Anarghya Widagda

268 35 0
                                    

Anarghya Widagda memandang ternganga ke arah apa yang sudah terjadi di rumahnya yang sejatinya dikontrakkan kepada dua orang pemuda bernama Juned dan Waluyo itu. Jauh sebelum warga berdatangan bagai semut mengerubungi gula, ia sudah menjadi saksi kejadian yang nyata mengerikannya tersebut.

Anarghya Widagda bukan seorang laki-laki yang suci nan polos dalam perihal kejahatan, bahkan ia kembali ke rumah miliknya yang dikontrakkan ini setelah sekian lama dengan sembunyi-sembunyi karena lari dari sebuah tindakan kriminal yang ia lakukan sebelumnya. Tapi tetap saja, demi menyaksikan apa yang tersaji di depan matanya bukanlah perkara gampang dan mudah dicerna.

Dua jasad bergelimpangan di rumahnya. Keduanya sama-sama terlepas kepala dari tubuhnya. Satu di pelataran depan rumahnya, satunya lagi mengotori lantai rumah kontrakannya dengan darah yang menggelegak mengalir keluar terus dari lehernya yang telah putus.

Dalam keadaan hidup saja Anarghya Widagda tak hapal mana Juned mana Waluyo, apalagi dalam bentuk yang hancur begini.

Entah didorong perasaan macam apa, pandangan Anarghya Widagda sejak sampai di rumah miliknya yang dikontrakkan ini langsung terpaku pada tangan kedua jasad yang memegang suatu benda. Maka, setelah masuk ke dalam rumah, ia merasakan desakan aneh untuk membuka genggaman mayat itu. Pada mayat yang ada di dalam, ia menemukan secarik kain kuning lusuh, sedangkan di luar, ia menemukan beberapa pecahan material seperti batu. Kedua benda itu ia kantongi kemudian ia langsung berlari keluar area rumah kontrakan miliknya sendiri itu yang dikungkung rumah-rumah lain ketika ia mendengar suara orang berdatangan.

Anarghya Widagda bersembunyi di balik pepohonan pisang yang menyempil di sisi sudut dinding rumah yang berhimpitan padat itu. Ia bingung sekali sebenarnya, tak benar-benar tahu apa yang harus ia lakukan. Bahkan, bersembunyi di tempat ini adalah sebuah tindakan yang konyol. Mungkin hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit untuk para warga menemukannya. Lagipula, ia sendiri bingung untuk apa ia bersembunyi.

Ah, selain karena ia sedang lari dari sebuah permasalahan di luar sana, ia juga tak mau terlibat apapun mengenai hal ini. Belum lagi ketika para polisi kelak kemungkinan besar akan meminta keterangan pada dirinya selaku pemilik rumah kontrakan ini dan sekigus sebagai saksi pertama yang hadir di tempat kejadian perkara. Padahal, ia sedang menghindari polisi sejauh mungkin.

Pohon pisang yang menghimpitnya itu tak benar-benar menutupi tubuhnya walau memang jalan di dekat tempat ia bersembunyi hanya diterangi lampu jalan yang redup dan remang-remang.

Tangan kanannya bergetar pelan, tidak seperti dulu lagi. Memang ketika sedang dalam keadaan yang melibatkan emosinya yang berlebihan, Anarghya Widagda hampir selalu merasakan penyakit itu kambuh kembali, tangan kanan yang bergetar. Ketika ia sedang marah, takut, tegang, resah dan bahkan dibakar berahi, jantungnya memompa darah lebih cepat dan tangannya bergetar hebat.

Namun, sekarang tak begitu sama lagi. Tangan kanannya memang masih kerap kumat, namun tak lagi sebegitu jahat sehingga ia masih bisa rehat.

Anarghya Widagda mendadak tersentak. Bulu kuduknya meremang. Ia menggenggam tangan kanannya yang seakan hendak bergetar berontak menggila lagi. Jantungnya berpacu begitu cepat sedangkan kedua matanya membelalak lebar.

Ada sosok perempuan berdiri memandang lurus ke matanya, menembus pepohonan pisang dimana ia bersembunyi. Sosok itu berdiri tegak dengan rambut panjangnya jatuh tergerai begitu saja. Beberapa helai menutupi sebagian sebelah matanya. Remang-remang cahaya lampu tidak mampu menyinari sosoknya yang mengenakan pakaian putih sepanjang lutut.

"Hei, kau Widagda, bukan? Sedang apa kau disana?" sang sosok berbicara pelan, setengah berisik.

Anarghya Widagda terhenyak. Otaknya masih mengumpulkan kesadaran atas kenyataan ini. Ia tak bisa menjawab apa-apa.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang