BAB 19

2.3K 162 1
                                    

Jangan lupa Follow, Vote, and Coment 💜

Detik demi detik berlalu berganti menit, menit pun berlalu berganti jam. Tak terasa kini jam sudah menunjukkan pukul 11.30 malam. Kebanyakan tamu undangan sudah mulai meninggalkan Caffe, begitu pula dengan para karyawan Caffe yang mulai membereskan tempat.

"Nai kamu ambil gelas kosong di sebelah sana," ucap Martha sembari menunjuk meja besar di dekat panggung.

"Iya Mbak."

Mereka mulai membereskan Caffe karena tamu undangan sudah pada pulang, tinggal pemilik acara yang masih duduk duduk santai di atas panggung kecil Caffe tersebut.

Ketika sedang sibuk menata gelas kotor untuk dibawa ke belakang, seseorang memanggilnya sehingga membuatnya menghentikan aktivitas menata gelas kotor itu.

"Naira."

Menoleh ke arah si pemanggil yang sedang tersenyum tulus, membuatnya ikut tersenyum, "kenapa Tante?" tanya Naira.

Yang memanggil Naira tadi adalah Melinda Aditama, si pemilik acara tadi.

"Sini sebentar Sayang," ucapnya.

Naira pun menuruti perintah Melinda. Dia segera berjalan menuju ke arah meja yang sudah di tempati oleh satu keluarga.

Sesampainya di sana Naira hanya menundukkan kepala tanpa berani menoleh ke arah sampingnya, tepat di mana Devano yang sedang memperhatikannya.

"Nanti pulang sama siapa?" tanya Melinda.

Mendongak, Naira pun menjawab dengan senyumnya. "Sendiri Tante."

"Loh kok sendiri? Udah malem loh."

"Udah biasa Tante. Lagian deket, cuma 10 menitan," jelas Naira.

"Enggak, untuk kali ini kamu dianter ya sama Devano," ujar Melinda seraya melirik putra sulungnya yang kaget.

Naira kaget dengan pernyataan itu pun langsung melotot. "Eh nggak usah Tan, deket kok Naira bisa sendiri," jawabnya. "Lagian takut ngrepotin udah malem."

Melinda menggeleng tegas, "enggak ngrepotin kok. Kamu anak perempuan nggak boleh kemana-mana sendiri apalagi udah malem kaya gini. Udah pokoknya kamu dianterin Devano!"

Naira bingung bagaimana caranya menolak. "Nggak usah Tan, lagian juga nggak baik perempuan dan laki-laki berduaan tanpa ikatan," jelas Naira.

"Ya udah diikat aja," enteng Melinda.

"Hah?!!" kaget Naira dan Devano berbarengan. Setelah itu mereka saling menatap cukup lama sampai Naira sadar dan langsung mengalihkan pandangan sembari beristighfar didalam hati.

"Naira pulang sendiri aja Tan, nanti bisa minta temenin sama temen karyawan yang lain juga," jelas Naira masih menolak.

"Enggak. Keputusan Tante udah bulat. Nanti kalian bukan cuma berdua tapi ada sopir juga," kekeh Melinda.

Naira kehabisan kata-kata, bagaimana caranya menolak? "Ta-api Tan?"

"Nggak ada tapi-tapian. Kalo gitu Tante sama Om pamit dulu, Kakak, Adek ayo pulang," pamitnya. "Dev jangan lupa anterin, mobil sama sopir udah di depan, awas kamu kalo nggak nganterin," peringat Melinda pada Devano yang dibalas anggukan.

"Kalo gitu Tante pulang ya Sayang, assalamualaikum," salamnya.

"Wa'alaikumussalam, hati-hati tante" jawab Naira sembari mencium punggung tangan Melinda dan menangkupkan kedua tangannya pada Geo.

Setelah kepergian mereka, Naira menatap tidak enak pada Devano. "Kalo Mas Devan mau pulang nggak papa, Naira bisa pulang sendiri kok, daripada ngrepotin," ucap Naira.

"Saya tidak suka membantah perintah orang tua, tidak perlu sungkan saya tidak merasa kerepotan," jelasnya sembari tersenyum. "Kalo begitu saya tunggu di mobil, nanti langsung ke sana saja," tanpa menunggu jawaban dari Naira, Devano mulai melangkahkan kakinya menuju mobil.

Naira menghembuskan napasnya kasar. Bagaimana dia bisa move on kalo begini caranya, pikirnya.

Naira kembali melakukan tugasnya membereskan Caffe. Setelah bermenit-menit mereka membersihkan, akhirnya Caffe pun tampak lebih rapi dari sebelumnya.

Semua karyawan mulai kembali ke tempat tinggalnya, begitu pula dengan Naira yang melangkah ragu ke arah mobil di depan Caffe.

Apakah aku harus pulang dengannya? Tapi aku sungkan. Batinnya.

"Hei kenapa melamun di situ? Cepat masuk sudah larut," suara itu membuyarkan lamunan Naira. Gadis itu segera melangkah menuju mobil dan membuka pintu belakang mobil tersebut.

"Mas, sebaiknya saya pulang sendiri saja. Saya tidak enak jika merepotkan orang lain," ucap Naira setelah berada di dalam mobil dan disebelah Devano.

"Saya tidak kerepotan Nai. Sudahlah saya ikhlas. Dan apa tadi kamu bilang, orang lain?" tanya Devano yang dijawab anggukan mantap oleh Naira, "sekarang orang lain, tapi saya pastikan, nanti saya akan menjadi orang penting bagi kamu," sambungnya yang membuat Naira bingung.

"Maksud Mas?"

"Sudah lah tidak usah dipikirkan." Ucapnya. "Pak ayo jalan," sambungnya menyuruh supir menjalankan mobilnya.

Sepanjang perjalanan hanya ada keheningan hingga mereka tidak di tempat kost Naira.

"Sekali lagi terimakasih atas tumpangannya Mas Devan. Maaf saya tidak bisa menawarkan masuk karena ini kost khusus putri. Kalo begitu saya pamit. Assalamualaikum," pamit Naira sembari melangkah keluar dari mobil setelah mendapat jawaban dari Devano.

Sebelum membuka gerbang kost nya, Naira kembali menoleh ketika Devano memanggilnya. "Kenapa?"

Diam beberapa saat hingga kalimat yang meluncur dari mulut Devano membuat Naira mematung ditempatnya.

"Selamat malam, sweet dream," ucap Devano dengan senyumnya.

Naira yang mendengar itu hanya mematung. Dan tanpa sadar mobil yang ditumpangi Devano sudah mulai melaju meninggalkan tempat kost Naira.

Apa tadi? Ucapan selamat malam? Batinnya.

Tersadar dari lamunannya, Naira bergegas masuk kedalam dan melangkah kakinya menuju kamar kost untuk mengistirahatkan badan, hati dan pikirannya.

________

Di sisi lain, seorang pria yang sedang duduk di kursi penumpang belakang mobil tersenyum sendiri membayangkan wajah gadis yang telah mengisi hati dan pikirannya.

Dia manis banget sih, nggak sabar gue buat halalin, batinnya.

"Den senyum-senyum terus nih, lagi kasmaran ya?" goda sopir yang sedari tadi memperhatikan Devano lewat kaca spionnya.

"Ah Pak Tisna tau aja," jawabnya seberti anak ABG.

Pak Tisna yang melihat itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Udah berumur masih aja kaya anak ABG, batinnya.

"Aduh si aden. Lagi kasmaran sama siapa sih?"

"Pak Tisna kepo nih. Nanti juga kalo udah jadi Pak Tisna tau," jawabnya.

Setelah itu mobil kembali hening. Pak Tisna fokus dengan menyetir sedangkan Devano sedang fokus membayangkan masa depannya bersama gadis impiannya.

Semoga dia jodohku ya Alloh, batinnya berdoa.

________

Bersambung......

Idolaku Suamiku •END•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang