Teken

153 20 0
                                    

Lingga Ardiman kembali datang ke rumah besar sang juragan keesokan harinya. Seperti biasa, ia memerlukan teken dari ayah Nala Turasih itu demi kepentingan dokumen dan kebijakan perusahaan.

Suasana dan perasaan sang pemuda itu tentu sudah sama sekali berubah. Biasanya, ia hanya perlu datang, bertemu sang juragan sewaktu ia masih belum terlalu dalam keadaan sakit parah, meminta tanda tangan dan mengobrol sedikit. Sewaktu sang tuan sudah menunjukkan penurunan kesehatan pun, Lingga Ardiman sekadar masuk ke kamar dan melaksanakan urusannya. Memang, kerap kali ia menunggu kehadiran sang anak gadis agar bisa melihat dan syukur-syukur bisa bercakap-cakap dengannya. Lebih sering, sang gadis tak terlihat, mungkin belum pulang sekolah, atau ada di dalam rumahnya yang besar itu.

Namun, sekarang, detak jantungnya berpacu cepat oleh semangat. Ia tak paham dengan baik apa yang sudah terjadi pada dirinya semalam. Otaknya dipenuhi pelangi dan bunga berwarna-warni. Sama seperti ketika ia sedang dalam pengaruh obat-obatan. Terbang, melayang, merenggang, menegang, membayang, atau bergoyang-goyang. Yang jelas semua terasa berbeda.

Lingga Ardiman mengetuk pintu kamar sang tuan sebagai formalitas saja karena ia tahu majikannya itu tak mampu menjawab dengan baik, apalagi berdiri dari tempat tidurnya untuk membukakan pintu.

Ayah dari Nala Turasih sejatinya belum terlalu tua. Ia masih berusia lima puluhan, belum belum genap enam puluh tahun. Memang rambutnya telah memutih di beberapa bagian, dan kerutan di wajahnya juga telah terlukis. Namun, saat ini dengan dirinya terbaring di tempat tidur, membuatnya terlihat jauh lebih tua dari usianya yang sebenarnya.

Tubuh laki-laki pemilik perusahaan tebu itu kurus dan menekuk seakan tenggelam ke dalam kasur. Rambutnya sedikit panjang dan acak-acakan karena terlalu lama sakit sehingga tak sempat terlalu diurus apalagi dipangkas. Biasanya, sang istri, ibu dari Tasmirah dan Nala Turasih yang usianya sedikit lebih muda saja dari suaminya itu datang memeriksa keadaan. Namun, Lingga Ardiman jarang bertemu dengan nyonya rumah itu di jam-jam seperti ini walau dipastikan kamar ini adalah kamar mereka berdua. Maka ia terlonjak ketika melihat sesosok perempuan duduk di samping tempat tidur tuannya.

"Ah, maaf, bu. Saya tidak tahu ada ibu di dalam kamar, jadi saya langsung masuk saja," ujar sang pemuda sungguh gugup.

"Tidak apa-apa, Lingga. Masuk saja," balas sang wanita. Perempuan itu sudah dipastikan adalah istri sang tuan. Di umurnya yang kelimapuluhan tahun itu pula, ia masih terlihat cantik. Tak heran Nala Turasih menurunkan gurat-gurat kemiripan di wajah perempuan itu.

Tidak ada yang terlalu istimewa, berbeda bahkan aneh apalagi mengerikan dengan kamar tersebut. Seperti layaknya kamar tidur seorang pemilik perusahaan besar, tentu kamar ayah Nala Turasih itu cukup luas dan rapih. Perabotan seperti tempat tidur, lemari pakaian dan meja juga bagus dan mewah. Pencahayaan ruangan juga sangat baik sehingga Lingga Ardiman dapat melihat sang tuan yang masih berbaring dengan jelas. Lelaki yang sedang sakit itu memandang Lingga Ardiman dengan tatapan nanar. Tangannya terangkat memberikan tanda agar Lingga Ardiman mendekat.

Sang pemuda bergegas mempersiapkan berkas-berkas dan sebuah pena bagi sang tuan agar menandatanganinya. Ia mendekat dengan tergopoh-gopoh.

Sembari menunggu tuannya menyelesaikan penekenan lembar demi lembar, ia melirik sembunyi-sembunyi ke arah sang ibu majikan. Perempuan itu duduk dengan anggun dengan rambut digelung ala kadarnya. Pandangannya tertuju ke depan, entah ke arah mana, membuat Lingga Ardiman tidak mengetahui apa yang sedang bergejolak di dalam hati istri tuannya itu.

"Terimakasih, Pak. Saya permisi dulu," ujar Lingga Ardiman pendek setelah atasannya itu menyelesaikan tanda tangan beberapa berkas dengan sedikit usaha yang lebih besar dibanding hari-hari sebelumnya. Ayah Nala Turasih yang terbaring dengan pandangan mata kuyu dan lesu itu mengangguk ke arahnya.

"Mari, Bu. Saya permisi dulu," tak lupa ia berpamitan dengan puan majikannya, menundukkan kepalanya mencoba sesopan mungkin.

Senyum perempuan itu membayang di pikiran Lingga Ardiman sambil menemaninya keluar dari ruangan tersebut.

Nala Turasih berdiri di depan Lingga Ardiman tepat ketika sang pegawai tersebut berbalik setelah menutup pintu ruangan majikannya itu. Hampir saja ia terlonjak kaget mendapati sang gadis berada di belakangnya.

"Dek Nala!" seru Lingga Ardiman tertahan.

"Aduh, mas Lingga kok kagetan, sih. Dari kemarin terkejut terus pas ketemu aku," ujar Nala Turasih. Sama seperti hari sebelumnya, gadis itu mengenakan busana terusan yang jatuh luwes di tubuhnya yang berlekuk indah.

Lingga Ardiman tidak menyangka akan bertemu gadis itu hari ini. Perasaan atas apapun yang terjadi semalam masih membayang dan mengambang di udara di sekitarnya.

"Anu, anu, dek Nala. Mas kaget ketemu dek Nala lagi disini," ucap Lingga Ardiman. Dadanya masih bergemuruh dengan semangat yang ia tak tahu asal-usulnya, apalagi sang gadis ayu itu berada tepat di depannya.

"Ih, mas Lingga. Ini kan rumahku. Ya jelas mas bisa ketemu aku di sini," balas Nala Turasih.

Lingga Ardiman meringis, paham bahwa alasan terkejutannya terdengar tak masuk akal. Ia tak melanjutkan untuk melogikakan apapun yang telah ia utarakan tadi.

"Lho, kok malah diam, mas. Bengong lagi. Masih kecapekan seperti kemarin, ya?" tanya Nala Turasih demi melihat tak ada reaksi dari Lingga Ardiman.

Sang pemuda lagi-lagi sudah kebingungan untuk mencari jawaban berlandaskan alasan yang dibuat-buat. Ia semakin meringis.

"Ya sudah. Ayo, aku bikinkan teh lagi, mas. Mas akhir-akhir ini sering pulang kesorean dan harus ke rumahku buat minta tanda tangan bapak. Itu karena bapak sedang sering sakit-sakitan, 'kan mas?" ujar Nala Turasih.

Melihat Lingga Ardiman masih terdiam tak menjawab atau bereaksi, sang gadis menghela nafas. "Mas Lingga sibuk, ya? Atau capek? Kalau tidak sempat atau tidak mau juga tidak apa-apa kok, mas."

"Oh, tidak, dek Nala. Mas tidak sibuk. Malah tidak ada rencana apa-apa kalau pulang ke kos," akhirnya Lingga Ardiman mampu menjawab. Rasa-rasanya ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali bersama sang gadis. Kali ini bahkan ia sedang dalam kondisi yang begitu baik. Tidak seperti kemarin dimana kepalanya begitu pusing dan badannya lemas. Hari ini, tubuhnya prima meski jantungnya berdegup kencang.

"Ayo, ikut aku kalau begitu, mas Lingga," ujar sang gadis. Ia tersenyum kemudian dengan ringannya meraih tangan Lingga Ardiman dan menggandengnya.

Sang pemuda menurut berjalan di belakang sosok gadis muda itu seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Laki-laki itu tak akan peduli lagi dengan apapun. Waktu dan ruang tak bermakna bagi dirinya yang telah menjadi umat pemuja keindahan yang saat ini sedang menarik lengannya terus memasuki gelora pesona.

Lingga Ardiman tak mengetahui bahwa lantai rumah yang ia injak bergeser perlahan secara gaib. Dinding-dinding kembang kempis, melebar mengerut secara ajaib ketika ia meninggalkan ruangan ayah Nala Turasih.

Sang pemuda juga tak menyadari bahwa ada sosok gadis yang berjalan ke arah tadi ia berada. Gadis itu heran melihat kepergian Lingga Ardiman masuk ke dalam rumah entah kemana, sendirian.

Sang gadis muda itu mengenakan pakaian terusan yang jatuh lembut di tubuhnya yang molek. Rambutnya masih basah sehabis keramas tadi, setelah ia mandi sepulang sekolah. Ia masih saja memandangi kepergian Lingga Ardiman dengan kening yang mengernyit.

"Kemana sih, mas Lingga? Apa bapak yang memintanya ke dalam rumah?" batin Nala Turasih. Ia mengangkat kedua bahunya, menyerah untuk berpikir mengenai jawaban atas pertanyaannya sendiri. Ia mengetuk pintu kamar kedua orang tuanya dan masuk ke dalam.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang