langung dari botolnya. "Kau ngomong apa sih sebenarnya, Yan? Kalau kau sepintar itu, kenapa sekarang kita berdua duduk di bawah tiang listrik di depan gapura hunian ini minum bir dan kau memperhatikan motor sport yang bukan milikmu. Aku yang punya motor itu, dan kau sering meminjamnya untuk menggoda perempuan di kampung sebelah," balas Agah.

Koswara, Surajalu dan Amir Cahya ikut tergelak. Ketiga teman mereka itu duduk mendelosor di seberang mereka. Botol-botol bir berserakan di sekitarnya.

Yanuar Sobarna menghela nafasnya panjang. "Kalau kita tak takut, mengapa kita pagi tadi membobol pintu rumah Rasmi, Agah?" ujarnya.

"Kita sudah membahas ini, Yan. Kita sudah menyambung-nyambungkan semua kemungkinan. Hunian kita sekarang sudah menjadi pusat perhatian polisi. Kematian terjadi terus-terusan dimana semua orang yakin bahwa itu semua adalah kasus pembunuhan. Juned dan Waluyo juga mati dengan keadaan seperti itu. Kita yang harus menanggung resikonya. Selama ini kita membeli obat dari mereka. Kematian mereka membawa lebih banyak polisi. Kita dalam keadaan yang bermasalah. Nah, kau jelaskan dengan ilmu filsafat bodohmu itu bagaimana kita tidak takut, hah?" balas Agah dengan sedikit kesal.

Surajalu, pemuda yang menyemir rambutnya dengan warna pirang itu menenggak bir nya. "Bhanurasmi, perempuan sundal yang sudah menjadi janda itu seperti senang ketika suaminya mati. Damarjati adalah teman nongkrong kita. Belum lagi kematian Awang. Bahkan kau pun tahu Rasmi pernah punya rasa dengannya. Damarjati ketika mabuk kadang sering mengeluh tentang istrinya yang menunjukkan rasa sukanya ketika melihat Awang. Tak perlu menutup diri untuk mengakui bahwa Bhanurasmi mungkin sekali sedang berdukun. Setiap kematian yang sebenarnya saling berhubungan ini makin membuat janda itu semakin menarik. Kalian lihat, ia semakin cantik, semakin seksi. Sudah pasti ia berdukun atau apalah namanya. Sialnya kita belum sempat memergoki nya sedang melakukan ritual. Tapi, baju laki-laki yang kita temukan di rumahnya kemarin sudah cukup meyakinkan bahwa ia ada main. Entah ia membawa pria masuk untuk tidur dengannya, atau itu adalah salah satu sarat ritualnya," jelas Surajalu panjang lebar.

Amir Cahya yang bertubuh ceking mengangkat botol bir nya. "Benar! Sumpah demi setan, aku merasa ada orang atau mahluk tak kasat mata ada bersama kita dan sedang memerhatikan sewaktu kita ada di rumah Rasmi," ujarnya.

Mereka memang penakut sekaligus pengecut. Semua mengakuinya walau di dalam hati. Yanuar Sobarna benar. Itu sebabnya bulu kuduk mereka sontak merinding mengingat apa yang dikatakan Amir Cahya.

Malam itu, seperti malam-malam lainnya setelah kejadian terbunuhnya warga hunian ini secara tragis dan misterius tersebut, ramai dengan para bapak dan pemuda yang beronda. Anggota polisi tiap hari datang ke hunian untuk tujuan penyelidikan. Tujuan beronda yang seharusnya adalah untuk menjaga keamanan dan menghindari kejadian serupa terjadi lagi itu sebenarnya juga merupakan bentuk kekhawatiran warga hunian ini yang pemuda-pemudanya adalah pengguna narkoba, tukang mabuk dan pengangguran. Kedatangan para polisi malah dikhawatirkan membuka semua bobrok mereka. Apalagi, dua penyewa rumah kontrakan di hunian mereka, Juned dan Waluyo, yang adalah para pengedar itu tewas pula dengan keadaan yang tragis.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang