Sang Angkara Murka

109 14 0
                                    

"Siapa kau sebenarnya? Apa maumu denganku?"

"Siapa aku adalah sebuah pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan cara yang sederhana. Aku bisa menjadi siapa saja karena aku adalah segalanya. Aku adalah manusia, aku adalah binatang, aku adalah mimpi, aku adalah kenyataan. Aku hidup dari nafsu karena akulah nafsu itu sendiri. Aku menjadi apa yang manusia mau, tetapi aku juga yang membuat mereka menginginkan diriku. Panggil saja aku sebagai Sang Angkara Murka.

"Tapi, mengapa kau begitu indah? Mengapa kau begitu cantik, memesona, melenakan mata, menenangkan jiwa, dan membuat detak jantungku bergelora? Kau begitu muda dan belia. Kau terlau sempurna untuk sebuah angkara murka. Kau tak bercacat dan bercela untuk nafsu dan berahi manusia yang merajala."

"Ah, aku sudah terlalu akrab dengan kata-kata ini, anakku. Aku sudah terlalu paham seluk beluk keraguan menungsa yang selalu nelangsa dalam kolam kehidupan mereka yang ngrekasa. Itu sebabnya aku ada, anakku, Tasmirah. Tidakkah kau sadar bahwa aku adalah kau?"

"Tunggu, tunggu sebentar! Sepasang dada padat itu memang milikku. Aku tahu tingkat kekenyalannya. Abang Kuranji dulu kerap memujinya ketika sedang memainkan keduanya. Begitu pula dengan pucuknya yang bersemu warna langit di sore hari. Dan ... Lekuk pinggul itu juga milikku. Aku sering menari-nari di depan abang Kuranji dengan melenggak-lenggokkan bokong dan pinggangku untuk menggodanya, tanpa busana. Tungkai lengan ramping dan paha sekal itu jelas-jelas milikku. Jemari dan telapak tangan abang Kuranji sering menelusurinya dan berhenti di tengah-tengah lipatan pangkal kedua pahaku yang sempit."

"Benar, Tasmirah. Itu karena aku adalah kau."

"Tapi, aku sudah tidak seindah itu lagi. Suamiku, abang Kuranji, Pak Kuranji, sudah tak mendapatkan sari-sari legit nan manis yang dahulu aku hasilkan dan ia peras setiap saat, sampai ke tetes terakhirnya."

"Ah, kau merasa tak lagi mampu memberikannya yang terbaik, Tasmirah?"

"Aku sudah tak lagi remaja, sudah tua, bahkan renta. Aku tak lagi jaya. Tubuhku enggan menggelar pesona sebab telah tak ada lagi yang tersisa. Namun, mengapa aku melihat tubuh itu lagi di depan cermin? Bayangan tubuh yang terpantul dari kaca itu sungguh milikku."

"Itu karena aku adalah kau, anakku."

"Tidak mungkin! Itu adalah kau dan bukan aku. Lihat saja, wajahku mengapa semengerikan itu? Mengapa sepasang mataku memandang dunia dengan nanar dan tanpa jiwa bagai mayat saja? Mengapa pula aku mengenakan sebuah mahkota?"

"Itu hanyalah kau dalam jenis yang berbeda, Tasmirah. Kau yang lama, yang kau puja, yang kau cinta, tidak pernah pergi. Kau bisa memintanya kembali kapan saja yang kau inginkan. Mahkota indah itu adalah bukti bahwa kau adalah ratu dari dirimu sendiri. Nafsu dan berahi hadir selalu tanpa henti. Mereka ada sebagai budak-budakmu. Kenikmatan tiada tara, kepuasaan tanpa batas adalah mimpi semua manusia, bukan? Mengapa tak kau renggut, ambil dan peluk diriku, Sang Angkara Murka, anakku, Tasmirah?"

"Sang Angkara Murka. Apakah sungguh benar yang kau katakan? Aku bisa kembali muda dan mendapatkan tubuhku kembali?"

"Tentu, tentu, anakku. Bukankah itu yang kau mau?"

"Ya, Angkara Murka, aku mau itu. Tapi, apa yang harus kulakukan untuk mendapatkannya semua kembali?"

"Kau cerdas, sungguh pintar, Tasmirah. Kau sadar bahwa semua memiliki harga yang harus dibayar. Tidak mahal, sungguh tidak mahal. Malah sebaliknya, kau akan mendapatkan tubuhmu itu untuk selamanyam. Tidak akan ada kerutan, tidak akan ada kelemahan. Kau akan terus segar, bugar, matang dan melenggang. Kau hanya harus ikut aku, nduk. Mengabdilah pada kekuasaan para perempuan dari dasar samudra. Kita akan bersenang-senang dalam gelora asmara dan kebahagiaan yang jemawa."

"Aku ikut, Angkara Murka. Apapun akan aku lakukan untuk mendapatkan diriku yang dahulu, yang penuh kekuasaan menaklukkan semesta."

Di pantulan cermin, Sang Angkara Murka, salah satu prajurit perempuan Nyi Blorong dalam rupa Tasmirah tersenyum puas. Tujuan yang diperintahkan oleh junjungannya sebentar lagi akan menjadi nyata. Kekuatan gelap iblis betina akan terlepas ke dunia. Ia, para prajurit lainnya, beserta pemimpin mereka, Nyi Blorong, akan duduk manis dari dunia di bawah samudra menyaksikan dunia terbakar dalam syahwat dan gairah akan darah.

Gerbang dunia gaib dari kerak neraka yang penuh kegelapan dan kesuraman akan terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gerbang dunia gaib dari kerak neraka yang penuh kegelapan dan kesuraman akan terbuka. Gapura sihir yang dibuat di dalam sebuah desa bernama Obong tersebut bereaksi dengan baik. Rumah yang ditempati Nala Turasih kembali bergerak. Kamar-kamarnya bergeser. Dinding dan lantai hilang dan datang, memendek dan memanjang.

Para warga desa Obong yang berkumpul mengelilingi api memalingkan kepala mereka ke arah rumah gaib itu, membuat Pak Kuranji yang duduk tak jauh dari mereka kembali merasa asing, terasing dan tak nyaman. Ia tak pernah bisa memahami maksud ritual aneh tersebut.

"Maaf, bapak-bapak dan adik-adik sekalian. Sepertinya saya permisi dulu. Saya tidak lama disini, hanya menemani dek Nala. Saya agak lelah setelah seharian menyetir mobil. Saya mau istirahat dulu. Besok boleh lah saya berkunjung lagi atau main-main di sekitar desa," ijin Pak Kuranji pada para laki-laki yang duduk mengelilingi api unggun dalam diam tersebut.

Sontak, mendadak, tak dapat ditebak, para lelaki, muda tua tersebut langsung memandang ke arah Pak Kuranji dan tersenyum berbarengan.

"Wah, silahkan, Pak Kuranji. Walau kami berharap Pak Kuranji masih mau nongkrong-nongkrong nanti lagi setelah acara api unggun ini selesai. Ada beberapa pemuda dan warga desa yang dapat kebagian ronda malam ini. Saya juga, Pak," ujar Pak Darmadi seraya tersenyum ramah. Berbeda sekali dengan beberapa saat yang lalu, raut wajahnya dapat langsung berubah drastis dari dingin dan tanpa emosi ke hangat dan bersahabat. Begitu juga dengan warga laki-laki lain di tempat itu yang tidak sedikit dari mereka masih Pak Kuranji kenal sejak bertahun yang lalu. Dahulu, jika bukan karena berpacan dengan Tasmirah, ia jelas enggan sering-sering datang ke desa Obong dan berlagak bersosialisasi dengan orang-orang desa yang aneh itu. Bahkan setelah menikah, memiliki anak dan kerap bolak-balik bersama Nala Turasih pun, keterasingan itu malah semakin mengental.

Pak Kuranji meludah ke tanah setelah berjalan jauh dari kelompok laki-laki warga desa yang sedang melakukan ritual yang tak bisa dia pahami itu. Terlalu lama di tempat itu memuat tenggorokannya tak enak dan perutnya sedikit mual. Mungkin secara psikologis itu bentuk dari penolakan tubuh dan pikirannya atas ketidaknyamanannya, atau jangan-jangan mereka sedang mengguna-gunainya? Pikir Pak Kuranji.

Peduli setan, pikirnya. Yang penting ia sudah menjauh dari warga desa. Masih belum pukul sepuluh malam. Masih jauh dari larut.

Pak Kuranji setengah berharap Nala Turasih masih terjaga. Ia masih ingin mengobrol dengan adik iparnya yang jelita nan juwita itu serta menikmati segala keindahan badaniah sang gadis.

Kata berjawab, gayung bersambut. Nala Turasih terlihat duduk di teras di depan rumahnya itu. Tubuhnya dibalut busana terusan yang jatuh lembut mengikuti alur lekuk tubuhnya. Rambutnya yang setengah basah terurai menciptakan kesan segar, sesegar senyumannya yang lebar, seakan memang dirinya sedang menunggu dan siap menyambut kedatangan sang abang ipar.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang