Memekat

81 12 0
                                    

Wajah berkerut Pramudi semakin mengkerut melihat tubuh tak bernyawa sang adik tercinta terlentang di depan matanya. Para pemuda bawahannya yang sudah berkurang jumlahnya, hadir dengan membawa berita buruk yang menyerang rasa sang tua. Amarah dan kesedihan tidak sudi berbagi tempat dan ruang di dalam hati Pramudi. Keduanya bertempur, bergolak di saat yang sama, saling bergelut dalam kemelut, saling serang dan berperang, berlomba-lomba menjadi yang utama. Pramudi menangis dalam geram, sedih dan pedih dalam angkara dan murka.

“Bajingan! Bangsat! Bedebah! Anjing kudis semua! Bagaimana bisa kalian membuat adikku jadi mayat seperti ini? Dimana otak kalian yang seperti kotoran anjing itu?” seru Pramudi. Suaranya tidak menggelegar seperti seorang tokoh antagonis di dalam sinema-sinema murahan dengan stereotip yang sama kacangannya. Rasa sakit dan pilu meniti di tepi larik-larik kata-katanya yang penuh caci maki tersebut: pelan, penuh tekanan, tetapi sama sekali tanpa harapan.

Para pemuda yang tersisa menunduk bagai anak-anak kucing yang basah, kedinginan, serta kelaparan. Kemarahan orang yang paling mereka taati dan hormati itu sudah jelas tak mungkin mereka hindari. “Tiga teman kita juga tewas, Pakde,” ujar salah satu pemuda memberanikan diri. “Kami sungguh tak menyangka Kuranji selihai itu. Pakde Darmadi juga awalnya mengatakan bahwa ia ragu bahwa Kuranji masih dapat hidup di dalam sana. Ketika mendapati bahwa benar bahwa Kuranji belum mati, Pakde Darmadi yang memutuskan untuk membunuh Kuranji dengan tangannya sendiri. Tapi ….”

“Jangan salahkan adikku! Kalian sama bodohnya dengan dia!” ujar Pramudi memandang nanar pada jasad adiknya tersebut. Ia menghela nafas panjang, kemudian menatap tajam kepada para pemuda. “Jangan katakan kepadaku bahwa semua perintahku kalian gagalkan.”

“Ehm … kami memang tidak berhasil membawa Nala kemari dan membunuh Kuranji. Tapi … eh … teman kita yang tewas memutuskan untuk membunuh Nala saja langsung dibanding kerepotan menyeretnya,” ujar sang pemuda sembari memberikan sebilah parang kepada Pramudi. “Nala terluka. Ia selamat, tetapi kami mendapatkan darahnya di parang ini, Pakde.”

Pramudi menghapus air matanya yang mengalir lemah. Ia mengambil parang dengan lelehan darah Nala Turasih di ujung bilahnya yang hampir kering tersebut kemudian menjilatnya. “Kita tetap akan lakukan upacara itu. Darah Nala Turasih di parang ini sudah lebih dari cukup,” ujarnya lebih kepada diri sendiri. Pramudi kemudian memandang ke arah sang adik, menunduk dan mengelus kening dan rambut saudara laki-lakinya yang telah menjadi mayat itu. “Kita akan segera bertemu. Mungkin keadaan sedikit berbeda, tetapi aku tetap harus melaksanakannya. Aku menyesal tak bisa menjagamu dengan baik. Aku menyesal kita tak bisa menikmati semuanya bersama-sama. Aku harap kau tak marah, le. Mungkin nasib kita memang berbeda dan disinilah jodoh kita terputus. Kau dengan kedunguanmu itu memang terpaksa membawamu selesai sebelum mencapai garis akhir. Tapi, aku bersumpah akan memenggal kepala Kuranji sendiri dengan tanganku.”

Pramudi dengan tubuh tuanya kemudian berdiri ke arah makam Sadali Pandega dan Sudarmi. Di depan bangunan serupa candi ia menyobek kulit jempolnya dengan parang yang terkena lelehan darah Nala Turasih. Darahnya dan darah Nala Turasih kini membaur. Pramudi menggesekkan ujung bilah parang berdarah itu ke bebungaan beragam jenis, sesajen, dan kertas-kertas mantra. Sebentar saja ia telah khusuk membaca rapalan. Para pemuda meletakkan parang dan senjata tajam mereka kemudian bergabung dengan Pramudi, duduk bersila mengitari bangunan candi dan Pramudi di tengah-tengahnya.

Kabut yang merayap bergerak perlahan bagai ribuan kadal yang melata di atas tanah. Angin yang gerah semakin terasa membakar. Rumah milik Sadali Pandega bergemeretak meski tak sanggup lagi bergerak. Namun yang jelas ada benang-benang gaib yang menyambungkan aktifitas sihir diantara keduanya.

Rapalan mantra dibaca bersama-sama, lamat-lamat semakin membulat, semakin nyaring dan keras, riuh dan lantang. Kepingan suara tersebut menyebar di angkasa, berpendar dan tersebar di seluruh makam, memayunginya seperti awan gelap sebelum hujan.

Sosok agung Nyi Blorong keluar dari sebuah lorong, hitam kelam. Jarit hijaunya memenuhi udara, berkelim-kelim seperti bagian dari kabut. Ekor ular raksasa membelit nisan, sedangkan tubuh berlekuk indah manusianya berdiri tegak di hadapan para abdinya. Sepasang cembungan sepasang dadanya yang tegak menantang ditututpi belitan selendang senada jarit dan ekor ularnya. Rambut panjang sang ratu terurai tersibak oleh angin dan memantulkan warna kemerahan oleh cahaya bulan yang miskin karena tertahan helaian kabut.

 Rambut panjang sang ratu terurai tersibak oleh angin dan memantulkan warna kemerahan oleh cahaya bulan yang miskin karena tertahan helaian kabut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pramudi meratakan dirinya dengan tanah menyembah, begitu pula dengan para pemuda yang bertelanjang dada.

“Ampun, tuan putri penguasa dunia gaib dari Laut Selatan. Hamba sudah menepati janji, mengikuti kehendak tuan ratu sampai hari ini. Darmadi, saudara hamba, abdi tuan putri yang lain, telah tewas oleh Kuranji. Masihkan hamba diberikan kesempatan untuk membalas dendam ini sebelum keagungan tuan ratu menunjukkan diri?” mohon Pramudi.

Nyi Blorong tersenyum. Ia suka sekali dengan permainan ini. “Kuranji dan Nala Turasih belum keluar dari tanah Obong, Pramudi. Aku masih bisa mengirimkan abdi-abdiku untuk mencegah mereka,” ujar sang ratu pendek.

Pramudi mengangguk keras-keras tanda setuju. Ia berserah diri sepenuhnya pada sang ratu penguasa. Ia percaya dengan apa yang akan dilakukan oleh tuannya itu. Segala hidup, jiwa dan nyawanya sudah seluruhnya ditimpakan kepada Nyi Blorong. Sekarang adalah penghujung puncak dari kehidupan baru Pramudi dan sang ratu telah mau bermurah hati.

Pak Kuranji di lengkung ruang yang lain merasakan mobil yang ia kendarai bergetar hebat karena ia pacu dengan kecepatan yang tidak biasa. Berkali-kali ke desa ini sejak dahulu, ia selalu memelankan laju mobil. Jalan yang juga sudah bertahun-tahun tak pernah ada perbaikan tersebut memang tidak nyaman dilalui dengan kendaraan yang dipacu cepat.

Namun, khusus untuk hari ini, lubang besar di jalan pun akan ia sikat.

Kegelapan semakin memekat, tak lagi memikat. Sedangkan hawa gaib terus-terusan mendekat dalam bentuk serat-serat.

Jembatan baja di depan mereka sudah terlihat. Latar belakang kabut putih malah membuat jembatan yang hitam itu bagai sebuah lukisan di frame malam.

“Sebentar, dek Nala. Sedikit lagi kita akan meninggalkan desa Obong. Kita akan segera mencari tempat untuk merawat lukamu itu. Kamu dengar aku, dek Nala?” ujar Pak Kuranji memastikan.

Nala Turasih duduk melengkung di bangku belakang. Wajahnya pucat dan darah menghilang dari bibir tipisnya, tetapi sepasang matanya yang sayu mengirimkan tanda kewarasan dan kesadaran yang sempurna kepada Pak Kuranji. “Aku lemas, bang Kuranji,” jawab Nala Turasih pendek.

Pak Kuranji menginjak pedal gas semakin dalam. Mobil pinjaman dari Pak Musa itu terlonjang-lonjak di jalan tak rata, melemparkan kerikil, pecahan aspal dan bebatuan ke samping jalan serta meninggalkan debu yang menyaru dengan kabut. Jembatan baja hitam yang dibangun pada masa penjajahan puluhan tahun silam itu semakin terlihat membesar, tanda Pak Kuranji telah semakin dekat. Dekat dengan kebebasan dan penyelamatan, pikir Pak Kuranji. Meski jauh di dalam hatinya, ia tak pernah bisa selalu percaya dengan sesuatu yang belum benar-benar terjadi. Pengalamannya memahatkan pemahaman bahwa ia harus selalu siap dengan segala kemungkinan yang merebak dari satu kejadian ke kejadian yang lain, subur bagai jamur di musim penghujan.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang