Makna

143 16 0
                                    

Pak Kuranji tak mau berdusta pada diri sendiri. Ketertarikannya pada adik istrinya dari lain bapak itu pastilah bersifat berahi semata. Ia tidak menyangkal hasrat yang masih menyala-nyala pada kemolekan tubuh seorang perempuan. Itu juga terjadi ketika ia melihat janda Bhanurasmi.

Sudah dua tahun Pak Kuranji tersiksa oleh pesona sang adik ipar yang menerpanya bagai ombak menghempas batu karang, terus-menerus menggerus. Pemandangan indah tubuh sang adik ipar di waktu lalu yang tanpa sengaja itu ternyata memang tak bisa berulang. Sebesar apapun ia berusaha mencoba mencari celah dalam kesempatan dalam kesempitan, Nala Turasih tak memberikannya barang setitik pun kenikmatan yang lama dinantinya itu.

Sempat Pak Kuranji putus asa dan merenung kembali memikirkan niatan bejatnya itu. Jangan-jangan memang karena ia memiliki niat buruk, makanya ia tak mendapatkannya. Begitu pikirnya. Jadi, ia mengurangi secara drastis usahanya mendapatkan kesempatan mendekati atau dengan Nala Turasih dalam ruangan atau tempat yang sama. Keinginannya mendekati sang gadis pupus.

Pak Kuranji memang mengakui bahwa ia mengejar pelampiasan nafsunya. Namun walau pikirannya bejat, ngeres, menanti saat yang tepat untuk dapat melihat bagian-bagian tubuh perempuan muda itu terekspos, Pak Kuranji tidak pernah melakukan tindakan fisik yang memaksa, apalagi sampai melecehkan. Tidak ada pembenaran dalam bentuk apapun. Ia memang begitu terpesona pada sang adik ipar.

Anehnya, Nala Turasih juga tak pernah terganggu dengan kehadiran abang iparnya itu. Setiap Pak Kuranji berada di dekatnya, tak pernah ada perasaan risih atau tak nyaman. Nala Turasih memang tak pernah tahu apa yang ada di dalam pikiran lelaki beristri dan beranak dua itu ketika mencoba mencuri pandang ke arahnya, terutama ke arah lekukan-lekukan indah tubuhnya.

Lama-kelamaan bahkan Nala Turasih malah menaruh hormat dan beranggapan bahwa ia memiliki seorang abang ipar yang baik. Tidak hanya bertanggung jawab sebagai seorang kepala rumah tangga, Pak Kuranji dipikirnya juga sangat bisa diandalkan. Tindakan berani dan cekatan abang iparnya itu dalam membekuk dua pemuda yang disangkakan sebagai sumber dari segala kejadian mengerikan di hunian ini seakan telah menjadi contoh utama seberapa bisa diandalkannya Pak Kuranji.

Semenjak dua pemuda hunian tersebut, Surajalu dan Amir Cahya, yang telah diserahkan kepada pihak kepolisian, nama Pak Kuranji dan rekan-rekannya menjadi perbincangan hangat. Tidak saja di seantero hunian, tetapi di perumahan seberang dan kompleks apartemen mewah di atas bukit. Misteri yang selama ini mengambang di atas langit hunian telah terpecahkan, bubrah dan terbongkar. Kasus selesai.

Bhanurasmi dapat hidup dengan tenang seorang diri. Semua orang senang, terlalu senang bahkan. Para pemuda dan para suami kini mendapatkan kesenangan baru untuk memberikan perhatian yang berlebih-lebih pada sang janda tersebut.

Kanigara Gatra muncul di hunian tak berapa lama. Ia diberi pemahaman tentang apa yang terjadi. Pak Musa, Pak Martin, Pak Kuranji, Pak Mustofa, Pak Braja dan tokoh-tokoh yang dituakan di hunian tersebut menceritakan secara detil tentang apa yang terjadi kepada pemuda yang bersandiwara tersebut tanpa mengetahui bahwa semua ini adalah bagian dari rencana besar dan jahat. Tidak ada yang tahu pula bahwa setiap hari, Bhanurasmi dan Kanigara Gatra bercinta di sembarang tempat. Tubuh mereka yang tak terlihat dipacu berahi saling berbagi nafsu syahwat. Sementara hunian kembali tenang.

"Bang Kuranji," sapa Nala Turasih kepada sang abang ipar yang sedang duduk di pekarangan rumahnya di hari Jum'at sore dengan santai sepulang kerja.

Pak Kuranji berbalik, paham sekali dengan suara itu. Ia menahan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat setiap saat melihat gadis itu, tak peduli seberapa seringnya. Nala Turasih berdiri di hadapannya, mengenakan baju terusan yang jatuh lembut di tubuhnya. Sepasang dadanya membusung padat membulat walau pinggangnya kecil melengkung ramping. Wajahnya yang ayu bersinar dengan senyuman kemudaan yang masih menyala-nyala.

"Ya, dek Nala," jawab Pak Kuranji yang syukurnya selalu dapat menyembunyikan gejolak rasa di dalam dadanya yang bergemuruh tak henti itu.

Nala Turasih mendekat kemudian duduk di bangku tepat di depan abang iparnya itu. "Bang. Boleh aku minta bantuan?" ujar gadis itu pendek. Sepasang mata indah itu menatap Pak Kuranji sendu.

"Ya, dek Nala. Apa yang bisa abang bantu?"

"Setelah berbagai kejadian di tempat tinggal kita ini, aku menjadi kangen pulang ke rumah, bang."

Telah bertahun-tahun sejak Nala Turasih memutuskan untuk tinggal bersama mbakyu dan abang iparnya. Namun, ia masih pulang ke rumah lamanya yang besar tetapi tanpa penghuni di kampung halamannya itu. Biasa ia ditemani kakaknya sekeluarga, menyewa mobil barang sehari. Di rumah peninggalan sang mendiang ayahnya itu, ia datang hanya untuk bersih-bersih dan melihat apa yang perlu dibereskan. Sampai sekarang ia masih belum tahu apa yang harus dilakukan dengan rumah tersebut. Biasanya, Nala Turasih akan menginap sehari disana. Rumah besar dengan banyak kamar itu bagaimanapun juga pernah ditinggali oleh sang mbakyu, Tasmirah.

"Kamu mau pulang ke kampung, dek?" Pak Kuranji mengerutkan kening berpikir. "Memang kita sudah lama tidak mengunjungi rumah almarhum bapak. Tapi, mbakyumu sedang tidak enak badan hari ini. Semoga besok dia agak baikan, jadi kita bisa berangkat sama-sama," respon Pak Kuranji.

Senyum cantik Nala Turasih perlahan memudar, meski tidak menghilang secara mendadak. Pak Kuranji dapat menangkap perubahan mimik muka sang adik ipar. "Ah, kamu sudah benar rindu rumah itu, ya, dek?"

Nala Turasih mengangguk pelan, kemudian menunduk sungkan. Beberapa helai rambutnya jatuh menutupi wajah.

Pak Kuranji menghela nafas. Gabungan antara rasa kasihan dan keterpesonaan.

"Tolong antar adikku, Pak," suara Tasmirah terdengar. Istri Pak Kuranji muncul dari dalam rumah. Ia berbalut pakaian tebal. Nampaknya penyakitnya membuat penampilannya menjadi lebih tua dari seharusnya.

"Lho, kok malah keluar, Bu. Istirahat saja di dalam." Pak Kuranji berdiri menyambut istrinya.

"Bapak pinjam mobil Pak Musa saja barang sehari dua. Aku biar di rumah. Anak-anakmu harus ada yang urus. Tetangga kita juga bisa membantu. Kasihan Nala. Dia sudah kangen pulang sejak lama. Aku tahu sekali sifat adikku itu," ujar Tasmirah sembari tersenyum lemah ke arah adiknya.

"Mbak. Bukan begitu maksud Nala. Nala tidak bilang harus kapan Nala pulang. Memang Nala sangat rindu dengan kampung dan rumah kita, tapi mbak masih tidak sehat, Nala mana bisa memaksa."

Tasmirah melambai-lambaikan tangannya. "Sudah, sudah. Abangmu ini akan mengantarmu besok. Ya, 'kan, Pak?" ujar Tasmirah melihat ke arah sang suami yang kemudian mengangguk pelan.

"Iya, Bu. Aku akan antar Nala ke kampung. Nanti aku akan menginap di tempat teman kerjaku di perusahaan tebu. Jadi Nala bisa menikmati kerinduannya."

"Ah, kau ini, Pak. Rumah mendiang bapak itu luar biasa besar. Kamarnya saja entah berapa. Temani Nala di rumah itu. Jangan kemana-mana, ya, Pak?" ujar Tasmirah memandang wajah suaminya lekat-lekat. "Ingat, jangan kemana-mana! Temani Nala di rumah sana. Aku cuma demam. Besok juga sudah sembuh. Tapi aku tak mungkin ikut kalian. Aku saja sudah ijin tidak berjualan sampai hari Senin, biar sekalian bisa rehat."

"Mbak Mirah bersungguh-sungguh?" tanya Nala Turasih. Matanya kembali berbinar bahagia.

"Iya, Nala. Tolong bilang apa saja keperluanmu sama abangmu itu. Kau sudah banyak membantu mbak di rumah selama tinggal disini, Nala. Keponakanmu senang denganmu. Kau pun rajin sekali. Setelah kekacauan yang terjadi di hunian ini, mbak sadar betapa sumpeknya hidupmu. Pulanglah ke kampung, titip doa buat mendiang ibu kita dan bapakmu. Tapi, setelah itu, kau kembali kesini, ke rumah ini, ya dik?" ujar Tasmirah.

Nala Turasih tersenyum lebar dan memeluk mbakyunya erat. Di tempat lain, jantung Pak Kuranji berdetak semakin kencang. Ia tak bisa membayangkan memiliki waktu berdua bersama Nala Turasih, berhari-hari pula. Dalam hati ia berharap dengan sangat, bahwa perjalanan mereka ini akan memberikan makna.

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang