Darmajati

257 32 1
                                    

"Aku mau lebih!" seru Dyiwang Awang kepada Juned. Ia memberikan kain kuning yang telah berganti warna tertutup dengan darah miliknya ke tangan sang pemilik.

"Aku mencoba berkali-kali mantra dan rapalan yang kau ajarkan. Awalnya semua berjalan sesuai dengan apa yang aku harapkan. Aku bisa melihat tembus pandang. Aku juga bisa menghilang sehingga bisa menyelinap masuk ke kamar tidur Dyah Suhita. Tapi tak berapa lama ilmu menghilang itu perlahan luntur. Kucuran darah dari telunjukku menetes di depan Dyah Suhita dan ia melihatnya dengan jelas. Aku sendiri harus berlari bagai orang gila ketika badanku yang telanjang mulai terlihat sedikit demi sedikit," ujatnya kesal.

Malam itu, memang darah yang Dyah Suhita lihat menetes di mengambang di udara adalah berasal dari jari Dyiwang Awang, sedangkan tubuh laki-laki itu masih belum terlihat. Teriakan histeris Dyah Suhita yang panjang, berkali-kali dan dilepaskan senyaring mungkin dari rongga tenggorokannya membuat tetangga sang gadis yang juga masih saudara datang berbondong-bondong dengan segera.

Dyiwang Awang yang tadinya sedang asyik masyuk menjilati dan menghisapi pucuk dada tanpa pelindung Dyah Suhita tersebut dengan panik membaca mantra dan menyobek jarinya lagi dengan giginya dalam usaha menambahkan darah serta membaca rapalan sebaik mungkin ketika Dyah Suhita terbangun. Tapi yang terjadi Dyah Suhita hanya semakin melihat ceceran darah yang semakin deras serta bunyi orang yang sedang menggumam keras. Dyiwang Awang melompat berlari keluar ketika sadar usahanya tiada hasil karena perlahan kulitnya mulai muncul terlihat dari ketiadaan.

Esok paginya, semua orang di hunian mengetahui cerita tentang hantu atau mahluk halus yang dikirimkan oleh orang jahat untuk mengguna-guna keluarga Dyah Suhita. Percikan darah yang menggenang di atas tempat tidur Dyah Suhita menunjukkan tetes jejak mahluk yang berdarah itu keluar melalui jendela dan hilang di semak-semak di belakang kamar mandi kayu di pekarangan belakang rumah Dyah Suhita dan tetangga-tetangganya yang masih memiliki hubungan saudara.

"Ah, akang Dyiwang. Bukan begitu cara kerjanya, kang," ujar Juned santai sembari ke kamar mandi dan mencuci kain kuning keramat miliknya itu. "Ilmu melihat tembus pandang dan menghilang itu memang ada batasnya, kang Dyiwang. Saya saja kaget rupa-rupanya kang Dyiwang berhasil menggunakannya. Berarti benar apa yang saya katakan, bukan?" seru Juned dari kamar mandi sembari terkekeh.

"Iya, iya. Aku percaya denganmu dan ilmu itu, Ned. Kau puas sekarang? Tapi aku butuh lebih. Kejadian semalam hampir saja membuatku terbunuh, padahal aku sedang menikmati ilmu itu," ujar Dyiwang Awang. Ia memijat pelan jari-jari di tangan kanannya yang telah diperban. Rupa-rupanya ia semalam menggigit jari lebih dari yang diperlukan.

"Sudah aku katakan, kang Dyiwang. Bukan begitu cara kerjanya. Ada batasan yang harus diperhatikan dalam menggunakannya," balas Juned.

Dyiwang Awang memicingkan matanya memandang Juned lekat-lekat. Mendadak kedua matanya melebar. "Aaah ... Aku tahu sekarang. Semalam yang kulakukan hanyalah sebagai sample bukan? Sebagai tester? Ini sebenarnya sama saja dengan bisnis narkoba yang kau dan Waluyo lakukan, bukan? Kau beri dahulu produk itu dengan cuma-cuma agar calon pembeli mulai merasakan kwalitas barang itu. Apalagi sampai dia kecanduan, baru kau kasih harga mahal. Begitu bukan? Oke, berapa yang kau dan Waluyo butuh?" Dyiwang Awang meraih dompetnya dan berlagak siap mengeluarkan uang. "Sebut angkanya, Juned!"

Pintu depan rumah kontrakan itu terbuka. Sosok Waluyo terlihat masuk. "Bukan begitu, akang Dyiwang," ujar teman Juned itu. "Aku sudah mendengar dari luar permasalahanmu, kang. Tapi bukan uang yang kami butuhkan. Akang harusnya tahu bahwa uang bukan masalah buat kami, bukan?" ujar Waluyo tersenyum bermakna. Juned yang melihat ini juga mengangguk-angguk.

Diam-diam Dyiwang Awang sadar dan mengakui bahwa memang uang bukan masalah bagi mereka. Keroyalan mereka, kemudian membayar jasa para perempuan penghibur hampir setiap minggu adalah bukti bahwa usaha narkoba atau kegiatan gelap mereka lainnya itu cukup sukses. Lalu, buat apa menawarkan uang kepada mereka?

PancajiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang