BAB 64

2.1K 139 3
                                    

Jangan lupa Follow, Vote, and Coment 💜
.
.
.
.
.
_______
Happy reading
_______

Waktu terus berlalu. Tak terasa, bayi mungil yang menjadi cucu sulung dari dua keluarga itu kini telah tumbuh menjadi seorang batita berumur 15 bulan.

Nareswara atau kerap di sapa Nares itu sudah menjadi batita yang pintar. Batita berusia 15 bulan itu sudah pandai berjalan, bahkan sesekali berlari kecil meskipun setelahnya terjatuh dan menangis.

Kedua orang tuanya yang tak lain adalah Naira dan Devano, begitu mendalami perannya sebagai orang tua.

Naira yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga itu menjalani perannya dengan baik. Mengurus suami dan anak tanpa sekalipun mengeluh.

Begitupun dengan Devano. Meskipun kini pekerjaannya menumpuk, banyak job manggung dan fotografer sana-sini, tak membuat dirinya lupa dan lalai akan keluarganya di rumah.

Dia selalu menyempatkan waktunya untuk bermain dengan sang putra, dan menikmati waktunya bersama istri dan anaknya.

Seperti sekarang ini, Devano tengah bermain dengan Nares di ruang keluarga Aditama. Devano yang duduk bersandar di lantai, dengan Nares yang duduk di hadapannya dengan robot kecil di kedua tangannya.

Perihal tempat tinggal, Devano sudah memboyong istri dan anaknya ke rumah miliknya sendiri, berjarak lima rumah dari kediaman keluarga Aditama.

Namun, sudah dua hari ini Devano serta keluarga kecilnya menginap di rumah keluarga Aditama. Karena Keysha, adik Devano akan melangsungkan acara pertunangan dengan salah satu teman kuliahnya besok.

Maka dari itu, Devano dan Naira serta Nares, di wajibkan oleh Melinda untuk menginap di kediamannya. Meskipun jarak antara rumah mereka tidak terlalu jauh, begitu Melinda berkata harus, maka Devano tidak dapat menolaknya.

"Boy, kamu udah makan belum sih?" tanya Devano seraya memindahkan Nares ke pangkuannya.

"Mam?" Batita kecil itu bertanya dengan suara khas anak kecil seraya menatap Devano berbinar.

"Iya, udah mam belum?" Gelengan dari batita tersebut membuat Devano segera menggendongnya dan berjalan ke arah dapur, menemui sang istri yang tengah membantu membuat kue untuk hidangan besok.

"Ay, Nares belum makan?" Naira yang tengah memasukkan loyang ke dalam oven pun menoleh begitu suara sang suami masuk ke indera pendengarannya.

"Udah kok," jawabnya seraya mencuci kedua tangannya.

"Kok Nares tadi di tanya geleng-geleng kepala," ucap Devano menatap Nares yang diam di gendongannya. "Nares bohongin Papa?" tanyanya disambut tawa kecil Nares yang membuat Devano langsung menyerbu Nares dengan ciuman di seluruh wajahnya.

Naira yang sudah melepas apron-nya pun bergegas memindahkan Nares ke dalam gendongannya begitu melihat Nares mengayunkan tangannya meminta tolong.

"Udah Mas ih," ucap Naira kesal. "Ambilkan biskuit Nares di lemari itu Mas." Pintanya dengan menunjuk arah lemari yang dimaksud.

"Kamu keliatan pucet Ay, kalau sakit nggak usah bantu-bantu, banyak saudara yang lain kok," kata Devano begitu menghampiri Naira dengan kotak biskuit di tangannya.

"Nggak papa Mas, cuma capek sedikit," balasnya dengan senyum manis di wajah pucatnya. Dengan segera, Devano menggiring istri dan anaknya menuju ruang keluarga.

"Mau aku buatin teh?" tanya Devano.

Sebelum Naira menjawab, teriakan dari arah depan membuat pasangan suami istri itu melihat ke arah suara.

"Yuhuuu Nares, lihat, Om Deon beliin apa!!"

Mendengar suara Deon, Nares segera berontak meminta turun dari pangkuan Naira, membuat Naira dengan pasrah menurunkan putranya itu.

"Jangan teriak-teriak Deon," peringat Devano tegas membuat Deon menunjukan cengirannya.

"Kamu beliin apalagi Dek?" tanya Naira pelan melihat dua paper bag di tangan adik iparnya.

"Hehe, tadi aku nongkrong sama temen di Caffe deket kampus, terus di seberang Caffe ada toko mainan yaudah deh beli," ucap pelan Deon di akhir kalimatnya.

Naira sudah tidak kaget dengan kelakuan para iparnya, bukannya sebelum Nares lahir mereka sudah begitu?

Sebelum Devano mengomel, Deon segera meraih Nares ke dalam gendongannya. "Aku bawa Nares main ya Kak," ucapnya dan segera berlalu meninggalkan Naira dan Devano yang menggelengkan kepalanya heran.

Lama terdiam, Naira teringat sesuatu yang belum sempat ia beritahukan kepada suaminya.

"Mas, ikut aku sebentar," katanya dan segera menyeret Devano menuju kamar mereka berdua.

"Kenapa Ay? Ini masih siang loh, kalau mau entar malam aja," katanya ambigu membuat Naira menghentikan langkahnya begitu sampai di kamar.

"Apaan sih mas, nggak usah aneh-aneh deh." Kesal Naira seraya menatap sengit ke arah Suaminya.

"Terus kita ngapain ke kamar kalau nggak buat it--"

Ucapannya terpotong begitu Naira membekap mulutnya dengan mata menyorot tajam ke arahnya.

"Diem bentar, aku mau kasih kamu sesuatu." Devano mengangguk mengiyakan begitu Naira berucap tegas.

Melihat Devano yang terdiam, Naira segera melepaskan tangannya dari mulut sang suami dan beranjak menuju laci nakas samping tempat tidur. Mengambil sebuah kotak persegi panjang yang di dalamnya terdapat sesuatu yang akan ia berikan pada suaminya.

"Buka," titah Naira begitu menyerahkan kotak persegi panjang tersebut pada Devano.

Dengan ragu-ragu, Devano membuat kotak dari istrinya, yang mana begitu kotak itu terbuka membuat dirinya sukses mematung menatap benda yang ada di dalamnya.

"I-ini?"

Dengan bibir bergetar, Devano bertanya seraya menatap Naira yang tersenyum lebar ke arahnya.

Dengan penuh haru, Devano kembali menatap tiga buah benda yang ada di dalam kotak persegi panjang itu. Tiga buah benda yang menunjukan adanya nyawa yang tumbuh di dalam diri Naira. Ya, tiga buah benda itu adalah alat tes kehamilan yang menunjukan dua garis merah.

"Masya Alloh, Alhamdulillah." Ucapan syukur terus Devano lantunkan seraya membawa tubuh mungil istrinya ke dalam pelukannya.

"Selamat ya Mas, mau jadi Papa lagi," ucap Naira yang di anggukan oleh Devano.

"Kamu tahu dari kapan?" Tanya Devano setelah acara mengharu biru tadi.

"Tadi pagi," jawab Naira. "Sebenarnya udah beberapa hari ini aku ngerasa nggak enak badan, beberapa kali juga suka muntah pagi-pagi. Dan semalem aku inget udah telat datang bulan, jadi paginya aku tes. Untung masih ada testpack yang aku simpen di laci nakas, dan itu hasilnya," jelasnya.

"Makasih ya sayang," ucapnya kembali membawa Naira ke pelukannya. "Nanti sore kita ke dokter ya," sambungnya yang diangguki oleh Naira.

"Di sapa dulu Mas, kayak waktu Nares dulu," pinta Naira setelah pelukan mereka terlepas.

"Oh iya, lupa." Cengir Devano dan mengambil duduk di bawah Naira, menempatkan wajahnya di perut rata yang tertutup gamis lebar itu.

"Assalamualaikum anak Papa." Dalamnya dengan tangan mengusap lembut perut wanitanya. "Sehat-sehat terus ya, Papa sayang kamu," sambungnya di akhiri ciuman panjang di perut istrinya.

________
Bersambung ....

Jangan lupa follow
@PeNaila_
@naasyriz__

Idolaku Suamiku •END•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang