Nala Turasih mengerling ke arah Pak Kuranji, kemudian tubuhnya berjalan bagai melayang menyusuri lorong, menjauh. Pak Kuranji berada di tengah sadar dan alam bawah sadar. Kedua kakinya menuntun tubuhnya ikut melayang mengikuti sosok siluet Nala Turasih tersebut.
Sosok Nala Turasih kembali mengerling ke arah Pak Kuranji ketika mereka sampai ke depan sebuah ruangan. Nala Turasih membuka pintu, memberikan sinyal dengan kibasan rambut dan gerakan kepala agar Pak kuranji mengikutinya. Pak Kuranji melakukannya.
Maka, disanalah mereka berdua.
Pak Kuranji merasa tidak pernah melihat ruangan ini sebelumnya. Padahal ia pernah masuk ke kamar pribada Sadali Pendega sewaktu dulu masih mengurusi perihal pekerjaan. Ia juga pernah mengambil barang di ruang gudang penyimpanan, pernah mencumbu Tasmirah di beberapa ruangan dan sudut, bahkan setelah menikah dan memiliki anak ia pernah menelusuri lorong demi lorong, tetapi ruangan ini serasa tidak pernah ada.
Mendadak Pak Kuranji ingat, bahwa ia tak banyak tahu tentang rumah ini. Buktinya, ia tak tahu bahwa lantai tiga yang ditunjukkan Nala Turasih memiliki pelataran dengan pemandangan indah.
"Terimakasih, bang Kuranji. Aku tak tahu harus berapa kali aku mengucapkan ini sama abang. Kalau abang tidak mengantarkan aku ke rumah ini, entah bagaimana caranya bagiku melepaskan rindu dengan suasana rumah dimana aku lahir dan tumbuh dewasa," ujar Nala Turasih yang berdiri di depannya.
Pak Kuranji menatap baik-baik sosok gadis itu. Semuanya sama, Nala Turasih tidak berbentuk siluet seperti yang tadi ia lihat. Pakaian terusannya yang berwarna hitam jatuh indah sampai lutut. Bahu telanjangnya terpercik cahaya yang memantul berpendar memenuhi ruangan.
"Ruangan apa ini, dek Nala?" selidik Pak Kuranji.
Nala Turasih tersenyum. Sepasang mata lentiknya mengerling dan memindai ruangan kemudian kembali ke Pak Kuranji. "Di ruangan ini aku pernah membiarkan seorang remaja laki-laki tanggung menikmati tubuhku, bang Kuranji. Abang mau tahu apa saja yang ia lakukan padaku dulu?"
Pak Kuranji menjadi kaku. Semacam ada tali-tali tak terlihat yang melingkari seluruh tubuhnya dan mengikatnya ke tanah.
"Remaja laki-laki itu memberikan segalanya bagi kesempatan melahap pucuk dadaku yang saat itupun sudah matang. Jari-jarinya mencoba membuka celah di jepitan pangkal pahaku. Bukankah abang juga ingin melakukannya? Sekarang bahkan kematangan itu sudah sempurna. Aku rasa sudah saatnya abang menikmati pula apa yang abang sudah tunggu terlalu lama. Aku rasa abang tidak akan menolaknya," ujar Nala Turasih dengan nada menggoda.
Hanya dalam beberapa gerakan kecil tangannya, pakaian terusan Nala Turasih terlepas dan jatuh ke lantai, meluncur melalui kedua kakinya. Nala Turasih sudah tak mengenakan apapun di balik pakaiannya tersebut.
Pak Kuranji bagai tersengat listrik. Tubuh itu sudah beberapa kali ia lihat di dalam imajinasi dan khayalan serta mimpi yang terasa begitu nyata. Tidak ada yang berubah, semua sama persis dengan yang pernah ia saksikan.
Sepasang dada Nala Turasih yang membusung membulat erat, penuh sesak dengan puncak mungil tegak sewarna bata. Sepasang pangkal pahanya begitu ramping sehingga memberikan ruang diantaranya bagi pemandangan daerah dengan rambut-rambut halus nan tipis yang tak mampu menutupi rekahan sempit kewanitaannya.
Nala Turasih mengangkat kedua tangannya untuk merapikan rambutnya dengan gerakan yang sangat lambat, memberikan kesempatan bagi sepasang mata Pak Kuranji meneliti lekukan sisi dada dan cekungan ketiak sang dara.
"Jangan ragu, bang. Abang pantas mendapatkannya. Tidak perlu memikirkan apa-apa, tidak perlu mengatakan apapun juga. Aku sudah tahu apa yang ada di dalam pikiranmu selama ini, bang Kuranji. Kemarilah ...," ujar Nala Turasih dengan lirih. Pandangannya yang sayu penuh nafsu diciptakan bersimfoni dengan gerakan bibir dan gerakan perlahan setiap lekuk tubuhnya.
Bagai seekor kerbau dicucuk hidung, Pak Kuranji mendekat langkah demi langkah. Semakin dekat, maka pemandangan itu juga semakin nyata. Ia bahkan dapat mencium bau harum tubuh sang gadis yang bercampur keringat serta hasrat.
Nala Turasih tak menunggu lagi. Ia mendekat cepat. Kedua lengan telanjangnya melingkar di leher Pak Kuranji. Sepasang bibirnya yang tipis membentuk hati langsung menjepit bibir gelap milik Pak Kuranji. Bagai seekor ular, lidah Nala Turasih mendobrak barisan gigi Pak Kuranji untuk mencari lidahnya kemudian membelitnya erat.
Kejantanan Pak Kuranji menegang, tubuhnya meregang, pikirannya mengawang dan berahinya melayang. Ia sedang dalam ekstasi tanpa tahu diri. Apalagi ketika tubuh Nala Turasih merapat ke tubuhnya, membuat jiwanya memanas dan mengganas. Gelora syahwat meledak-ledak di dalam perutnya hendak dilampiaskan.
Pak Kuranji melepas lilitan lidah Nala Turasih di lidahnya, kemudian dengan tangan kiri ia merengkuh pinggang ramping Nala Turasih, menunduk dan melahap salah satu pucuk dada sang dara yang sudah mengacung itu.
"Lakukan, bang. Hisaplah sari-sariku, lakukan apa yang abang mau denganku. Dapatkah kau rasakan betapa binal dan nakalnya aku? Perempuan sepertiku pantas sekali untuk abang nikmati dan miliki," ujar Nala Turasih di sela-sela desah, rintih dan jeritan kenikmatannya.
Pak Kuranji tersentak mendengar ucapan sang gadis. Kesadarannya menerjang bagai gelombang air menerpa karang. Ada yang salah dengan ucapan seorang Nala Turasih.
"Kamu tidak binal dan tidak nakal, dek Nala. Aku tidak pernah melihat kamu sebagai gadis semacam itu. Kita semua memiliki dosa dan kekelaman jauh di dalam sana. Jadi, jangan berpura-pura menjadi Nala Turasib!" seru Pak Kuranji.
Tangan kanannya yang masih menggenggam karambit diangkat tinggi-tinggi kemudian dihujamkan ke tubuh sang gadis.
Nala Turasih mengangkat lengan kirinya menghalangi serangan Pak Kuranji. Darah tumpah dan meluncur turun dari sobekan lebar sepanjang lengan sang gadis.
Jeritan kesakitan dan teriakan keterkejutan yang sangat keluar dari kerongkongan Nala Turasih. Gadis polos tanpa busana itu kini terselimuti darah yang terciprat ke segala arah.
"Abang Kuranji, apa yang abang lakukan?!" teriak Nala Turasih. Ia jatuh berlutut. Darah terus mengalir bagai air terjun, deras membasahi tubuhnya dan menggenang di lantai.
Pak Kuranji terlihat kebingungan dan linglung. Sepertinya ia tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Ia meragukan tindakannya barusan.
"Abang Kuranji!" sepasang mata indah Nala Turasih melotot dalam ketidakpercayaan serta rasa sakit.
Pak Kuranji menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dek Nala ...," ujarnya pendek. Semacam ada batu yang menghalang di tenggorokannya, membuatnya tercekat.
"Kuranji, cucuku. Kau masih terselimuti keraguan. Sampai kapan kau diperbudak dengan hal-hal yang harusnya tidak perlu?" seutas suara mengganyang udara masuk ke telinga. Pak Kuranji jatuh terduduk. Ia tidak memahami berasal dari mana suara itu.
"Bang Kuranji? Abang tega melakukan ini kepadaku. Apa salahku, bang? Apa karena aku sama saja dengan ibuku?" luka sobekan panjang dan lebar di lengan Nala Turasih semakin membuka lebar mengucurkan darah yang spertinya tiada henti.
Pak Kuranji menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, kamu tidak seperti ibumu, dek Nala. Kamu bukan ibumu," gumam Pak Kuranji. Ia menarik tubuhnya mundur menjauh dan menutup mata menghindari pandangan mengerikan sekaligus menyedihkan di depannya tersebut.
Saat kedua kelopak matanya menutup itulah, sebuah pemandangan tercipta di dalam otaknya. Satu sosok macan kumbang yang hitamnya menyaru malam berdiri di atas bebatuan dengan latar belakang bangunan purba. Obor menyala di depan sosok hewani itu memberikan sinar penerangan yang mampu menggarisbawahi kewibawaan sang macan. Sepasang mata tajamnya memandang Pak Kuranji lekat-lekat.
"Apakah kiranya engkau sungguh Datuk Macan Kumbang?" ujar Pak Kuranji akhirnya dalam keterpanaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...