Sosok Astral

87 14 0
                                    

Pak Kuranji sama sekali tidak pernah menyangka bahwa rumah ini memiliki sudut yang begitu memukau. Di lantai paling atas, di depan sebuah ruangan, terdapat pelataran lapang dengan tanaman hias di tepian dan kursi meja di tengahnya. Dari sini, Pak Kuranji dapat melihat seluruh penjuru desa Obong.

Rumah mendiang mertuanya itu didirikan di kaki bukit yang menanjak ke arah pegunungan. rumah-rumah warga, perkebunan dan persawahan, serta aliran sungai Pratama cukup jelas terlihat bagai berada di dalam sebuah frame lukisan.

Angin membelai wajah Pak Kuraji yang dihiasi rambut-rambut kasar setelah beberapa hari belum sempat ia cukur. Gemerisik merdu juga terdengar dari pepohonan dan tanaman hias di sekeliling pelataran tersebut karena digoyang oleh hembusan angin yang sama-sama menggelinding dari pegunungan.

Pak Kuranji menghela nafas panjang, menutup matanya dan tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa saat ini adalah saat yang begitu menenangkan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kekalutan.

Nala Turasih berdiri di samping Pak kuranji. Rambutnya yang panjang sedang berkibaran dibelai oleh angin. "Benar kataku, 'kan, bang? Aku bisa seharian di atas sini bila sedang tidak ada pekerjaan," ujarnya.

Pak Kuranji memasukkan kedua tangannya di kantong celananya, kemudian berkata tanpa memalingkan mukanya, "Dek Nala. Aku tidak bermaksud untuk merusak suasana menyenangkan ini. Memang, aku setuju, lantai teratas dari rumah ini adalah yang terbaik. Aku merasa aman dan nyaman, sangat berkebalikan dengan ketika kita berada di bawah, berjalan menyusuri lorong atau memasuki ruangan. Rumah ini panas. Tapi tidak diatas."

Pak Kuranji kemudian berpaling menghadap Nala Turasih. Wajah sang gadis yang cerita perlahan menjadi sedikit sendu. Sepasang matanya sayu ketika beradu dengan tatapan Pak Kuranji. "Apa masih ada hal yang masih belum kamu ceritakan, Dek Nala? Ada yang penting yang perlu aku dengar agar bisa membantu kamu?" tanya Pak Kuranji dengan suara yang dibuat selembut mungkin.

"Aku tidak yakin apa saja sebenarnya yang tidak aku ceritakan kepada abang. Aku sendiri tidak paham dengan hidupku, bang. Abang bisa bayangkan bahwa orang-orang yang pernah dekat denganku, yang pernah berpacaran denganku, mendadak meninggal. Seakan-akan semesta tidak memberikanku seseorang yang pantas untuk dimiliki," ujar Nala Turasih.

Pak Kuranji memicingkan matanya. Ia sedang berpikir keras. "Maksud kamu, pacar-pacar kamu, dek Nala?"

Nala Turasih mengangguk pelan, sedikit malu tetapi getir.

Pak Kuranji hendak membahas lebih jauh dan mengorek informasi lain yang mungkin masih terbenam terlalu dalam di pikiran Nala Turasih ketika ia melihat angin yang berhembus membawa serta helaian kabut, turun dari pegunungan.

Pak Kuranji melihat lengannya, tetapi baru sadar bahwa ia tidak mengenakan jam tangan. "Jam berapa sekarang, dek Nala?" tanya Pak Kuranji.

"Entahlah. Mungkin jam duabelas atau satu. Kenapa memangnya, bang?"

Pak Kuranji menengadah dan menatap langit. Awan kelabu, seperti hendak hujan, tetapi cenderung terlihat seperti malam akan datang.

Ia menyusuri tepian lantai tiga tersebut dan melihat bahwa lantai pertama telah tertutup kabut. Mereka sekarang seperti sedang berada di atas sebuah kapal yang mengapung di lautan.

"Aneh, kabut apa ini sebenarnya?" gumamnya.

Sekali lagi, kepekaan Pak Kuranji diuji. Hari ini sepertinya bakal ada badai menggelung yang bergulung-gulung menerpa desa Obong. Ia masih tak tahu apa dan bagaimana sebenarnya ketika Nala Turasih kembali menyentuh lengan dan menggandengnya lembut. "Sekarang apa yang sebenarnya abang Kuranji pikirkan mengenai aku? Apakah abang setuju bahwa aku adalah seorang perempuan binal dan nakal sama seperti apa yang pernah ibu katakan? Mengingat ... ehm ... mengingat aku beberapa kali pernah ... pernah berbuat tak senonoh di rumah ini," ujarnya semakin memelan.

Pak Kuranji melepaskan rengkuhan lengan Nala Turasih. Ia berbalik menghadap gadis itu kemudian memegang kedua bahu ramping sang gadis erat. "Lihat aku, dek Nala. Lihat abangmu ini!" seru Pak Kuranji tertahan. "Jangan pernah berpikir seperti itu! Tidak ada seorangpun yang bersih suci tanpa noda di dunia ini. Bila mereka tidak berbuat bejat, mereka mungkin melakukan hal buruk lainnya. Mereka mungkin tidak melakukan hal-hal cabul, tapi bisa saja memikirkannya sepanjang waktu," ujar Pak Kuranji tegas, meski ada rasa malu yang menggelayut kuat di jiwanya: seorang laki-laki munafik, pikirnya sendiri.

"Aku tidak merasa kamu seperti yang mendiang ibumu katakan. Tidak masalah bila kamu pernah melakukan hal buruk atau hal yang tidak kamu banggakan. Semua orang memiliki sisi gelap mereka sendiri. Lagipula ..., ehm ..., mendiang ibumu seperti yang kamu ceritakan, memiliki masalah yang tidak kita pahami. Entah beban atau sejarah apa yang ia miliki di masa lalu. Memiliki Tasmirah kecil di saat ia masih sangat muda tanpa suami dan keluarga pasti bukanlah hal yang mudah. Jadi jangan kamu terlalu memasukkan kata-kata mendiang ibu kamu, dek Nala," ujar Pak Kuranji panjang. Kedua tangannya masih menggenggam kedua bahu Nala Turasih dan menatap sepasang mata gadis itu dalam-dalam.

Pak Kuranji sendiri heran mengapa ia bisa begitu bersungguh-sungguh dalam mengatakan semua ini kepada Nala Turasih. Jujur ia keberatan ketika Nala Turasih terlalu menyalahkan dirinya sendiri, menjelek-jelekkan pula. Selama ini, Nala Turasih di depan mata Pak Kuranji tidak hanya menjadi gadis memesona, tetapi juga merupakan sosok yang sopan, baik, cenderung sederhana dan pemalu. Secabul-cabulnya pikirannya, Pak Kuranji tidak bisa menggambarkan gadis itu menggoda para pria dengan cara paling binal yang bisa ia pikirkan.

Nala Turasih menghela nafas. Mimik wajahnya kembali menjadi riang di dalam genggaman kedua lengan kokoh Pak Kuranji. Ia tersenyum. Bibirnya yang memerah tertarik ke samping, meciptakan pesona yang kembali membuat Pak Kuranji lemas. Sang lelaki paruh baya itu langsung melepaskan pegangannya di bahu Nala Turasih kemudian menunduk.

Nala Turasih berhasil menangkap respon malu sang abang ipar. Nala Turasih melihat ini dengan perasaan geli sekaligus gemas. Ia tersentuh dengan perhatian sang abang ipar yang memang sedari awal sesuai dengan pikirannya, yaitu perhatian, dapat dipercaya dan dapat diandalkan.

"Abang sudah lapar?" ujar Nala Turasih tiba-tiba. Ia ingin memecahkan kondisi tidak enak yang melanda Pak Kuranji.

"Ayo bang, kita makan dulu. Tadi aku masak sebentar. Kita lanjutkan ngobrol-ngobrolnya nanti lagi," ujar Nala Turasih tanpa menunggu jawaban Pak Kuranji.

Yang ditawari mengangkat wajahnya, memandang wajah Nala Turasih yang tersenyum sumringah nan ayu, kemudian mengangguk.

Selagi keduanya kembali berjalan bersama turun ke lantai bawah, rumah itu kembali bergerak-gerak berubah-ubah. Beberapa pemuda desa yang mengamati bangunan itu dari jauh telah melihat bahwa rumah yang dibangun Sadali Pendega itu telah berubah bentuk. Atap dan dindingnya bergeser-geser menciptakan semacam semacam bangunan yang sama sekali berbeda. Tentu ini tanpa disadari oleh Nala Turasih dan Pak Kuranji.

Selain itu, sosok-sosok astral memunculkan diri berenang-renang di permukaan kabut atau di lipatannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selain itu, sosok-sosok astral memunculkan diri berenang-renang di permukaan kabut atau di lipatannya. Kesemuanya sedang menunggu perintah dari sang agung yang siap menggenapi janjinya.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang