Ketika semua mata memandang ke arah tubuh Darmadi yang melengkung aneh dan tak bergerak, Pak Kuranji menggunakan kesempatan ini untuk berlari menaiki tangga lagi langsung ke lantai paling atas secepat mungkin meski lututnya masih bergetar cukup hebat. Ia tidak lagi menyaksikan apa yang terjadi di bawah sana. Mungkin sekali Pak Kuranji akhirnya mampu dan berhasil menewaskan Darmadi. Namun begitu, ia tak mungkin merasa terlalu lega karena masih ada sepuluh pemuda yang siap mencincangnya kalau ia tidak segera mengambil nafas, segera sadar dan berlari menghindar. Kemarahan sudah menumpuk menjadi satu di bawah sana untuk siap meledak. Dan Pak Kuranji tidak ingin berada dekat-dekat di pusat ledakan.
Sesampainya di lantai tiga, Pak Kuranji menggedor pintu menuju ke pelataran yang penuh dengan tanaman asri itu keras-keras sembari berseru. “Dek Nala, dek Nala … ini aku, ini abang, abang Kuranji. Cepat buka!”
Pintu kayu itu ternyata memang keras, berat dan kokoh. Ia mencoba untuk mendorong, menggoyang-goyangkan bahkan sedikit menubruk dengan bahunya. Ada rasa lega karena pintu itu tidak mudah didobrak, meski di lain sisi ia masih khawatir karena sedang berada di dalam kejaran para pemuda. Jangan sampai Nala Turasih terlambat membukakan pintu ini untuknya.
“Abang Kuranji?” suara lembut Nala Turasih terdengar dari balik pintu mencoba memastikan.
“Iya, dek Nala, ini aku. Segera buka!”
Pintu berat itu terbuka sedikit saja. Pak Kuranji langsung menyerbu masuk kemudian kembali menutup pintu itu, menguncinya dan menempelkan punggungnya di balik pintu. Nafasnya ngos-ngosan. Ia berdiam disana beberapa detik untuk mengatur pernafasan, kemudian melihat wajah Nala Turasih yang tegang.
Pak Kuranji menghela nafas lega. Ia ingin sekali menyentuh wajah indah itu untuk memastikan bahwa semua ini nyata adanya. Malah yang terjadi sebaliknya, Nala Turasih lah yang menyentuh wajah Pak Kuranji yang pucat dan penuh peluh seperti baru saja terhindar dari sebuah kemalangan besar.
“Bang Kuranji, abang kenapa? Ada apa di bawah sana?”
Pak Kuranji tersadar. Lembutnya sentuhan Nala Turasih di pipinya membuatnya yakin bahwa semua ini bukan mimpi. “Dek Nala, cepat, kita harus turun melalui tangga yang dek Nala sebut tadi.”
Kebingungan tidak sempat mengendap terlalu lama di pikiran Nala Turasih karena pintu tebal di belakang Pak Kuranji digedor keras. “Kubunuh kau, Kuranji bangsat!” teriak orang di baliknya. Nala Turasih menjerit kaget dan takut. Kata-kata umpatan kemudian semakin bermunculan bersahut-sahutan dari para pemuda.
Nala Turasih kini menarik tangan Pak Kuranji. Ia mengarahkan abang iparnya itu menuju ke ruangan seni Sadali Pandega yang bersinar jingga. Mereka terus masuk, membuka sebuah pintu. Di dalamnya terdapat sebuah ruangan lagi yang secara mengejutkan cukup besar.
Nala Turasih menyibak selembar tirai raksasa di satu sudut dinding yang terlihat seperti sebuah panggung dengan beberapa helai tirai lebih kecil di baliknya, kemudian membuka sebuah pintu kecil lagi untuk menemukan sebuah tangga besi yang cukup curam untuk turun sampai ke tanah. Kabut menelan ujung tangga sehingga keduanya tak dapat melihat bagian bawahnya sama sekali.
“Aku masih ingat semuanya, bang. Tangga ini akan sampai di pekarangan samping rumah, di dekat sumur lama yang belum sempat mendiang bapak bangun lagi sejak wafatnya,” ujar Nala Turasih. “Aku tak tahu mengapa bapak membuat ruangan semacam ini, termasuk tangga besi yang sepertinya merupakan tangga darurat.”
Pak Kuranji mengangguk cepat. Bunyi dobrakan kembali terdengar berdentum keras di telinga mereka berdua bagaikan gong kematian dari neraka.
“Ayo, cepat dek Nala. Kita segera turun. Dek Nala duluan, aku akan menyusul,” perintahnya.
Nala Turasih melihat luka panjang mengoyak baju Pak Kuranji dari bahu sampai ke lengannya. Ia baru sadar bahwa Pak Kuranji terluka. “Abang terluka? Mereka sungguh menyerang abang dan ingin membunuh kita?”
“Aku tidak apa-apa, dek Nala. Ayo segera. Kita tidak bisa menunggu terlalu lama dan menunda-nunda,” gegas Pak Kuranji.
Bunyi gedoran keras terdengar lagi. Kali ini terdengar pula salah satu engsel besi yang lepas dan jatuh ke lantai ubin.
“Cepat, dek Nala. Turunlah segera. Abang akan menyusul!”
Sepasang mata Nala Turasih kembali terlihat cemas. Namun ia tetap segera menginjak anak tangga besi yang membujur terus ke bawah. Ia masih memercayai sang abang ipar. Pak Kuranji sampai saat ini masih terus berada disampingnya bahkan sampai terluka. “Jangan lama-lama bang,” ujar Nala Turasih. Wajahnya menghadap ke atas, ke arah Pak Kuranji, sebelum dengan secepat mungkin ia meniti batang besi demi batang besi tangga tersebut.
Ketika Nala Turasih mulai merayap turun, Pak Kuranji merapikan tira-tirai, kemudian menutup pintu erat untuk menutupi keberadaan mereka atau paling tidak memberikan sedikit waktu lebih banyak bagi mereka untuk benar-benar bisa turun.
Grendel pintu akhirnya terlepas dan jatuh berdenting di lantai.
“Dimana kau, Kuranji? Akan kami cincang kau pelan-pelan sampai kau bisa merasakan setiap daging dan kulitnya tersobek dan tercungkil,” ujar salah satu dari pemuda yang sudah masuk ke dalam ruangan bercahaya jingga.
“Kalian memiliki kemampuan kebal, tetapi selalu saja menyerang secara bersamaan, main keroyokan. Mungkin otak kalian yang dungu itu membuat kalian tidak bisa bertindak tanpa persetujuan yang lain,” gumam Pak Kuranji di dalam hati.
Pintu kembali didobrak. Kali ini tidak dengan usaha yang berat. Pintu tersebut bahkan terlepas dari engselnya dalam sekali labrak.
Kesemua pemuda menghambur masuk ke ruangan bertirai tersebut. “Keluar, bajingan! Berikan Nala dan kau akan mati dengan cepat. Itu penawaran terakhir, Kuranji!” teriak pemuda lainnya.
Pak Kuranji yakin bahwa tidak mendengar suara Darmadi lagi. Mungkin Darmadi benar sudah tewas. Ia yang membunuhnya. Tak heran kemarahan para pemuda berilmu kebal ini terasa semakin menumpuk.
Pak Kuranji baru saja hendak menuruni tangga besi lurus panjang curam ke bawah itu ketika ia mendengar tirai disibak. Pak Kuranji berdiam diri di balik pintu. Karambit masih ia genggam erat di tangan kanannya. Bila sampai salah satu dari mereka menerobos, ia mau mereka tetap menghadapi mereka, memberikan waktu yang lebih lama bagi Nala Turasih.
“Mereka memang kebal, tapi aku sudah tahu kelemahan mereka. mata!” batin Pak Kuranji. Ia melihat ke bawah, Nala Turasih telah menghilang ditelan kabut. Ia masih bisa menusuk mata mereka dan melontarkan mereka ke bawah. Setelah itu, mereka pasti akan mati dengan leher atau tulang punggung yang patah.
“Sialan, kemana bajingan itu?” seru para pemuda di belakang pintu. Tirai kedua kembali disibak. Mereka berhenti.
“Cari di tepian pelataran. Beberapa turun. Jangan-jangan dia sudah berada di luar dengan menggunakan jalan rahasia,” ujar salah satu pemuda yang mungkin menjadi pemimpin atau yang paling senior diantara mereka.
Pak Kuranji menarik nafas kemudian langsung meluncur turun ke tangga besi menyusul Nala Turasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...