Tetua

360 43 1
                                    

Tubuh setengah baya Girinata terlihat puluhan tahun lebih tua, membungkuk ke depan dengan sangat bagai sebatang pohon lapuk yang mati tak berbunga dan berdaun lagi. Sepasang matanya menatap kosong entah ke arah mana. Kulitnya pucat tak segar, layaknya gurun pasir yang tak teraliri air sungai, tandus meranggas.

Rumah besar yang ia diami terasa lengang oleh mata telanjang. Bunyi jangkrik bersahutan dari balik tanaman liar yang merambat dan tumbuh liar di pekarangan dan retakan ubin kamar tamu. Cecak berdecak, tokek menokek, dan tikus bercicitan. Hampir tak ada ciri-ciri kehidupan manusia kecuali tubuh bungkuk Girinata yang bersimpuh berdiam diri di lantai ruang tamu.

Tapi bila seseorang yang dilengkapi dengan kepekaan mata batin, terlihatlah secara gamblang keramaian dan kegaduhan tempat ini. Hantu Kinanti menempel di punggung Girinata, melingkarkan tangan erat di lehernya. Sundel bolong Marni sang istri dan arwah Dasimah memegangi kedua lengannya menambah erat beban tubuhnya. Selain itu, di setiap sudut rumah dan ruangan, pocong lusuh beragam bentuk, kuntilanak beragam wajah dan jin serta siluman beragam gaya berhamburan terhampar merayap di dinding, mengesot di lantai dan mengambang di udara. Mereka terkikik, mendesah, melenguh, mengeluh, menangis, berteriak serta menggeram. Aura gelap hitam kental mengambang di atmosfir rumah megah nan tak terurus di Dusun Pon tersebut.

Girinata dinyatakan sebagai seorang laki-laki setengah baya yang gila. Anak perempuan dan istrinya hilang, anggap saja pergi meninggalkannya, minggat. Hampir separuh warga dusun padahal mengerti bahwa Marni dan Wardhani terlibat semacam lingkaran sihir di sekitar kehidupan mereka. Entah Girinata menjadikan mereka tumbal, atau anak istrinya itu yang menjadikan suami dan bapak mereka korban. Tapi warga dusun lebih baik menerima kenyataan bahwa Girinata menjadi tak waras. Lebih gampang. Toh, dusun mereka kini telah terbuka dan mulai menunjukkan kemajuan sejak insiden perusakan lima benda keramat yang disebut Pancajiwa di empat tempat berbeda di Dusun Pon beberapa waktu yang lalu.

Kejadian vandalisme dan tidak hormat itu menyumbangkan korban nyawa yang tidak sedikit, namun setelahnya, warga Dusun Pon sudah tidak terlalu sering membahasnya lagi. Kini tempat ini perlahan melupakan kejadian masa lampau dan terus maju demi perkembangan.

Warga yang masih kasihan dengan Girinata - jumlahnya cukup banyak - setiap hari selalu mampir ke rumah besar itu untuk meletakkan makanan. Girinata akan berjalan bungkuk perlahan untuk mengoret-ngoret makanan yang diberikan, sekadar sebagai respon perutnya yang kelaparan. Esok harinya dengan kesadaran pribadi, warga datang, membersihkan sisa-sisa makanan dan kadang menyapu beberapa bagian di rumah itu agar tidak terlalu lusuh dan kotor.

Tetapi Girinata hampir selalu ada di dalam dunianya, sebuah dimensi yang menyerap jiwa dan raganya. Maka dari itu, hari ini, malam ini, mendadak ia tersenyum. Mata batinnya menerobos lapisan dunia gaib. Wardhani telah menemukan inangnya. Ia sengaja mengambil perempuan bernama Saridewi itu bukan tanpa alasan. Rambut kemerahan dan kulit putihnya seakan mengingatkan akan sang kakak, Kinanti, yang mengambil bentuk kuntilanak berambut kasar kemerahan oleh tanah.

***

Soemantri Soekrasana terkejut setengah mampus ketika wajah kuntilanak merah berada tepat di depan wajahnya. "Bangsat, sundal! Apa maumu kali ini?!" sumpah serapah Soemantri Soekrasana.

Ia sedang terlentang membaringkan tubuh di atas tempat tidur kamar sebuah penginapan murah ketika Chandranaya, sang kuntilanak merah, mengambang di atas tubuhnya. Kedua matanya hampir seluruhnya merah oleh darah. Rambut setengah disanggul dan setengah acak-acakannya beterbangan, seakan melawan gravitasi bumi. Ia sedang tersenyum lebar mengerikan dan menatap tajam sang dukun muda.

Bagaimana Soemantri Soekrasana tidak terkejut dibuatnya? Kuntilanak merah itu selalu saja berkomunikasi dengan cara yang masih sama sekali tidak pemuda itu pahami, padahal entah sudah berapa lama ia dikutuk untuk ditempeli arwah perempuan berkebaya merah itu.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang