BAB 24

2.3K 148 0
                                    

Jangan lupa Follow, Vote, and Coment 💜

Karena terus-terusan merasa gelisah, Naira memilih izin untuk beristirahat terlebih dahulu daripada tidak fokus dalam bekerja.

"Mbak aku izin istirahat bentar ya, agak pusing soalnya," bohongnya.

"Oohh yaudah, istirahat dulu mumpung pelanggan nggak terlalu banyak," jawab Meli.

Sesampainya di ruang karyawan, Naira memilih mendudukkan badannya di kursi yang tersedia disana.

Ya Alloh, kenapa aku gelisah seperti ini? Semoga tidak terjadi apa-apa, batinnya.

"Kok tiba-tiba kangen orang rumah ya? Telpon aja deh," gumamnya.

Panggilan tersambung tetapi tidak diangkat-angkat oleh si penerima. Hingga beberapa menit kemudian panggilan pun diangkat oleh si penerima membuat si empunya handphone tersenyum.

"Assalamualaikum Ma," sapa Naira ceria.

"Wa'alaikumussalam putri Mama," suara itu terdengar merdu di telinga Naira.

"Pripun kabare? Mama, Bapak, adek-adek? Sehat kan?" tanya Naira beruntun.

"Alhamdulillah sehat semua, Mbak gimana kabarnya?" pertanyaan yang sama setiap Naira menelpon.

"Alhamdulillah Ma, Mbak sehat."

Lama terjadi keheningan, Naira pun mengecek layar ponselnya yang menandakan panggilan masih terhubung, hingga suara seseorang membuatnya terkejut.

"Mba," sapa seorang lelaki di seberang sana.

"Loh Bapak?!" kaget Naira, pasalnya Ayahnya ini sangat jarang diajak mengobrol lewat telepon, sehingga Naira terkejut dibuatnya.

"Nggih Mbak ini Bapak." beberapa menit terjadi keheningan, "ada yang mau Bapak omongin," sambungnya.

"Nopo Pak?" tanya Naira penasaran, tumben tumbenan.

"Ada yang datang ke rumah untuk melamarmu," jawab Alif--bapak Naira--. Naira yang mendengar itu terkejut bukan main. Baru kemarin malam dia mengatakan bahwa dia ingin langsung menikah, secepat itukah doanya terkabul? Batinnya.

"Maksudnya?" tanya Naira, dia takut salah dengar.

"Ada seorang laki-laki baik datang kerumah, memintamu kepada Bapak untuk menjadikanmu sebagai penyempurna agamanya. Bapak tidak tau mau memberi jawaban apa, Bapak hanya bisa memberi restu kepadanya. Bagaimana denganmu Nduk?" tanya Alif.

Naira bingung harus menjawab apa, maka dari itu di memilih menanyakan siapa orang yang datang memintanya itu.

"Siapa namanya Pak?"

"Dia Devano. Devano Jordan Aditama," jawab Alif tegas.

Degg

Astaghfirullah, benarkan? Ya Alloh, apalagi ini ya Alloh, aku baru saja ingin melupakannya kenapa seperti ini? batinnya menangis. Tanpa sadar air mata Naira sudah mengalir deras.

"Mbak," sapa Alif karena tidak mendapatkan jawaban dari anaknya.

"Naira Syifa'ul Rizky," panggil Alif tegas nama lengkap Naira.

"Eh-dalem Pak, gimana?" jawab Naira gugup seraya mengelap air mata yang terus mengalir.

"Bagaimana keputusanmu Nduk, diterima atau bagaimana?"

"Emm ... Pak, bisa beri Nai waktu buat berpikir dulu?" tanya Naira ragu.

"Bapak tidak memaksa Nduk, jika memang kamu belum yakin, kamu pikirkan dulu sampai kamu yakin, keluarga mereka akan setia menunggu jawabannya," jelas Alif.

"Nggih Pak, kalo begitu sudah dulu ya, Nai mau melanjutkan pekerjaan, assalamualaikum," pamit Naira.

"Wa'alaikumussalam, hati-hati Sayang," jawab Alif, dan setelahnya telponpun dimatikan sepihak oleh Naira.

Setelah mendengar kabar itu, Naira jadi tambah gelisah. Apa keputusannya?

"Ya Alloh, jadi benar rasa gelisahku karena akan terjadi sesuatu," lirih Naira.

"Aku harus bagaimana? Jika aku menerimanya, aku takut tidak kuat menyamai kehidupannya dan menghadapi orang-orang yang tidak suka tentang ini, tapi jika aku menolaknya, apakah aku siap sakit hati untuk pertama kalinya?" gumam Naira masih dengan air mata yang menetes.

Setelah lama menangis dalam diam, Naira memilih keluar dari ruangan karyawan dan menuju ke ruangan pemilik Caffe tersebut. Saat ini yang dia inginkan adalah kesendirian. Dia ingin mengistirahatkan badannya yang entah mengapa seketika lemah tak bertenaga.

Setelah mendapat izin, Naira pun pergi ke kasir untuk menulis data izin pulang terlebih dahulu.

"Mbak Mel, minta tolong isiin data pulang cepat ya, aku udah izin ke Bu bos," ujar Naira lemah.

"Kamu kenapa Nai? Sakit apa gimana?" tanya Meli seraya mencatat apa yang dikatakan Naira.

"Iya Mbak, lagi kurang enak badan," ucapan Naira tidak sepenuhnya bohong, karena pada kenyataannya beban pikiran membuatnya pusing dan lemas.

"Yaudah kamu istirahat dulu, hati-hati di:jalan, jangan lupa beli makan dulu," wejangan Meli.

"Iya Mbak, aku pulang dulu. Assalamualaikum," salamnya, dan segera menuju ruang karyawan untuk bersiap siap pulang ke tempat kost-nya.

Selesai dengan mengganti pakaiannya, Naira segera keluar dari Caffe. Berjalan menyusuri trotoar di malam hari seperti ini dengan pikiran yang melalang buana membuat Naira seperti orang yang tidak memiliki tujuan hidup. Yang dipikirkan sekarang hanyalah, dia harus bagaimana? Hingga tanpa sadar dia sudah sampai di depan kost-nya. Dia segera masuk ke dalam menuju kamarnya supaya segera dapat mengistirahatkan badan dan pikirannya.

_______
Bersambung ....

Maaf sedikit🙏

Idolaku Suamiku •END•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang