BAB 30

2.8K 155 0
                                    

Jangan lupa Follow, Vote, and Coment 💜

Satu bulan berlalu setelah kejadian Naira hampir tertabrak dan berakhir di rumah Devano. Selama satu bulan Naira menjalani aktivitas seperti biasa, selama satu bulan pun Devano terus mengirimi Naira buket bunga serta surat-surat yang membuat semua wanita akan terbawa perasaan, dan selama satu bulan itu Naira menunggu jawaban dari solat istikharahnya.

"Gimana Nduk?" tanya seseorang di seberang sana.

"Bismillahirrahmanirrahim Naira terima Pak," jawab Naira.

"Apa kamu sudah yakin?"

"Insyaallah Pak. Kalau Bapak sudah yakin bahwa ini yang terbaik buat Nai, maka Nai akan yakin bahwa ini yang terbaik."

"Alhamdulillah kalau begitu," jawabnya. "Nanti Bapak bilang sama keluarga Pak Geo, kamu bisa pulang Nduk? Biar bisa melakukan lamaran di hadapanmu secara langsung?"

Naira terdiam sejenak, dia bingung harus menjawab apa.

"Iya Pak, Naira besok pulang," jawabnya setelah lama terdiam.

"Ya sudah kalau begitu, kamu hati-hati di sana ya Nduk, jaga kesehatan, jangan telat makan ingat types-mu itu lhoo. Ya sudah Bapak mau kembali bekerja nggih, assalamualaikum."

"Nggih Pak, wa'alaikumsalam," jawab Naira dan sambungan langsung tertutup.

Huffttt

Hembusan napas berat dari Naira, menandakan bahwa iya sedang banyak pikiran.

Setelah sebulan Naira menggantungkan jawaban lamaran dari keluarga Devano, akhirnya Naira memilih untuk menerimanya. Mungkin ini yang terbaik, pikirnya.

Pada awalnya Naira berpikir untuk menolak lamaran ini karena dia takut terjadi hal-hal yang mungkin membahayakan dirinya. Tetapi Naira tidak dapat membohongi dirinya bahwa dia memiliki perasaan lebih kepada lelaki berparas tampan yang digilai para wanita itu termasuk dirinya. Dan lagi, dia selalu bermimpi melihat seseorang lelaki sedang duduk di atas sajadah sembari berdoa meminta dirinya kepada sang pencipta. Maka dari itu, setelah sebulan berpikir, Naira memilih untuk menerima. Dia akan menghadapi segala konsekuensi yang akan dia alami ketika sudah menikah nantinya.

"Ngelamun aja Nai," ujar seseorang sembari menepuk pundak Naira. Dia Lisa.

Naira yang memang sedang melamun pun terlonjak kaget akibat tepukan di pundaknya itu.

"Eh?"

"Tuh kan ngelamun. Ngelamunin apa si Nai?" tanya Lisa.

"Enggak kok Mbak, ini cuma lagi mikirin mau izin pulang ke Semarang," jawab Naira.

"Loh kamu mau pulang? Kenapa? Ada masalah di rumah?" tanya Lisa beruntun.

"Enggak Mbak, Alhamdulillah di rumah baik-baik aja, cuma ..." Naira bingung harus menjelaskan apa kepada Lisa.

"Cuma apa Nai?"

"Jadi gini Mbak, satu bulan yang lalu ada yang ngelamar Nai, terus Naira baru bisa kasih jawaban tadi waktu Bapak telepon dan Naira memilih menerimanya saja mungkin ini yang terbaik. Jadi besok Nai mau pulang kata Bapak mau lamaran resminya gitu." Akhirnya Naira menjelaskan yang sebenarnya.

"What?! Kamu udah mau nikah?!" kaget Lisa.

"Syuuttt, jangan keras-keras Mbak," jawab Naira pasalnya saat ini adalah waktu istirahat serta solat Dzuhur para karyawan Caffe, jadi Naira takut jika ada yang mendengarnya.

"Sama siapa Nai? Ihh kok masih muda udah mau nikah, aku aja yang udah 22 tahun belum ada jodoh," ucap Lisa.

"Jodoh udah ada yang ngatur Mbak. Mungkin jodohnya Mbak Lisa lagi di jalan hehe," jawab Naira sembari terkekeh.

"Mungkin juga. Eh siapa nama calon kamu?" tanya Lisa lagi.

Naira bingung harus menjawab apa, kalau Naira menjawab yang sebenarnya pasti akan geger satu Caffe ini karena kehebohan Lisa, tapi jika dia berbohong itu akan menambah dosanya yang entah sudah berapa banyak terkumpul. Huffttt, dia bingung harus menjawab apa.

"Emm namanya ... De--" ucapan Naira terpotong oleh ucapan seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruang karyawan.

"Eh kalian bukannya kerja malah ngerumpi ya, sana lanjut kerja banyak pesenan soalnya," kesal orang itu, Meli.

"Ehh maaf Mbak hehe," jawab Naira sembari beranjak dari tempat duduknya. Dalam hati dia bersyukur atas kedatangan Meli yang membuat dia tidak menjawab nama calon suaminya. Eh calon suami? Memikirkan saja sudah membuatnya tersenyum.

"Ganggu aja si Mel ih, siapa Nai?" rengek Lisa seperti anak paud yang meminta es krim pada ibunya.

"Udah lah Mbak, nanti kalo udah waktunya juga tau," jawab Naira dan segera melenggang pergi dari ruang karyawan dan disusul oleh Meli serta Lisa di belakangnya.

Mereka kembali bekerja seperti biasanya, Naira pun bekerja seperti biasanya, melayani pelanggan dengan senyuman ramahnya yang membuat pelanggan betah dibuatnya. Bukan hanya hidangan dari Caffe yang lezat, para karyawan Caffe yang ramah juga menambah nilai plus bagi para pelanggan.

Setelah jam pergantian shift berakhir, Naira langsung melangkah menuju ke ruang pemilik Caffe tempat dirinya bekerja.

Tok tok tok

Setelah mendapat perintah untuk masuk, Naira pun memasuki ruangan yang didominasi warna putih itu.

"Assalamualaikum Bu," salam Naira.

"Wa'alaikumsalam, gimana Nai? Tumben kamu ke sini?" jawab dan tanya Bu Reni --pemilik caffe--.

"Gini Bu, Naira mau minta izin beberapa hari soalnya mau pulang kampung," ucap Naira.

"Lohh kenapa tumbenan nih kamu izin?"

"Emm itu Bu, ada acara keluarga."

"Oohh ya sudah, mau izin mulai kapan?"

"Kalau diperbolehkan Naira mau izin mulai besok Bu, mungkin Naira izin seminggu itupun kalau diizinkan."

"Iya boleh kok, apalagi kamu jarang banget izin nggak masuk jadi boleh boleh aja. Ya sudah ini ada sedikit rezeki buat kamu, siapa tau bisa dipakai dalam perjalanan pulang," ucap Bu Reni sembari memberikan amplop coklat ke hadapan Naira.

"Ehh nggak usah Bu, Naira masih ada kok," tolak Naira.

"Udah ibu nggak nerima penolakan, harus diterima pokoknya," putus Bu Reni.

"Tapi Bu ...."

"Tidak apa-apa, ini bonus kamu karena rajin kerjanya."

"Kalau begitu terimakasih Bu, Naira pamit ya Bu Assalamualaikum," salam Naira dan segera keluar ruangan setelah mendapat jawaban salam dari Bu Reni.

Setibanya di luar ruangan, Naira segera menuju ke ruangan khusus karyawan. Tidak lupa Naira pun berpamitan kepada semuanya karena akan libur bekerja seminggu lamanya dengan alasan acara keluarga yang tidak bisa ditinggalkan. Memang benar kan ini acara keluarga, jadi tidak sepenuhnya Naira berbohong.

Selesai dengan acara pamit-pamitan, Naira mulai melangkah meninggalkan Caffe tempat kerjanya menuju kost-annya yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit lamanya.

Setelah sampai Naira segera membersihkan diri. Selesai dengan membersihkan dirinya, Naira membuka benda pipih miliknya untuk memesan tiket bus yang akan membawanya ke kampung halamannya besok pagi. Selesai dengan memesan tiket, Naira keluar dari kamar kostnya untuk meminta izin kepada ibu kost bahwa dia akan pulang kampung. Setelah mendapatkan izin, Naira mulai membereskan barang barang yang akan di bawa pulang besok pagi.

_______
Bersambung ....

Gimana sampai sini?

Idolaku Suamiku •END•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang