Tipu Muslihat

194 22 0
                                    

Selain Pak Kuranji yang paruh baya itu, ada lima bapak-bapak seumuran lainnya yang kini sudah berada di dalam rumah Bhanurasmi sang janda. Ada Pak Musa, Pak Mustofa, Pak Braja, Pak Martin dan Pak Harimukti Sulaiman yang paling muda diantara mereka, yaitu berusia empat puluh satu tahun.

Surajalu dan Amir Cahya ikut masuk ke dalam rumah Bhanurasmi dengan perasaan berkecamuk bercampur kegamangan dan linglung. Kebiasaan mabuk dan gelek ternyata memang mempengaruhi perilaku dan pikiran mereka pada saat waras sekalipun. Keduanya berdiri menempelkan punggung mereka ke tembok seakan takut kaki-kai mereka tak mampu menopang tubuh.

Bhanurasmi dengan rambutnya yang basah, baju tidur terusan tanpa lengan dan belahan di bagian dada yang lumayan rendah memamerkan sepasang dadanya yang membusung membulat, menciptakan aura pesona yang terlalu kental.

Enam laki-laki yang nafsunya sudah mengalir di nadi separuh abad an itu tak mungkin bisa menampik keistimewaan Bhanurasmi yang dipamerkan dengan tanpa tedeng aling-aling itu. Mereka duduk di kursi ruang tamu yang usang dengan berdempet-dempet, gelisah karena terlalu bersemangat.

"Rasmi, tolong kau ceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Dua anak muda ini mengatakan hal-hal aneh tentang kau. Kau bisa menghilang lah, membunuh orang lah, apa lah. Apa yang sebenarnya terjadi?" Pak Kuranji yang membuka pertanyaan, seperti ia sendiri yang menyatakan bahwa ia adalah wakil sekaligus ketua para rombongan tamu tak diundang ini.

Bhanurasmi duduk menyampingkan kedua kakinya. Wajahnya menunduk, dan kedua lengannya saling menautkan jari-jemarinya di depan. Janda itu memperlihatkan wajah ragu-ragu, takut-takut dan malu-malu.

"Tak apa, Rasmi. Kau bisa katakan semuanya kepada kami. Apa kau takut dengan kedua orang itu?" kali ini Pak Martin yang ikut bertanya. Wajahnya yang dihiasi kumis dan jenggot memberikan tanda merujuk kepada Surajalu dan Amir Cahya.

Bhanurasmi mengangkat wajahnya dan melirik ke setiap wajah para bapak yang duduk berhimpitan di depannya. Kecantikan janda itu semakin menggunung ditambah kerlingan nakalnya.

"Aku tak enak harus mengatakannya, bapak-bapak sekalian," ujar Rasmi pelan. Ia melirik kali ini ke arah kedua pemuda yang berdiri menyender ke dinding.

"Tidak apa-apa. Katakan saja. Jangan khawatir dengan apapun. Kami semua ada disini untuk membantumu. Kami hanya ingin tahu kejadian apa yang terjadi di rumahmu. Bagaimanapun kau adalah warga hunian ini, bukan?" kembali Pak Kuranji meyakinkan Bhanurasmi.

Masih dengan terlihat malu-malu dan agak enggan, Bhanurasmi berkata, "Bapak-bapak melihat pintu rumah ini, 'kan? Itu karena mereka yang mendobraknya tempo hari. Mereka menendang pintu itu sampai lepas, dan ..., dan mereka masuk ke dalam rumah sewaktu aku tak ada di rumah."

"Kurang ajar! Benar itu, heh, Jalu, Amir?" Pak Kuranji berseru dan berdiri saking terkejut dan kesalnya.

"Bukan aku dan Jalu, pak. Itu Yanuar yang melakukannya!" respon Amir Cahya cepat.

"Jadi, memang benar kalian datang kesini dan merusak pintu rumah orang?"  Pak Musa, pria paruh baya yang terlihat masih terbilang cukup fit untuk orang seusianya, ikut berdiri dan menuding-nuding ke arah kedua pemuda tersebut.

"Benar, benar ..., tapi bukan aku dan Jalu. Itupun kami mendapatkan hal mencurigakan di dalam rumah ini. Ada barang-barang laki-laki disini."

"Mungkin kalian lupa, mendiang Jati suamiku dan teman kalian yang belum lama dikubur juga adalah seorang laki-laki. Rumah ini penuh dengan pakaian dan benda-benda milik laki-laki," ujar Bhanurasmi dingin.

"Kalian dengar itu? Sekarang, mana teman-teman kalian itu? Koswara, Yanuar, ... siapa lagi itu, Agah, 'kan?" lanjut Pak Musa kini mulai tampak geram.

"Bapak-bapak tidak mendengar apa yang kami bilang? Mereka semua mati, Pak. Rasmi, perempuan itu yang membunuh mereka dengan keji. Ia punya ilmu sihir," seru Amir Cahya.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang